Setahun belakangan, Ridwan Dwi Pradipta tidak pernah merasa badannya segar setiap bangun tidur. Yang ada, ia merasa letih dan pegal-pegal. Butuh perjuangan untuk sekadar meregangkan badan dan mengumpulkan kesadaran. Apakah Dipta kurang tidur? Tidak juga. Yang ada, pemuda berkumis tipis itu sudah kebanyakan tidur. Bahkan, kalau bukan untuk salat Subuh, rasanya ia tidak ingin meninggalkan kasur.
Kamar Dipta berantakan. Kabel-kabel pengisi daya yang terhubung dengan stopkontak malang-melintang. Gara-gara itu ia sering tersandung saat berjalan, apalagi dalam kondisi setengah sadar. Komputer jinjing di atas meja ditemani tumpukan buku skripsi berbagai versi. Dipta tidak ingin melihat mereka sekarang. Pemuda itu memunguti bungkus cemilan dan beberapa helai rambut rontok yang berserakan, menyisakan ruang untuk tempat sembahyang.
Pemuda itu menghela napas panjang.
Dipta sepatutnya bersyukur bahwa Ibu kos—panggil ia Ibu Nur—memasak tiap pagi, siang, dan malam. Makanan selalu tersedia sehingga ia bisa berhemat. Ketika Dipta menghampiri meja makan di lantai satu, tersaji ayam goreng dan sayur asem. Ibu Nur—yang mengenakan daster rumahan—sendiri sedang sarapan.
"Makan, Dip," tawar Ibu Nur.
"Iya, Bu." Dipta merespons alakadarnya.
Baru beberapa suap menyantap nasi hangat, satu orang lagi menuruni tangga.
"Pagi, Bu. Pagi, Dik," sapanya ramah dengan logat Jawa yang kental.
Adalah Rizqi Arroyyan, teman satu kos Dipta yang berusia lebih tua dan sudah bekerja. Membandingkan penampilannya sendiri dengan Rizqi tak ayal membuat Dipta merasa keki. Kaus versus kemeja dan dasi, rambut panjang tak terurus versus rambut yang dipangkas botak rapi, lalu apalagi? Rizqi wangi sedangkan Dipta belum mandi.
"Makan dulu, Qi," balas Ibu Nur.
"Nggih, Bu."
"Mari, Mas," sapa Dipta.
Hanya dua orang yang ngekos di tempat Ibu Nur, Dipta dan Rizqi. Kamar mereka di lantai dua. Rizqi mulai tinggal di sini dua tahun lalu, menggantikan teman seangkatan Dipta yang pulang kampung setelah wisuda. Iya, Dipta adalah mahasiswa tua.
"Ma, aku berangkat!" Pemuda lain tergopoh-gopoh mencium tangan Ibu Nur.
"Makan dulu, Dek! Adek?!"
Putra bungsu Ibu Nur itu tak menghiraukan panggilan ibunya. Digendongnya ransel dengan satu lengan dan bergegas keluar. Kalau Dipta tidak salah, ia mengenakan almamater dan kalung pengenal bertuliskan PANITIA. Jujur, Dipta pangling. Dalam benaknya, Kelvin Adnan Arseno masih anak SMP. Sekarang, tahu-tahu saja anak itu sudah kuliah di almamater yang sama dengannya. Kalau Seno berperan sebagai panitia ospek, minimal anak itu sudah tingkat dua. Duh, ternyata waktu sudah berlalu sangat lama.
-o0o-
"Jangan lupa dikerjakan, ya, Nak Dipta."
Itu pesan dosen pembimbingnya, Bu Rita, setelah mencoret-coret buku skripsinya dengan berbagai macam catatan revisi.
"Babnya sebenarnya sudah lengkap, tinggal bolong-bolongnya ditambal."
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, tanggungan Dipta sisa satu: skripsi, yang entah kenapa tak kunjung rampung sampai masa studinya sudah enam tahun. Tahun ini memasuki tahun ketujuh. Tahun terakhir yang menentukan ia akan lulus atau drop out. Biasanya, pejuang skripsi mengeluh perihal mengejar-ngejar dosen. Dipta sebaliknya, malah ia yang dikejar-kejar dosen. Dipta tidak akan pergi ke kampus siang ini kalau Bu Rita tidak mengirimkan pesan perihal bimbingan.
Keluar dari ruang dosen, pemuda itu menghela napas panjang. Kemudian melanjutkan langkah gontainya menuju gerbang. Barulah ia sadar, hari ini kampus terlampau ramai. Mahasiswa-mahasiswa baru berseragam putih abu-abu berlalu-lalang. Kegembiraan tercetak pada wajah-wajah mereka yang riang. Bertemu orang baru, saling kenalan, bertukar kontak media sosial, mengobrol ngalor-ngidul, membahas topik-topik acak, mencari kesamaan, sampai pulang bareng, kapan kali terakhir Dipta melakukan itu semua?
Pemuda itu hidup dalam suram. Ia mengurung diri di dalam kamar yang pengap, di bawah selimut yang hangat. Malas telah menggerogoti raga dan jiwanya, membuat jemarinya kehilangan refleks dan matanya tak lagi awas. Ia masuk ke dalam lorong gelap. Begitu keluar, dilihatnya dunia sudah banyak berubah. Anak SMP sekarang sudah kuliah. Pun teman-temannya berpencar mengejar impian, meninggalkan Dipta yang lamban. Dunia terlalu dinamis untuk hidupnya yang statis. Ia sudah lama terjebak pada kondisi yang stagnan; kekosongan.
Ketika pemuda itu sampai di gerbang, hari sudah petang. Sedikit mengingatkannya pada larik gubahan Ali Hasjmy, 'sekarang petang datang membayang'. Betapa banyak waktu yang ia buang. Dipta tahu ia sudah banyak mengeluh hari ini, merutuki kebodohannya sendiri. Namun, izinkan ia melakukannya sekali lagi. Karena tak ada orang untuknya bersandar, sudilah dunia menampung aneka kesah dan sedihnya.
Pemuda itu mengembuskan napas panjang.
-o0o-
AN:
Tombol semangat untuk Dipta →
↓
![](https://img.wattpad.com/cover/232570850-288-k380923.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku [Dik] Saja
Spiritual[Sekuel dari Panggil Aku "Mbak" Saja] Rina sekarang jadi mahasiswa! Lantas, bagaimana dengan anak-anak Pelangi? Petualangan Rina berkelindan dengan Arseno yang sedang senang-senangnya menjelajah, perjuangan Dipta merampungkan kuliah, dan pengorbanan...