Kalau mahasiswa baru mengeluhkan ospek, percayalah jadi panitia itu lebih capek. Sebelum penyambutan mahasiswa baru dimulai pukul sembilan nanti, Arseno sudah harus berada di kampus satu setengah jam sebelumnya, bergabung bersama panitia lain untuk mengikuti briefing yang dipimpin koordinator lapangan.
"Untuk hari ini, tugas kita enggak terlalu banyak." Itu kalimat kedua dari korlap setelah sebelumnya membuka briefing dengan pembacaan doa. "Sebagian besar mata acaranya dipegang kampus, sambutan-sambutan gitulah. Oke, kita langsung ke rundown aja, ya."
Mahasiswa senior yang menjabat sebagai koordinator lapangan itu mulai memaparkan tugas masing-masing divisi per mata acara. Master of Ceremony sudah dipilih jauh-jauh hari. Tentu mereka perlu berkoordinasi dengan pihak kampus juga. Operasional menjadi divisi yang paling diandalkan. Sebab, pihak pembicara pasti memerlukan operator untuk mengoperasikan salindia dan menampilkannya lewat proyektor. Di sela-sela sambutan dan pemaparan, akan ada ice breaking yang dipandu oleh Divisi Acara. Divisi Medik perlu siap siaga. Namun, mengingat hari ini tidak ada agenda yang melelahkan, mestinya tim medik tidak akan terlalu banyak bekerja.
"Terakhir, penutupan. Yeay. Oh, iya, paling nanti minta bantuannya untuk angkat-angkat kursi. Terutama untuk divisi yang belum banyak kerja. Ada pertanyaan?"
Seno berada di bawah Divisi Publikasi dan Dokumentasi. Divisinya belum di-mention sama sekali.
"Atau ada yang terlewat? Yah, divisi yang kerjanya di balik layar kayak Divisi Materi enggak perlu disebut lah."
Seno baru akan mengangkat tangan, urung ketika ia melihat ketua divisinya di samping koordinator lapangan.
"Oh, iya, pubdok!" Sang korlap baru ingat saat Kadiv Pubdok—yang merupakan teman seangkatannya—menyenggol lengannya. "Yah, seperti biasa. Tugas kalian sepanjang acara adalah mendokumentasikan setiap momen. Iya, kan, Bray?"
Ketua Divisi Publikasi dan Dokumentasi—namanya Bryan—meresponsnya dengan tatapan masam.
Tak lama kemudian, korlap membubarkan kerumunan. Seno mengeluarkan kamera dari tasnya, mengalungkannya ke leher. Setengah pamer, juga menunjukkan kesiapannya bekerja. Ia menghampiri Bryan, siap untuk sesi briefing selanjutnya.
"Anak pubdok, ya? Siip, sini-sini." Bryan mengimbau anak buahnya untuk berkumpul.
Tak hanya Seno, ada pemuda bongsor, perempuan berhijab, dan laki-laki berkacamata.
"Wah, ini pertama kali kita ketemu langsung, ya? Boleh kenalah dulu, deh," usul Bryan.
Seno menyugar rambutnya. Satu hal yang ia suka dari mengikuti kepanitiaan terpusat, ia dapat banyak kenalan dari jurusan yang berbeda-beda.
-o0o-
Sebagai ketua divisi, tak banyak yang Bryan sampaikan. Yang Sen ingat malah pesan berbunyi, "Santai aja."
Memang, kerja tim dokumentasi cukup fleksibel. Kata Bryan, "Kalian nggak harus pegang kamera tiap saat. Pokoknya, dokumentasikan 'yang ada momennya'."
Sungguh pekerjaan yang cocok untuk mereka yang senang berkeliling, bereksplorasi, atau sekadar ingin tampil keren di balik tameng 'mengabadikan momen'.
Sebagian besar agenda penyambutan mahasiswa baru hari ini dilaksanakan di aula utama. Namun, berbekal pesan Bryan, kedatangan maba-maba dari gerbang depan merupakan momen yang menarik untuk didokumentasikan. Maka, selagi acara belum dimulai, Seno membawa kameranya berkeliling, membidik euforia di tengah riuhnya mahasiswa baru.
"Woi, Sen!" Itu Gege, teman Seno. "Jadi panitia?" tanyanya.
Alih-alih menjawab, tukang potret itu memamerkan kartu tanda pengenalnya.
"Widih. Gaya banget! Dokum, lagi. Biar apa coba? Biar kelihatan keren?" kelakar Gege.
Seno tertawa. Kalau mau serius menjawab, ia akan bilang bahwa alasannya masuk Divisi Pubdok karena punya kamera dan sedikit skill fotografi. Akan tetapi, mahasiswa tingkat dua itu yakin temannya tidak meminta jawaban serius. Lebih tepatnya, temannya tidak bisa diajak serius.
Jadilah ia merespons dengan kelakar pula, "Sendirinya ngapain datang, coba? Bukan panitia juga. Mau ngisengin maba?"
"Nah, itu tahu."
Keduanya terbahak.
"Sendirian aja?" tanya Sen. "Bareng yang lain, nggak? Sakti, Al?"
"Tuh, lagi ngegodain cewek." Gege mengedikkan dagu.
Benar saja, Seno mendapati dua temannya yang lain, Sakti dan Aldo, bersama gerombolan mahasiswi baru. Tukang potret itu geleng-geleng kepala, bingung mau merespons apa. Mau nyebut, kok, nanti dikata sok alim.
"Lu cari cewek juga sana," komando Gege. Ngawur. "Asal jangan yang kayak itu. Yang ada disinisin, haha."
Tukang potret itu mengikuti arah pandang Gege, tatapannya jatuh pada perempuan yang kerudung panjangnya menjulur menutupi dada. Seketika, pemuda itu paham maksud temannya. Stereotipe. Gege pasti menganggap wanita itu sok alim dan kerap meremehkan orang lain yang berbeda. Namun, Seno pribadi tidak sepakat. Stereotipe ada karena kedua pihak yang berbeda tidak mau duduk bersama, bukan?
Tanpa sadar, Seno jadi mengamati gerak-gerik gadis itu. Kepalanya celingak-celinguk, membuatnya terlihat seperti orang bingung. Lucu. Sang fotografer menekan tombol kamera. Momen seperti ini juga perlu diabadikan, 'kan? Potret perempuan berkerudung yang tampak bingung di tengah hiruk-pikuk, diambil dari samping sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Namun, tampaknya perempuan itu menyadari suara bidikan. Yah, kepalang ketahuan, hampiri saja.
"Lihat sini, Dik!" komando Seno. Ekspresi terkejut gadis itu tak ayal tertangkap lensa. "Mahasiswa baru 'kan?" tanya Seno retoris.
Dilihatnya perempuan itu menundukkan pandang. Gesturnya seperti orang yang ketakutan. Kemudian, anak itu bertanya, "Maaf, Kak, aula utama di sebelah mana, ya?"
Mendengar adanya rasa takut dalam suara lawan bicaranya, niat iseng Seno timbul ke permukaan.
"Oh, mau ke aula utama. Kamu lurus, belok kiri, terus ..." Pemuda itu menggerak-gerakkan tangannya untuk menjelaskan. "Nanti ketemu kantin. Nah, aku titip es krim, oke?"
"Hah?" Anak itu melongo. Ekspresinya lucu.
"Kamu beliin aku es krim dulu, nanti kukasih tahu arah ke aula utama. Ngerti?!" jelasnya.
Menyadari leluconnya tidak mendapat sambutan selain badan gadis itu yang mulai gemetar, Seno sadar gurauannya sudah keterlaluan. Ia bermaksud mengakhiri keisengannya dengan mengatakan, "Bercanda," lalu tersenyum. Namun, belum sempat ia melakukan hal tersebut, anak itu berpaling dan terburu-buru mengenyahkan diri, meninggalkan Seno bersama Gege yang tertawa.
"Yah, ditinggalin," ledek Gege.
Sepertinya Seno baru saja membuat satu kesalahan.
"Aku 'kan cuma ... bercanda."
-o0o-
AN:
Enggak semua orang hal bisa dibercandain, Sen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku [Dik] Saja
Spiritual[Sekuel dari Panggil Aku "Mbak" Saja] Rina sekarang jadi mahasiswa! Lantas, bagaimana dengan anak-anak Pelangi? Petualangan Rina berkelindan dengan Arseno yang sedang senang-senangnya menjelajah, perjuangan Dipta merampungkan kuliah, dan pengorbanan...