13. Toha

4 3 0
                                    

Khusus hari ini, hidup Dipta berjalan—ralat, berlari—dengan cepat.

Dimulai dari seonggok daging di dada kiri yang berdetak dengan tempo di atas biasa, memompa aliran darah ke seluruh tubuh. Tegang. Mungkin itu yang Dipta rasakan ketika memacu langkahnya mengunjungi gerai fotokopi di pinggir jalan raya, keluar sedikit dari gang tempat indekosnya berada. Pemuda itu baru ingat bahwa para penguji juga memerlukan salinan skripsi dalam bentuk cetak.

Benar, hari ini jadwal sidangnya.

Mesin cetak yang berjalan lamban, kertas yang keluar dengan amat perlahan, kontras dengan irama detak jantung Dipta yang makin kencang. Pemuda itu menjambak rambutnya yang baru dipangkas tadi pagi. Meredam frustasi, bibirnya komat-kamit melafalkan robbishrohli, seperti pesan Ibu Nur tempo hari. Namun, tangan dan kakinya tak bisa berhenti bergerak, seperti cacing kepanasan. Ujung-ujungnya, ia merangsek masuk ke balik etalase. Ia memilih berdiri tepat di samping mesin cetak, seakan-akan mesin itu akan bekerja lebih cepat kalau dipelototi.

Belum habis semua halaman dicetak, seorang perempuan berjilbab menghampiri gerai. Tangannya memilih-milih kertas kado yang dihimpun di atas etalase, lantas menyodorkan pilihannya: kertas bergambar kartun princess dengan mahkota dan aneka perhiasan.

"Mau beli ini," ucapnya. "Sama mau laminating." Ia letakkan pula dua buah gambar di atas etalase.

Dipta baru sadar gadis itu bicara padanya. Apa potong rambut membuatnya dikira sebagai pegawai fotokopi? Pemuda jangkung itu reflek menendang tukang fotokopi asli yang malah asyik selonjoran kaki di bawah sehingga etalase menghalanginya dari pandangan pelanggan. 

"Bang, ada yang beli!"

Setelah urusannya di gerai fotokopi selesai, Dipta lekas menuju kampus. Lesat. Sekarang, napasnya ikut-ikutan menderu. Ngos-ngosan. Sampai di ruang sidang, pemuda itu mengatur napas. Meskipun menghabiskan semalam suntuk untuk overthinking, pikirannya masih saja cemas, seolah ada hantu-hantu yang menggelar paduan suara di kepalanya. Pun saat mendapati laptopnya tidak bisa terhubung dengan proyektor, makin paniklah ia. Rupanya hanya sedikit masalah teknis.

Dilafalkannya lagi robbishrohli. Kata Rizqi, doa itu ada di surah Toha. Setelah Dipta membuka ayat yang memuat doa tersebut, tahulah ia bahwa lafal itu doanya Nabi Musa.

"Wahai Tuhanku, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, hilangkan kekakuan di lidahku, agar mereka mengerti perkataanku, ..."

Lekas saja ia membayangkan bagaimana was-wasnya sang Nabi saat hendak menghadap Firaun guna mendakwahi tiran yang melampaui batas itu. Nabi saja pernah cemas, apalagi Dipta. Kendati demikian, tak elok rasanya menyamakan dosen penguji dengan Firaun.

"Baik, Nak Dipta, silakan dimulai presentasinya."

Pemuda itu menghela napas. Begitu mulai bicara, ia tak lagi memerhatikan waktu. Rasanya hidupnya berpacu dengan amat cepat.

-o0o-

"Senyum, dong." Bu Rita menepuk lengan Dipta. "Kan sudah nggak tegang lagi."

Pemuda jangkung itu mengulum bibir, mencoba tersenyum alakadarnya. Ia masih digerayangi takjub. Hampir tidak percaya. Sidang skripsi sudah dilewatinya. Harusnya ia keluar ruang sidang dengan gagah. Bangga. Namun, ia malah seperti orang linglung. Benaknya dipenuhi tanya retoris: serius sudah selesai?

"Jangan lupa dikerjakan revisinya," pesan dosen pembimbingnya. "Selamat menunggu yudisium."

"Baik, Bu." Dipta mengangguk khidmat.

Pemuda itu menunggu Bu Rita dan para dosen penguji pergi lebih dulu. Sepeninggal mereka, barulah ia melangkahkan kaki ke luar gedung.

Setelah ini, apa?

Panggil Aku [Dik] SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang