Sejak insiden itu, Rina tidak bisa tenang. Belum.
Bahkan, di kelas pun, ia tidak bisa fokus menyimak materi kalkulus. Di satu sisi, perutnya keroncongan. Bisa-bisanya ia ditambah tiga laki-laki di rumah sakit tidak ada yang berinisiatif membeli barang sebungkus roti untuk sarapan. Untungnya, di tas ada sisa makanan berbuka kemarin sore, sehingga perutnya tidak benar-benar kosong. Di sisi lain, lukanya terasa sakit saat ia duduk. Meski tidak nyaman, gadis itu berusaha duduk setegak mungkin agar kulit perutnya tidak terlipat.
Sejujurnya, Rina masih tidak percaya. Semalam, ia mendapat luka di perutnya. Namun, gadis itu ingat, ia juga menorehkan luka pada tangan penyerangnya. Mahasiswa itu selamat karena Rizqi lekas membawanya ke rumah sakit untuk mendapat penanganan. Namun, bagaimana dengan orang itu? Tangan memang bukan organ vital, tetapi kalau lukanya dibiarkan mengucurkan darah terus-menerus, lama-lama habis juga. Bukankah salah satu pembuluh nadi juga terletak di pergelangan tangan? Andai sudah dibalut pun, jika ternyata pisau itu berkarat, nanti lukanya malah infeksi, lantas menyebar ke anggota tubuh yang lain; bisa-bisa tangannya perlu diamputasi, kalau tidak mau orangnya mati.
"Rina, ada pendapat?" tegur dosen paruh baya di depan. Sejak memberanikan diri menjawab soal beliau pada pertemuan pertama, Rina jadi cukup dikenal dan sepertinya ditandai oleh beliau.
Sayangnya kali ini, Rina diam, tetapi dalam hati panik. "Maaf, Pak. Saya masih mencoba memahami," dalihnya. Ia yakin itu bukan reaksi yang dosennya harapkan.
Tahu begitu, apa ia absen saja? Ah, tidak boleh! Anggota tubuh yang lain 'kan sehat-sehat saja. Meskipun konsentrasinya terganggu, gadis itu yakin pada keberkahan menuntut ilmu. Materi hari ini pun masih masuk ke otaknya meski sedikit.
"Memang sulit, ya?" gumam sang dosen sambil menatap tulisan di papan. "Ya sudah. Karena waktunya sudah mau habis juga, kita akhiri di sini. Anda semua coba pahami dan resapi, ya. Belum belajar namanya kalau belum kebawa mimpi." Ucapan beliau disambut riuh satu kelas.
Ketika Rina keluar, Tisha dan Witri menghampirinya. Mereka adalah teman sekelompok Rina---bersama Ulfa dan Lino---untuk mata kuliah Statistika Dasar. Proyek mereka hampir selesai, hasil yang diharapkan sudah muncul. Keduanya mengajak Rina membahas hal tersebut.
"Boleh, tapi aku mau nyari makan dulu, ya," jawab Rina dengan suara lemas. Gadis itu mulai merasa kepalanya pusing, barangkali karena kehilangan banyak darah dan belum menggantinya dengan nutrisi yang memadai.
"Eh, tapi aku nanti ada urusan," lanjutnya. Ia ingat hari ini Jumat. Rina ingin ikut program LDK yang diselenggarakan sepekan sekali itu. Kalau cuma membaca Al-Kahfi dan mendengar kajian, insyaAllah Rina masih kuat.
Rina berniat menghubungi Meutia, menyilakan temannya untuk ke masjid duluan sementara ia kerja kelompok. Namun, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh kehadiran Arseno yang mengajaknya pulang. Meutia juga datang tak lama kemudian.
Sekarang, Rina benar-benar merasa sakit kepala. Ia sudah tak punya daya untuk sekadar merespons Tisha dan Witri yang mengurungkan kerja kelompok. Sementara itu, ia merasa Seno akan bersikeras mengajaknya pulang. Rina sudah tak punya tenaga untuk berdebat. Karena itu, ia mengiyakan ajakan kakak tingkat sekaligus tetangganya itu.
Akan tetapi, ketika Seno malah menceramahinya, Rina jadi kesal. Tanpa bisa mengendalikan diri, ia meluapkan emosi di depan cowok itu. Rina lantas masuk rumah tanpa salam. Gadis itu langsung terkapar.
Sisa hari itu Rina habiskan dengan tidak melakukan apa-apa selain salat wajib. Salat pun alakadarnya. Jauh dari khusyuk. Luka di perut lebih buruk dari yang gadis itu bayangkan. Ia kesulitan rukuk dan sujud dengan sempurna. Gadis itu sudah merasakannya ketika salat Subuh di rumah sakit. Namun, ketika sendiri, susahnya bertambah-tambah.
Mau tidur pun tidak nyenyak. Rina tidak bisa menemukan posisi tidur yang nyaman. Kalau miring ke kanan, lukanya tertekan. Kalau miring ke kiri, lukanya tertarik. Mungkin ia harus telentang.
Malam semakin beranjak. Dan pikiran Rina berkecamuk. Pertanyaan pertama: kenapa? Kenapa ada orang yang tega merampas dan menyakiti orang lain? Pertanyaan kedua: kenapa ia? Kenapa harus Rina yang mendapat musibah ini? Ah, gadis itu merutuki dirinya sendiri. Bukankah seharusnya ia bersyukur; bahwa lukanya tidak parah, bahwa ia tak kekurangan suatu apa; bahwa ia masih bisa hidup?
Bukan tidak mungkin terjadi skenario yang lebih buruk. Kalau dipikir-pikir lagi, luka ini ada gara-gara salahnya sendiri. Harusnya ia tidak banyak tingkah. Harusnya ia lebih manut. Dan harusnya ia tidak perlu melukai orang itu dengan dalih membela diri.
Segala sakit, tanya, dan sesal menyesaki benak gadis itu. Ia ingin mengeluh, mengadu. Namun, dirinya jauh dari siapa-siapa. Jadilah Rina hanya bisa menangis, sendiri. Tangisnya bergema mengisi sunyi. Rina hanya bisa berharap pada Yang Maha Mendengar, yang lebih dekat dari urat nadi. Supaya Dia mengangkat sakitnya. Supaya Dia menenangkan hatinya. Atau, jika pinta itu terlalu abstrak, bolehkah Rina sekadar meminta hujan? Biar rintik menyamarkan tangisnya, menenangkan gemuruh di hatinya.
Sayang, hujan tidak turun malam itu.
-o0o-
AN Maunya bab ini masih ada lanjutannya. Tapi, supaya masih bisa diikutkan MWM dan untuk menggenapkan jumlah kata, kita potong si sini saja. Hehe. Lanjut besok, insyaAllah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku [Dik] Saja
Espiritual[Sekuel dari Panggil Aku "Mbak" Saja] Rina sekarang jadi mahasiswa! Lantas, bagaimana dengan anak-anak Pelangi? Petualangan Rina berkelindan dengan Arseno yang sedang senang-senangnya menjelajah, perjuangan Dipta merampungkan kuliah, dan pengorbanan...