22. Rida

12 2 0
                                        

Sesekali Rizqi ingin, ketika ditanya tujuan hidup, ia bisa menjawab dengan mantap, untuk meraih rida Allah. Akan tetapi, realita tak semanis itu. Menilik tindak-tanduknya seumur-umur, waktunya lebih banyak digunakan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah—yang tak butuh waktu lama untuk kembali raib. Rasanya duniawi sekali.

Hanya di waktu pagi, Rizqi sejenak lepas dari kesibukan duniawi. Hanya jika tidak terlampau lelah, pemuda itu bisa bangun dini hari; bermesraan dengan kalam Ilahi; melangitkan munajat pada Rabb, Sang Pemelihara langit dan bumi. Hanya kala Subuh, pemuda itu bisa salat di awal waktu; meraup kebajikan dalam setiap langkah menuju surau; meraih keutamaan derajat dua puluh tujuh.

Hari ini, Subuh-nya terasa lebih istimewa. Dipta dan Seno—dua orang yang sudah ia anggap adik sendiri—mengekorinya ke masjid. Dipta, cowok jangkung yang gayanya acuh tak acuh tetapi sebenarnya perhatian, tampak merapatkan tangan; menghalau gigil. Calon sarjana itu mengaku ingin memperbaiki hidup, dimulai dari salat Subuh. Alasan yang sangat diapresiasi Rizqi. Sementara Seno, anak rebel tetapi berhati tulus, berkali-kali menguap; menahan kantuk. Tidak ada alasan khusus, sangkalnya.

"Habis ini Mas biasanya ngapain?" tanya Dipta dalam perjalanan pulang. "Jangan bilang ngojek?"

"Ya, kemarin 'kan udah nggak ngojek seharian," balas Rizqi. 

Kemarin, Dipta benar-benar melarangnya beraktivitas setelah salat Jumat. Istirahat dulu, katanya. Kini, pemuda jangkung itu mendengkus.

"Tapi mungkin aku berangkat agak siang, mumpung hari Sabtu," lanjut sang pengemudi. "Aku mau lari pagi, mau ikut?" tawarnya.

"Mau!" sahut Dipta. Ia betulan niat memperbaiki pola hidup. "Kamu ikut juga, nggak, Sen?"

"Ha?" Si bungsu berjalan sambil ngelindur. "Nggak dulu, ah. Hoam ..." Ia menguap lebar. "Hari ini ada rapat sama latihan," dalihnya.

"Halah, dasar sok sibuk."

"Biarin daripada nganggur— Ups."

"Eh, eh, isuk-isuk ojo tukaran!" lerai Rizqi melihat kedua adiknya bersiap baku hantam.

-o0o-

"Ridwan Dwi Pradipta!" seru Rizqi dari depan rumah. Pria itu sudah siap dengan kaos santai dan celana training.

"Bentar, Mas," sungut pemuda jangkung yang keluar dengan pakaian santai bernuansa hitam.

Rizqi tertawa lepas. Ia mulai berlari. Menyusuri gang kompleks perumahan. Kondisi kawasan mereka tinggal mendukung untuk lari pagi atau jalan-jalan. Di belakangnya, Dipta mengikuti sambil terengah. Padahal, anak itu jelas lebih tinggi. Langkahnya lebih lebar. Namun, staminanya lebih rendah. Rizqi maklum saja. Dua tahun menjadi teman kos, ia belum pernah melihat Dipta melakukan aktivitas berarti selain mengurung diri di kamar; atau merampungkan skripsi di depan layar.

Pagi-pagi, udara masih segar. Kicau burung terdengar. Dari balik atap-atap rumah, matahari menyembul dan bersinar. Tubuh Rizqi mulai berkeringat, ia merasa bugar. Berketerbalikan dengannya, rasanya Dipta mau tepar.

"Mas, Mas berhenti dulu, Mas," ucap Dipta sambil ngos-ngosan. "Aku capek!"

"Dikit lagi, Dik. Di depan sana ada taman. Sekalian istirahat di sana aja." Rizqi menyemangati.

Dipta memaksa kakinya berjalan sedikit lagi. Sampai di taman yang dimaksud—yang ternyata merupakan bagian dari kawasan taman kanak-kanak—pemuda jangkung itu berhenti dan langsung menggelongsor seraya menyelonjorkan kaki.

"Hihi, capek, ya, Dik?" tanya Rizqi retoris.

Dipta mengatur napas. "Kayaknya kalau aku dibegal, aku bakal mati beneran."

Panggil Aku Dik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang