Sebelum berstatus mahasiswa, Rina mengisi setahun gap year-nya dengan menjadi guru les privat bagi anak-anak tetangga. Tampaknya para orang tua puas dengan kinerjanya, sehingga pekerjaannya sebagai guru les berlanjut sampai sekarang. Sebelum ini, ia mengajar anak-anak tiap sore, kira-kira satu setengah jam, lima hari dalam sepekan. Berhubung sekarang ia kuliah, Rina menggeser jadwal les ke akhir pekan. Tiga setengah jam pada Sabtu dan Minggu pagi.
Sekarang hari Sabtu.
Yang pertama datang, siapa lagi kalau bukan si kembar Delima-Nilam. Rumah mereka yang paling dekat, tepat di sebelah. Kemudian, si paling ambisius, Lukita. Dan yang tidak kalah disiplin, Serene Senja.
"MasyaAllah, Eren sekarang istikamah pakai kerudung, ya?!" pekik Rina.
Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Wajah bundarnya makin bersinar dibingkai kerudung instan.
"Kerudung wajib dipakai di depan semua orang yang bukan mahram 'kan, Mbak? Mas Glen itu bukan mahram, ya?" tanya anak kalem itu.
Rina membelai kepala Eren dengan sayang. Membenarkan perkataannya seraya menatap mata sipitnya. "Benar itu."
Sebelum ini, anak yang bersekolah di Muhammadiyah itu mengenakan kerudung hanya ketika sekolah atau ketika ke tempat yang agak jauh dari rumah. Syukurlah sekarang ia sudah paham hukum menutup aurat.
"Aku juga sekarang kalau ke sekolah pakai kerudung, Mbak," sahut Luki tak mau kalah. Agaknya si ikal hitam manis itu cemburu mendengar Eren dipuji. "Soalnya aku sudah kelas empat. Bajuku sudah kependekan. Jadi, aku dibeliin baju baru yang lengan panjang sama rok panjang biar muat sampai kelas enam. Sekalian pakai jilbab, deh."
Rina tertawa mendengar penjelasan si manis yang panjang lebar.
"Bagus itu," pujinya. "Sekalian minta ke Ibu buat dibeliin baju rumah yang panjang-panjang sama jilbab santai buat dipakai kalau lagi keluar rumah selain ke sekolah," katanya mempersuasi.
"Nanti kalau aku ranking satu lagi, aku minta ke Ibu, deh."
Sementara itu, Delima tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Aku juga mau ngambil kerudung!" katanya seraya berlari ke rumahnya di sebelah.
"Ambilin punyaku juga, Im!" pekik Nilam.
Rina geleng-geleng kepala sambil tersenyum semringah. Senang sekali kalau tempatnya jadi ajang saling memperbaiki diri dan menularkan kebaikan.
Setelah Delima kembali dengan pashmina membingkai wajah tirusnya—sebenarnya, poni dan lehernya masih terlihat—juga membawa tudung serupa untuk Nilam, barulah datang dua personel terakhir: Fio, anak perempuan periang, dan Glen, satu-satunya laki-laki di sana.
"Yay! Anak-anak pelangi sudah lengkap semua!" sambut Rina.
"Yeay!" Fio ikut-ikutan.
Pelangi adalah nama untuk tempat les mereka. Dinamakan demikian karena menurut Rina, keenam anak-anak dengan berbagai karakteristik itu dapat direpresentasikan oleh warna-warni pelangi. Merah-Delima, Jingga untuk Eren, Kuning untuk Kemuning A. Lukita, Hijau untuk Glen, Biru-Nilam, dan Ungu-Fiolet.
"Ini bocil-bocil kenapa pada pakai jilbab?" tanya Fio dengan gaya bicara dan gesturnya yang luwes.
"Sendirinya juga masih bocil," ledek Rina meskipun ia mengerti mengapa Fio menyebut mereka begitu. Fio, Luki, dan Glen dua tahun lebih dua daripada Ima-Ila-Eren yang masih kelas dua SD.
"Mau pengajian?" tukas Glen yang air mukanya tampak tengil.
"Kami pakai jilbab gara-gara ada kamu, tahu. Dasar, cowok," balas Rina seraya menarik salah satu sudut bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku [Dik] Saja
Espiritual[Sekuel dari Panggil Aku "Mbak" Saja] Rina sekarang jadi mahasiswa! Lantas, bagaimana dengan anak-anak Pelangi? Petualangan Rina berkelindan dengan Arseno yang sedang senang-senangnya menjelajah, perjuangan Dipta merampungkan kuliah, dan pengorbanan...