20. Ihsan

3 2 0
                                    

Hidup Dipta seperti kembali ke titik nol. Pemuda itu sudah menyelesaikan revisi terakhir buku skripsi dan melengkapi persyaratan yudisium. Tinggal menghitung minggu untuk ia dinyatakan lulus. Sebuah pertanyaan kembali menggema di benaknya: setelah ini, apa?

Dinikmatinya pemandangan malam dari jendela yang menghadap ke jalan. Langit gelap. Kota ini punya polusi cahaya dengan magnitudo yang cukup besar sehingga gemintang pun enggan menampakkan diri. Objek langit yang cukup dekat, bulan, juga tidak tampak karena posisinya membelakangi matahari. Akan tetapi, malam gelap pun punya pesonanya sendiri.

Gemerisik daun yang bergesekan ditiup bayu mengalun memanjakan rungu. Dinginnya angin seakan membelai mesra. Kalau sedang waras, indera Dipta berfungsi dengan amat baik. Orang bilang, ia tipe pengamat. Dari sepetak jendela di lantai dua, banyak hal yang ia lihat. Jalan di dalam gang yang lengang. Rumah di seberang yang lampunya padam—mungkin memang tidak berpenghuni, Dipta ingat pernah melihat tulisan 'DIJUAL' di depan rumah itu—sementara rumah di kanan-kirinya nyala seperti biasa. Agak jauh di ujung gang, atap langgar terlihat. Bentuk limas segiempat membuatnya menonjol di antara bangunan lainnya.

Aha! Dipta tahu apa yang pertama-tama harus ia lakukan: memperbaiki pola hidup. Dua tahun belakangan aktivitasnya berputar pada kampus dan kamar; tidur, bangun, makan, kerjakan skripsi, bimbingan, salat, tidur lagi. Ditambah begadang kadang-kadang. Pemuda itu butuh variasi, dimulai dari ibadah, misalnya. Ia bertekad besok Subuh akan mengekori Rizqi ke langgar.

Ah, Dipta jadi ingat Rizqi. Sebenarnya, pola hidup teman satu kosnya itu juga tidak bisa dikatakan balance. Sebagian besar waktunya habis untuk bekerja. Timpang. Ia bahkan belum pulang jam segini. Malam semakin larut.

Pagi hari, Dipta terbangun oleh alunan melodi dari telepon pintarnya. Bukan alarm, melainkan panggilan masuk dari nama Rizqi di kontaknya. Setengah sadar, ia menerima panggilan itu.

"Halo?" sahutnya dengan suara serak.

"Dik ... Dipta, Mas boleh minta tolong?"

Pemuda itu sontak terjaga demi mendengar suara dari seberang sana, lirih dan parau. Kalau orang yang gemar menolong tiba-tiba meminta bantuan, artinya telah terjadi situasi yang gawat. Ditambah suara Rizqi di telepon yang mendukung bahwa orang di seberang sana sedang tidak baik-baik saja.

"Gimana, Mas?" jawab Dipta sigap, menyimak penuturan Rizqi.

Permintaan pertama Rizqi adalah agar Dipta mendatangi rumah seberang. Meskipun heran, Dipta menurut. Melihat kondisi rumah yang lumayan rapi, Dipta menarik asumsinya semalam, jelas ada orang yang tinggal di sini. Namun, berapa kali pun ia mengetuk pintu, tidak ada orang yang menyahut.

"Orangnya pergi mungkin, Mas."

Di seberang sana, Rizqi terdiam sesaat.

"Kalau gitu apa kamu bisa ke sini? Mas lagi di rumah sakit."

"Aku ke sana, Mas." Dipta menyanggupi. 

Pemuda itu tidak punya ide tentang apa yang terjadi. Namun, fakta bahwa Rizqi menghubunginya memberi sinyal bahwa kawannya itu percaya padanya. Dipta tidak ingin merusak kepercayaan itu.

"Tapi jangan sendiri, bahaya!" pesan Rizqi. Ada nada khawatir dalam suaranya. "Kalau bisa ajak Ibu Nur, atau—"

"Ibu kayaknya lagi salat. Enggak enak ganggu beliau subuh-subuh. Aku bakal ajak Sen."

"Kamu juga jangan lupa subuhan dulu, Dik."

"Aman, Mas."

Dipta melirik layar ponsel. Sekarang pukul empat lewat seperempat. Belum azan, tetapi langgar sudah membunyikan bunyi-bunyian. Pemuda jangkung itu lantas mengetuk pintu kamar Seno. Tak sabar, ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Putra bungsu Ibu Nur itu masih lelap di kasur. Dipta menepuk-nepuk pipi anak itu seraya berseru rendah, "Sen, bangun, Sen!"

Panggil Aku [Dik] SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang