Siapa yang sudah siap dengan kematian ?Jika ada orang yang bertanya seperti itu, maka Raga akan mundur perlahan dari barisan-- Dia bukan orang yang menginginkan hal tersebut. Bukan juga manusia yang dengan lapang dada menerima bahwa dirinya akan mati muda dan sisa hidupnya hanyalah tinggal satu tahun.
Iya, kalian tidak salah dengar.
Setelah selesai bermain futsal dengan teman-temannya. Raga tumbang di dalam ruang ganti. Beruntung dirinya langsung di temukan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah pemeriksaan yang cukup panjang, mulai dari Echocardiografi hingga CT Scan. Dokter menemukan sumber masalah yang ada di tubuhnya tersebut.
"Ini adalah kanker yang tumbuh di jantung kamu..." dokter itu menunjukkan hasil pemeriksaan di layar komputer, kepadanya dan sang ayah. "Memang kasus seperti ini sangat jarang ditemukan, karena biasanya jantung sendiri lebih kebal terhadap kanker. Tapi bukan artinya angka kasus tersebut benar-benar 0" jelas sang dokter.
"Lebih lanjutnya lagi ini adalah Sarkoma yang tumbuh dengan ganas di otot dan pembuluh darah Jantung. Perkembangan kanker-mu ini juga sangatlah cepat dan ganas" ungkap dokter.
Abimayu, sang ayah yang harus membatalkan tugas dinasnya di luar pulau terus memperhatikan seksama atas semua penjelasan yang dokter ucapkan. Tidak bisa dipungkiri raut wajah pria 47 tahun itu menunjukkan cemas dan khawatir atas kondisi anak semata wayangnya. "Ini bisa di sembuhkan, iya kan dok ?" ia bertanya, penuh harap.
"Jujur saja, angka harapan hidup penyakit ini tidak lah bagus" balas sang dokter.
"Lalu...apa aku akan mati ?" Raga bertanya di tengah suasana menegangkan itu--ketakutan yang ia punya lebih besar dari sang ayah.
Dokter memperbaiki kacamata miliknya dan dengan berat hati menjawab pertanyaan tersebut. "Satu tahun. Itu adalah sisa waktu yang kamu punya"
Vonis tersebut masih mengahantui isi kepala Raga. Pria berusia 17 tahun itu bergeming di atas jembatan, menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas besi yang ada. Menatap langit sore yang mulai menghitam. Isi pikirannya tak karuan, meski lebih banyak tentang rasa takut akan mati yang sudah ada di depan mata.
Raga tidak ingin menerima semua takdir ini. Dia mengepalkan tangannya erat-erat kepada besi pagar jembatan. Berharap rasa sakit yang muncul dihatinya bisa terlepas setelah meluapkan itu semua. Air matanya mengalir deras, terjun bebas dari pipi hingga jatuh ke air sungai yang ada dibawahnya.
Raga benar-benar hilang arah. Bagaimana dia bisa melangkah maju jika sudah seperti ini ? Dia masih memiliki mimpi yang besar, harapan yang tinggi akan masa depan. Dirinya pun teringat dengan wajah sang ibu. Bayangan senyuman lembutnya membekas hangat di ingatan. Hal itu justru membuatnya semakin menangis.
Raga menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sesekali menyeka air mata yang keluar. Tak peduli orang lain melirik aneh kepadanya dibelakang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAD INSIDE
Teen FictionNiskala berbeda dengan kebanyakan orang. Ketika kematian adalah hal menakutkan, untuknya merencanakan bagaimana ia bisa mati adalah sesuatu yang lumrah. Niskala selalu berpikir bahwa semesta tempat ia lahir tidak akan pernah cocok untuknya--Memang b...