Jangan pernah bicara padaku nanti. Anggap saja kita tidak pernah bertemu
Itu menjadi kalimat terakhir yang Niskala katakan sebelum akhirnya pergi tanpa permisi. Raga kembali di buat kebingungan dengan maksud ucapannya. Kenapa Niskala bicara begitu ? Kenapa juga ia meminta Raga untuk menganggap mereka tidak pernah bertemu ?
Tidak bisa juga ia melupakan tentang keinginan Niskala yang cukup ekstrim baginya. Yeah, i want to die, Raga. Kalimat itu bahkan masih seakan bergema kecil didalam telinganya.
Entah mengapa Raga merasa resah setelah percakapannya dengan Niskala kemarin. Padahal mereka hanyalah dua orang asing yang belum lama bertemu. Dulu Raga sempat membaca bahwa laki-laki cenderung mudah sekali membangun hubungan dengan orang yang baru mereka temui. Sebenarnya Raga tak terlalu percaya dengan pendapat itu, sejauh ini jalinan pertemanan yang ia lakukan murni semata-mata karena ketertarikannya dalam bersosialisasi--dengan kata lain dia hanya seorang extrovert.
Raga menghentikan langkahnya. Dia sudah sampai di depan gerbang sekolah SMA Widyantara. Dibandingkan dengan sekolah-nya dulu, tempat ini sedikit lebih nyentrik. Dari depan Raga sudah disambut oleh ukiran logo berbentuk sesosok perempuan bertangan empat memegang bunga teratai dan sitar, sudah pasti itu adalah sesosok dewi yang Raga tak tahu namanya. Belum lagi dengan bentuk bangunan yang cenderung terpisah dan bertingkat tinggi. Tak ada atap miring dengan genteng merah. Bangunan itu di dominasi oleh warna Navy serta putih.
Di lain sisi Raga sedikit cemas karena dia belum memiliki seragam resmi di sekolah ini. Seperti rompi, almamater, dan atribut lainnya. Sebenarnya Abimayu sudah memesankan semua keperluan tersebut dan Raga hanya tinggal mengambilnya di koperasi nanti. Rencananya seperti itu, sampai ketika ia masuk ke dalam lobby sekolah, seorang guru berdiri di samping meja resepsionis--melihat dirinya berjalan masuk, dan tersenyum.
"Nak Raga" panggil guru tersebut.
Raga kaget nama-nya di panggil oleh seseorang ditempat ini. Bagaimana dia bisa tahu namanya, padahal ini adalah hari pertama dia masuk sekolah ? Terlebih orang yang memanggilnya adalah seorang guru--lalu Raga teringat dengan sosok sang ayah.
Apa dia adalah kenalan ayah ? Pikir Raga.
Nyatanya Raga sudah memikirkan skenario ini, dimana suata saat akan ada guru yang memperhatikan dirinya layaknya anak yang lemah. Tapi dia tidak menyangka momen tersebut datang begitu cepat. Raga memutuskan bersikap seperti murid teladan lainnya, menyalimi sang guru dan menyapanya sebagai basa basi belaka.
"Pagi pak" sapa Raga.
"Lihat ini ! Sudah besar kamu sekarang !" seru sang guru yang menggenggam kedua bahu Raga--cukup erat.
Raga tersenyum kaku, matanya berpatroli mencari petunjuk atas identitas pria di depannya ini. Ia lalu menemukan name tag yang terpasang di baju dinas coklat tersebut, sebuah nama terukir diatasnya. Firdaus. Tetap saja, Raga masih tak memiliki ide siapa sebenarnya orang ini. Yang jelas, dia tidak bisa mengingat satu pun memori tentangnya.
Firdaus menggiring Raga keluar dari area lobby yang membawa mereka menuju sebuah lapangan persegi--terapit oleh tiga gedung utama. Hal menonjol dari lapangan tersebut adalah sebuah pohon beringin yang tumbuh diatas beton kokoh. Banyak murid duduk dibawahnya, mengobrol sebelum bel pelajaran berbunyi.
"Abimayu bilang, kamu sedang sakit. Apa sekarang kamu baik-baik saja ?" Dia bertanya, melipat kedua tangan ke belakang.
Raga meraih belakang lehernya, merasa tak nyaman dengan pertanyaan tersebut. Tapi dia juga tidak bisa diam saja tanpa menjawab--itu bisa dianggap tak sopan. "Bukan sakit yang terlalu parah, dokter juga bilang ini masih bisa disembuhkan" dia sedikit berbohong, namun ia campur dengan sedikit fakta.
"Masih bisa disembuhkan, ya ?" Firdaus mengulanginya. Nada seperti mencerna kalimat tersebut dan mengangguk pelan. "Yang jelas, Abimayu sudah menitipkan kamu ke saya. Jadi jika kamu merasa tidak kuat mengikuti kelas, jangan ragu untuk pergi ke UKS. Kamu tidak perlu memikirkan masalah absensi" jelasnya.
Raga tak menyukai sikap dari Firdaus yang menganggapnya seakan sebagai murid istimewa atau mungkin juga sebagai murid rapuh yang perlu di jaga. Entah apa hubungannya dengan sang ayah, Raga tetap tak ingin menerima perlakuan ini. "Bapak gak perlu khawatir, saya akan tetap mengikuti kelas seperti biasanya. Bahkan mungkin, saya berniat untuk sedikit aktif di klub olahraga" balas Raga, menolak semua itu dengan ramah.
"Hahaha ! Semangat kamu itu memang benar seperti Abimayu. Saya suka dengan tekad kamu. Tapi tolong ingat ini, kamu itu sudah kelas 12. Saya rasa mengikuti aktivitas klub bukanlah prioritas utama--apa kamu sudah memikirkan untuk melanjutkan kemana ?"
"Akademi TNI--saya mau pergi kesana" Raga menjawabnya tanpa ragu. Firdaus benar dan Niskala juga benar, Raga memiliki tekad yang kuat di matanya.
"Persis seperti ayah kamu...Bagus, saya yakin kamu pasti bisa" angguk sang guru.
Raga dibawa kesebuah ruangan yang mana tempat itu adalah milik Firdaus. Raga lalu menyadari jika Firdaus merupakan kepala sekolah SMA Widyantara. Diatas meja kerjanya, sudah ada paper bag--tertutup rapat. Firdaus mengambil benda tersebut dan menyerahkannya kepada Raga.
"Seragam sekolah dan atribut lainnya ada disini. Memang sedikit telat, karena kami harus membuatnya lebih dulu bersama dengan antrian siswa baru tahun ini" Firdaus menjelaskan.
"Terima kasih, pak" Raga menerima paper bag tersebut yang ternyata sedikit lebih berisi dari yang ia bayangkan.
Firdaus menganggukkan kepalanya lalu duduk bersandar di kursi kerja. "Kamu tunggu saja disini, sebentar lagi seharusnya dia datang" ucapnya.
"Dia ?" tanya Raga.
"Iya, murid yang akan mengantar kamu ke kelas. Kalau ada masalah apapun dan saya sedang tidak ada disini, kamu bisa meminta bantuan ke anak itu nanti"
Di waktu yang bersamaan ketukan pintu berbunyi, disusul deret pintu terbuka dari belakang. Suara laki-laki sedikit berat muncul dari arah yang sama. "Permisi pak. Katanya bapak manggil saya ?"
"Panjang umur ! Ayo masuk, sini!" Sorak Firdaus.
Raga menoleh ke belakang, mendapati seorang murid berparaskan blasteran masuk bergabung dengan mereka. Pria itu juga menyadari keberadaan Raga disana, dia hanya menatapnya lalu sedikit menunduk--tanda menyapa.
"Ini Juantara. Dialah yang akan mengantar kamu ke kelas nanti" ucap Firduas.
TBC
----
Chapternya agak pendek 🥲 dan sepertinya chapter kali ini sedikit berantakan :)
But...Juan akhirnya muncul juga 🙂↔️ yang artinya sekarang tiga karakter utama sudah muncul ke permukaan 😶🌫️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAD INSIDE
JugendliteraturNiskala berbeda dengan kebanyakan orang. Ketika kematian adalah hal menakutkan, untuknya merencanakan bagaimana ia bisa mati adalah sesuatu yang lumrah. Niskala selalu berpikir bahwa semesta tempat ia lahir tidak akan pernah cocok untuknya--Memang b...