"Apa itu pahlawan?"
Lelaki yang mengenakan tudung hitam yang menutupi kepalanya itu berbicara dengan suara tenang.
"Pisau yang melindungi kehidupan. Pelindung peradaban. Pedang yang menebas kejahatan. Pembasmi raja iblis."
Pria itu mengucapkan setiap kata dengan suara tanpa emosi. Di balik suara pria itu, yang diwarnai kegelapan total, terselip sedikit jejak perasaan.
"Berbagai gelar dipuji, namun di zaman ini maknanya telah terdistorsi menjadi sekadar pembunuh."
Penghinaan.
Dia menaruh penghinaan terhadap para pahlawan yang dipuji semua orang.
"Dari pahlawan pertama yang tak bernama di zaman dahulu, para pahlawan zaman dulu adalah orang-orang yang layak mendapatkan pujian seperti itu, tetapi tidak lagi. Lihatlah zaman ini. Saksikan tragedi ini."
Di sekitar pria itu berserakan sejumlah mayat.
Orang terbunuh dengan berbagai cara.
Sisa-sisa pahlawan palsu yang menyebut dirinya pahlawan.
"Jika saat itu masih zaman para dewa memilih pahlawan, masalah ini tidak akan ada... Tapi sekarang, zaman di mana banyak penipu bodoh yang mengaku sebagai pahlawan."
Setelah menendang kepala pahlawan palsu di kakinya, pria itu berbicara.
Kepala yang terpenggal secara mengerikan itu memiliki ekspresi yang seolah-olah tidak memahami kematiannya sendiri.
"Sampah seharusnya berada di tempat sampah, jadi meskipun aku harus mengotori tanganku sendiri, aku akan membuang sampah yang mencemari dunia ini."
Pria itu menggeram sambil menghunus pedang di pinggangnya.
"Jadi aku tanya padamu, apakah kalian juga pahlawan palsu yang menyamar sebagai pahlawan sungguhan seperti sampah ini?"
- Kutipan dari novel 'Hero Hunter'
Konon, novel ini terinspirasi dari insiden pembunuhan massal yang terjadi beberapa tahun sebelum penerbitannya, tetapi kebenaran insiden itu sendiri tidak jelas.
Namun, berkat kemarahan masyarakat saat itu terhadap mereka yang mengaku sebagai pahlawan, novel ini mampu menghindari reaksi keras apa pun.
---------------------
Sambil duduk di meja, saya berbicara kepada anak lelaki itu yang tengah menggigit kue dengan mulut kecilnya.
"Nah, tampaknya kamu sudah lebih tenang sekarang."
"Ah, ya. Aku merasa lebih tenang sekarang."
Seorang anak laki-laki muda berpenampilan biasa dengan rambut cokelat yang dapat terlihat di mana saja. Penampilannya tidak memiliki ciri khas apa pun, membuatnya tampak seperti wajahnya akan sulit diingat dengan jelas sekilas.
Perasaan seperti... udara, kurasa. Selain itu, kehadirannya samar-samar.
Terasa seperti bakat yang dioptimalkan untuk infiltrasi.
"Jadi, maukah kau memberitahuku namamu?"
"Namaku?"
Anak lelaki itu ragu sejenak mendengar perkataanku sebelum menjawab dengan hati-hati.
"Aku tidak punya. Aku tidak punya nama."
Hm? Tidak ada nama?
Hah. Apakah orang tuamu tidak memberimu nama?
"Kamu tidak punya nama. Maksudmu ayahmu tidak memberimu nama?"
"Saya tidak punya ayah."
"Ah, lalu ibumu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Naga di Dunia Baru
FantasiKisah seorang manusia yang bereinkarnasi sebagai Dewa Pencipta dunia baru, dan catatan pengamatannya terhadap dunia dan kehidupan baru yang sedang berkembang. - Naga yang sudah ada sejak sebelum lahirnya peradaban manusia menjadi naga penjaga kekais...