Setelah Sheila pulang dari perjalanan bisnisnya yang panjang dan melelahkan, suasana di rumah terasa tegang. Dia membuka pintu kamar dan memasuki ruangan dengan langkah lelah. Tas beratnya dijatuhkan di kursi dekat meja rias, dan dia melepaskan sepatu hak tingginya dengan gerakan kasar. Setiap gerakan terasa seperti beban yang lebih berat setelah seharian bekerja keras.
Alex, yang sudah menunggu dengan penuh penyesalan, berdiri di ambang pintu kamar, mengamati Sheila dengan tatapan penuh harap. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk memperbaiki keadaan dan rasa frustasi yang semakin mendalam. “Sheila, kita perlu bicara,” katanya lembut, suaranya penuh penyesalan yang tulus.
Sheila, yang masih merasa capek dan frustrasi, menghela napas berat dan membuka lemari pakaian. Tanpa menatap Alex, dia mulai mengeluarkan pakaian yang nyaman untuk diganti. “Apa lagi, Alex? Aku baru pulang. Bisa nggak kita bicara nanti?” jawabnya dengan nada datar yang mencerminkan kelelahan dan ketidakpedulian.
Alex mendekat, ekspresinya menunjukkan kemarahan yang mereda, digantikan oleh keinginan yang kuat untuk memperbaiki keadaan. Dia tahu bahwa komunikasi mereka semakin terjalin buruk, dan dia merasa harus berusaha lebih keras untuk menjembatani jarak di antara mereka. “Aku minta maaf tentang pertengkaran kita sebelum kamu pergi,” katanya, suaranya penuh penyesalan. “Aku merasa diabaikan dan aku tidak seharusnya bertindak seperti itu.”
Sheila berhenti sejenak, menatap Alex dengan tatapan lelah namun penuh perhatian. Dia bisa merasakan ketulusan dalam suara Alex, tapi rasa frustasinya terlalu mendalam untuk diabaikan. Dia meraih sepotong pakaian dan mengubah topik pembicaraan. “Ini semua tuntutan pekerjaan, Alex,” jawabnya, suaranya sedikit mengendur. “Aku hanya ingin memenuhi ekspektasi di kantor dan membuktikan diri. Kadang, itu membuatku jauh dari rumah.”
Alex mendekat lebih dekat, mencoba membangun jembatan antara mereka dengan setiap kata yang dia ucapkan. “Aku mengerti bahwa pekerjaanmu penting dan bahwa kamu punya tanggung jawab yang besar. Tapi aku merasa sangat kesepian selama kamu pergi. Aku tidak tahu bagaimana cara membuatmu mengerti betapa pentingnya kamu bagi aku.”
Sheila membalikkan badan, masih dengan tatapan lelah namun lebih lembut. “Aku juga merasa kesepian, Alex. Tapi kamu tidak tahu betapa beratnya beban yang aku tanggung di kantor. Terkadang, aku merasa terjebak antara dua dunia yang berbeda—yang satu penuh dengan tekanan dan ekspektasi, dan yang lainnya adalah rumah yang terasa semakin jauh.”
Alex merasakan kesedihan dalam suara Sheila, dan dia melangkah lebih dekat, mengambil tangan Sheila dengan lembut. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kita bisa saling mendukung. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, dan aku bersedia melakukan apapun agar kita bisa melewati ini bersama.”
Sheila menatap tangan Alex yang menggenggamnya, merasakan kehangatan dan dukungan yang dia tawarkan. “Aku tahu kamu tidak berniat untuk menyakitiku,” katanya pelan. “Aku hanya merasa terlalu banyak tekanan dari semua sisi. Aku ingin kita bisa berbicara lebih sering, bukan hanya ketika semuanya sudah terlalu terlambat.”
Alex mengangguk, merasakan beban berat di dadanya mulai mereda. “Aku setuju. Kita perlu lebih sering berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Aku tidak ingin jarak ini semakin menjauhkan kita.”
Sheila menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah mencoba mencari jawaban di luar sana. “Aku akan mencoba, Alex. Tapi kamu juga harus bersabar. Kadang-kadang aku merasa terlalu tertekan untuk bisa berkomunikasi dengan baik.”
Alex mendekat, membelai rambut Sheila dengan lembut. “Aku akan bersabar. Kita akan melalui ini bersama. Aku percaya kita bisa memperbaiki hubungan kita jika kita saling mendukung.”
Sheila memejamkan mata, “Terima kasih,” katanya dengan suara lembut. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku menghargai niatmu untuk memperbaiki semuanya.”
Alex tersenyum lembut dan menarik Sheila ke dalam pelukannya, mengeratkan pelukannya dengan penuh kehangatan. Dia merasakan ketegangan di tubuh Sheila sedikit mengendur saat dia membelai punggungnya dengan lembut. Mereka berdiri seperti itu beberapa saat, hanya saling merasakan kehadiran masing-masing.
Gairah yang selama ini tertahan mulai membara, dan Alex merasakan kebutuhan untuk menyampaikan perasaannya melalui sentuhan yang lembut namun penuh rasa. Sheila, merasakan perubahan dalam pelukan Alex, mendongak dan menatap matanya.
"Aku ingin kita saling memahami kembali,” katanya dengan suara lembut namun tegas, sebelum mulai membelai wajah dan leher Sheila dengan penuh rasa. Gerakan tangannya yang lembut mulai membuat Sheila merasakan ketegangan dalam tubuhnya larut.
Alex mencium bibir Sheila dengan lembut, lalu perlahan menurunkan ciuman itu ke lehernya. Sheila merasakan ciuman Alex yang penuh gairah dan lembut, dan dia merespons dengan napas yang semakin berat.
Tiba-tiba, Sheila mendorong Alex dengan lembut tetapi tegas ke kasur. Gerakan ini membawa serta perasaan baru dari Sheila—keinginan untuk mengambil alih dan mengontrol situasi untuk sementara waktu. Alex merasa terkejut tetapi tidak melawan. Dia hanya mengikuti pergerakan Sheila dengan penuh perhatian, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen ini.
Sheila mengambil posisi di atas Alex, tatapannya penuh intensitas dan tekad. “Aku yang memimpin malam ini” katanya dengan suara lembut namun tegas sementara dia membiarkan Sheila mengambil alih permainan malam itu.
Tbc..
Karna cerita di part ini kepanjangan, akan di buat menjadi dua bagian.
Jangan lupa like dan komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Love & Lies : Affair With Brother-in-Law 21+
Teen Fiction21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik tiri yang ambisius dan penuh rahasia, berusaha menghancurkan hidupnya. Dalam intrik cinta dan keboh...