Anomali

68 30 8
                                        

BACA BAB INI (5 - ANOMALI) DAHULU SEBELUM MEMBACA BAB SELANJUTNYA (6 - MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA) !
_______________

Jam menunjukkan pukul 13:40 wib. Tepat saat itu juga bel berbunyi, tanda kami harus segera keluar kelas. Setelah keluar kelas Jepang, aku berjalan menyusuri lorong gedung SMP dan melangkahkan kaki menuju loker. Chia dan Anas sudah menungguku di sana.
“Ga, lama banget!” sambut Chia.
“Ih badan gue rasanya lemes mulu,” aku menimpali.
“Lu perlu ke UKS deh kayaknya. Itu bawah mata lu item banget, Ga.” Ucap Anas.
Selepas anak bicara hal itu, aku hanya tersenyum. Sambil berpikir. Sudah berapa hari aku tidur lewat malam. Kubuka loker dan kuambil cermin. Kutatap mataku. Ah, benar saja. Hitam adanya, seperti panda. Agak serem sih ini, jadi kayak kuntilanak. Tapi cantik lah. Begitulah aku, ketika kurang tidur atau kelelahan, bawah mataku terlalu exstrovert menampilkannya. Kata Ibu, kondisi mata seperti ini mirip tanteku. Jadi, ini memang turunan, bukan tanjakan.

Setelah bebenah barang di loker, dan membawakan sesuatu untuk Sabba. Ups, sebentar. Aku merasa perlu untuk cerita aku membawa apa. Ini adalah salah satu makanan kesukaanku. Tadi malam aku membuatkannya juga untuk Sabba, bukan karena apa-apa ya. Tapi karena Sabba sudah mau berbaik hati membantuku untuk print partitur. Jadi, ini adalah balasan kebaikkannya untukku.

Aku, Chia, dan Anas berjalan bersamaan menuju gedung Afrika. Gedung ini ada di bawah lokasinya. Digunakan untuk siswa SD. Ruang vocal, letaknya di sini. Lumayan jauh dari gedung SMP. Chia pilih ekskul art, sementara Anas ekskul dance. Ruangan kami bersebelahan. Oleh karena itu, kami bisa jalan bersamaan.

Satu persatu anak tangga kami daki hingga tiba di lantai tiga.
“Woi!” seseorang menepukku dan aku tebak itu pasti Sabba.
“Eh!” ujarku.
Ternyata Keenan. Bukan Sabba. Aku agak kaget. Setahuku Keenan ikut ekskul basket. Kenapa dia ada di sini?
“Kaget kan lu gua ada di sini?” tanya Keenan.
“Kok di sini?  Bukan di lapangan?” tanyaku penasaran.
“Haha, gua pindah ah. Bosen basket mulu.” Jawab Keenan sambil tertawa.
“Emang lu bisa nyanyi?” tanyaku kembali.
“Engga!” Jawab Keenan santai.
“Terus?” lagi aku bertanya, memastikan dia tidak salah pilih ekskul.
“Ya minimal gua suka.”
“Suka nyanyi?” tanyaku kembali.
“Suka sama yang suka nyanyi” Keenan menatapku agak dalam saat itu.
Mata kami bertemu. Sedetik kemudian Keenan tersenyum, lalu aku berpaling mata. Sebetulnya, normalnya bisa saja saat itu aku merasa degdegan, berkeringat, atau mulai tremor dan kumat dongo. Tapi, ditatap Keenan tidak ada reaksi kimia dalam tubuhku. Aku hanya membalas tertawa candaannya saat itu. Karena di kepalaku, aku menungggu seseorang yang lain: Sabba.

Kami memasuki kelas. Bu Riyan sudah siap dengan piano dan partitur yang didisplay melalui proyektor. Sebuah lagu baru yang harus kami pelajari.

“Yuk. Kita sudah telat 10 menit” Bu Riyan memberi aba-aba bahwa kelas akan dimulai. Sementara kakiku tak mau diam. Terus menepuk-nepuk lantai dan mataku selalu tertuju ke arah pintu. Aku masih menunggu Sabba datang. Aku cemas. Sangat cemas. Ingin aku chat untuk bertanya dia dimana. Tapi, di sekolahku semua alat elektronik saat pelajaran berlangsung, dikumpulkan ketika kedatangan. Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. Aku harus tanya Keenan. Mereka sama-sama kelas sepuluh dan kelas mereka berdampingan.
“Sst, Keenan!” Panggilku setengah berbisik.
Keenan menatapku tersenyum sembari mengangkat alis.
“Lu liat Sabba gak tadi?” tanyaku sambil lirih.
“Enggak” Keenan menjawab singkat, padat, dan dingin. Lalu kembali menatap partitur di papan tulis.

Satu jam lebih hingga akhirnya jam ekskul selesai. Sabba tak kunjung datang. Sebelum pulang, Bu Riyan mengabsen kami. Satu persatu disebutkannya.
“Althan?”
“Hadir, bu!”
“Athalla?”
“Ada, Bu!”
“Giza?”
“Siap, hadir, Bu!”
“Calla?”
“Ada, Bu!”
“Keenan? Kamu jadi fix pindah ke sini kan?” absen Bu Riyan kepada Keenan.
“Jadi, Bu.” Keenan menjawab sambil tersenyum kepadaku.
“Baik. Sabba? Oh, iya tadi Sabba izin pulang cepat karena sakit!” Ujar Bu Riyan seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
DEG! Aku terkaget-kaget. Sabba sakit? Saking kagetnya aku tidak sadar bahwa setelah mengabsen Sabba, ia mengabsenku.
“Sagaaaaaaa. Kok bengong?” Bu Riyan setengah teriak tapi dengan senyum ramahnya.
“Bu, ada, bu. Maaf bu” ujarku sambil memosisikan tangan meminta maaf.
“Kalau sakit, jangan dipaksakan ya. Nanti kamu pulang dari kelas ini, minum yang banyak.” Ujar Bu Riyan senyum. Aku mengangguk mengiyakan.

Satu per satu kami keluar kelas. Begitu pun aku. Keenan masih berjalan di sampingku. Ia memerhatikan barang bawaanku dan bertanya.
“lu bawa apa tuh di tangan?”
“Eh ini yang di jar?”
“iya, apa tuh?”
“puding.”
“buat?”
Aku saat itu bingung menjawabnya. Puding ini tadi malam aku buat untuk Sabba. Puding dengan dua layer warna coklat dan hijau. Coklat warna kesukaan Sabba dan hijau warna kesukaanku. Tapi, puding ini kalau terlalu lama di luar ruangan akan basi. Maka tiba-tiba saja aku katakan.
“Nih buat lu!” kepada Keenan. Keenan tersenyum, lalu mengambil puding itu dari tanganku.
“makasih ya, Ga!” ujar Keenan.
Aku hanya membalas ucapan Keenan dengan senyum.

Sebetulnya, Keenan sangat tampan. Wajahnya campuran Indo-Jerman. Katanya, ayahnya orang Jerman. Ibunya orang Sunda. Keenan pernah cerita, kedua orang tuanya bertemu secara tidak sengaja di sebuah pasar di Bangkok, saat mereka sedang travelling. Sungguh jodoh itu sangat sulit ditebak. Maka, jadilah wajah tampan Keenan khas Jerman yang serba mancung, kulit bersih, tapi dengan sentuhan rambut hitam lurus dari ibunya. Dia juga ramah, seperti ibunya. Ibunya  merupakan seorang dokter gigi di kota ini. Sementara ayahnya merupakan seorang pengusaha alat kesehatan. Harusnya, aku juga degdegan diperlakukan demikian oleh seorang Keenan yang tampan. Tapi ini tidak. Dan kalau kau bingung, kenapa aku lebih tahu silsilah keluarga Keenan, itu karena keluargaku adalah pasien langganan mama Keenan. Keluarga kami saling mengenal baik. Aku tahu keluarga Keenan, dan Keenan tahu keluargaku. Beda dengan Sabba, aku tidak pernah tahu keluarganya.

Pukul tiga sore. Langit masih cukup panas. Matahari baru turun perlahan dari ketinggian. Aku diantar Keenan menuju loker kemudian mengambil handphone di ruang elektronik. Aku langsung membuka whatsapp. Berharap ada chat bersuara kabar dari Sabba. Tapi tidak ada.

Kami berjalan berdua. Keenan terus saja mengoceh. Sementara aku, sama sekali tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Mulut Keenan terus menerus terbuka layaknya mulut mengeluarkan kata-kata. Akan tetapi, benar-benar rasanya sunyi. Seperti mute. Saat itu, yang bisa kudengar hanyalah suara hatiku sendiri.
“Sabba kamu sakit apa?
“Sabba apakah kamu sudah minum obat?”
“Sabba kamu di rumah atau di rumah sakit?”
“Sabba kenapa tidak mengabari aku?”

Oh tidak! Kenapa suara hatiku menyebut aku-kamu? Biasanya lu-gua. Aku merasakan reaksi kimia lagi, setelah menjadi tuli, tanganku gemetar. Untung ibu sudah datang menjemputku di lobi sekolah. Aku melambaikan tangan kepada Keenan dan berlalu bersama mobil yang dikendarai ibu, membawa banyak pertanyaan tentang Sabba yang tidak bisa aku jawab saat ini. Mungkin, rindu.

Sabba dan SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang