Kenal, lalu?

111 40 15
                                    

Hari ini, hari pertamaku mengikuti ekskul di sekolah sebagai anak kelas 7. Selolah ini bukan sekolah baru bagiku. Setelah 6 tahun SD, aku melanjutkan kelas 7 di sekolah yang sama.

Menurutku, tidak ada sekolah yang rasanya seperti rumah selain sekolah ini. Maka, aku dan orang tuaku sepakat untuk lanjut. Hari ini Rabu, 05 Agustus 2024. Aku dengan seragam putih hijau dan sepatu putih. Tidak ada yang tahu kenapa di sekolah ini menerapkan menggunakan "white shoes". Sementara di sekolah lain, "black shoes". Di sekolah lain diseragamkan hitam katanya agar tidak terlihat kotor. Oke, mungkin di sini diseragamkan putih agar terlihat kotor. Tapi, keren sih.

Aku menaiki tangga ke lantai 3 gedung Afrika. Di sana juga sudah ramai siswa lain dari SD hingga SMA. Aku berjalan sendiri sambil melihat-lihat dimana ruangan ekskul vokal berada. Ya, aku pilih ekskul vokal. Bukan karena suaraku bagus. Aku pilih ekskul ini, karena suaraku seperti tidak berkembang. Begini-begini saja dari dulu.

Langkah kakiku terhenti ketika ada seseorang menepuk dan bilang,
"Saga, di sini!"
aku menoleh ke arah tepukan dan seorang kaka SMA berwajah tampan tersenyum padaku. Aku yakin, mukaku melongo. Lubang hidungku pasti mengembang, mulutku pasti terbuka lebar. Aih, jelek kayaknya aku saat itu. Bingung, siapa dia.
"Saga, ruang vokalnya di sini".
Kembali dia berkata padaku yang masih melongo.
"Aku Sabba, kita satu ekskul"
"Aku Saga, kak"
"Jangan panggil kak"
"Tapi kan?"
"Gua ga suka senioritas. Gak dulu. Panggil aja Sabba"
"Ga enak ka, hehe."

Perbincanngan kami, selesai di situ. Karena ia berjalan begitu cepat. Aku mengikuti di belakangnya. Lalu duduk di barisan ke dua. Aku membuntutinya lagi, dengan duduk di sampingnya. Alamak! Kenapa aku keringetan macam kepanasan, padahal hujan sedang turun dan AC di kelas ini 16 derajat. Kenapa pula tanganku basah dan jantungku seperti sedang nonton balap. Capek yang tiba-tiba ini mendadak berhenti ketika dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Lagi.

Aku reflek bertanya padanya,
"Kak, UKS dimana ya?"
"Lu sakit?"
"Iya" kataku sambil setengah menggigil, dada jedag-jedug seperti ada konser di dalam jantung, suara bassnya full volume rasanya.
"Yuk, gua anterin!"
Aku pun mengangguk pelan, dan mulai mengikuti kemana Sabba pergi.

Di perjalanan menuju UKS, kakiku rasanya melayang. Kaki ini seperti tidak menginjak lantai. Suara konser di dalam jantungku yang tadinya setengah dangdut mendadak berubah, menjadi rock setengah punk.
Ya Tuhan, kenapa malah dianterin?

Seketika mataku mulai berkunang kunang, padahal pas jam lunchtime tadi aku sudah makan bakso, mie ayam, tambah pangsit, dan minum es teh manis. Aku masih mengikuti langkah Sabba menuju UKS. Menuruni tangga sambil sepenuhnya lemas. Lemas yang benar-benar lemas.

"Kita sudah sampai."
Dia membukakan pintu untukku. Brutal sekali, kataku dalam hati. Ketika pintu dibuka, aku terkaget-kaget karena aku tidak melihat ada tempat tidur, obat-obatan, timbangan, atau apapun yang berbau UKS di sini. Yang aku lihat justru kumpulan alat olahraga,
"ini sih ruang gym" kataku di dalam hati.

"Ini UKS?" aku berusaha memastikan.
"Bukan" jawab Sabba dengan wajah serius.
"Terus?" Aku bertanya lagi.
"Ini ruangan gym!" mukanya sekarang ketus.
"Kok kesini?"
"Yaaaa suka-suka gua lah!" Mukanya sekarang berubah jadi sangat menyebalkan. Tapi tetap ganteng. Kacamata bulatnya sedikit berembun karena berkeringat.

Aku diam. Sambil menatapnya agak dalam. Lalu dia kembali bicara.
"Lu gua ajak kesini karena lu itu bukan sakit!" Sabba bicara dengan nada tinggi.
"hah?" Ujarku sambil mengatur napas.
"Tapi, lu dongo!"
"Hah?"
"Ini nih, ciri-ciri orang dongo. Bentar-bentar hah hah hah!"
"Lu juga dongo, ngapain orang dongo di bawa ke tempat gym?"
"Emang harusnya kemana?"
"KE KANTIN!" ujarku tak kalah sewot.

Aku berbalik badan dan berjalan setengah berlari menuju kantin. Meninggalkan kaka kelas yang baru saja kukenal dengan nama Sabba. Langkah kakiku terlalu cepat meninggalkannya yang mematung di depan ruang GYM. Kali ini aku berlari. Mungkin karena malu. Mungkin karena takut. Mungkin karena lapar lagi, atau mungkin karena mulai jatuh cinta.

Sabba dan SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang