Mecca

49 16 4
                                    



Rasanya, ketika matahari mulai tenggelam. Hari jadi malam, adalah waktu paling menyeramkan buatku. Sama seperti yang selalu Sabba tidak sukai. Mungkin kalau Sabba tahu, dia akan tertawa terpingkal-pingkal karena melihat aku sekarang menjadi Saga yang penakut. Padahal dulu, aku yang selalu jahil menceritakan hal-hal yang seram kepadanya.

Mungkin dia akan tertawa lepas melihat aku yang telah bermetamorfosis menjadi penakut. Takut ingat bagaimana kemarin kami masih menertawakan kebodohan-kebodohan masing-masing. Takut ingat bagaimana indahnya menunggu senja berpamitan dan mengantarkan malam. Takut ingat bagaimana kedongoan menjadi sesuatu yang membuat kami rekat. Takut ingat pada rasa nyaman yang memang bukan seharusnya.

Dulu, apapun yang ingin kusampaikan, terketik begitu saja tanpa takut salah. Jika pun salah, Sabba dan aku akan menertawakannya. Sekarang, berbeda. Aku takut.

Aku takut aku merasakan kehilangan kata "ANJAY ANJAY ANJAY" lengkap dengan capslock. Aku juga takut rindu kata "WOW WOW WOW". Semua jadi serba menakutkan.

Bila jam dinding menunjukkan pukul 09 malam, aku mencoba kembali ke rutinitas lamaku. Tidur cepat. Menarik selimut, mematikan lampu, menyalakan AC, berdoa, dan menutup mata. Tapi tidak bisa.

Berulang kali aku lakukan, yang ada adalah keinginan membuka handphone dan chat menanyakan keadaan dirinya. Pernah aku coba mengetik, tapi tak lama kuhapus lagi sebelum terkirim.

Jika ketakutan itu datang, aku memgobatinya dengan membaca chat-chat kami yang dulu. Mendengarkan suaranya lewat voice note minta maaf yang pernah dia kirim. Tapi terlalu akut. Obatny tidak mempan dan yang terjadi malah ketakutanku semakin naik stadiumnya.

Bila sedang membaca chat-chat kami, kerap kali dia pun online. Saat itu juga takutku kumat. "Apa Sabba juga sama, membaca chat-chat lama untuk tertawa menepis rindu?" Atau mungkin dia sedang chat dengan Delana.

Biasanya sapaan malamku adalah "kak, udah tidur kah?" Sekarang cukup di hati saja. Dan menebak-nebak keadaanmu di sana.

Dulu, waktu ini adalah waktu yang paling aku tunggu. Karena waktu inilah aku bertemu dengan Sabba.

Kali ini tidak. Sudah beberapa hari ini, sejak kejadian bertemu dengan Delana, kami sudah tidak pernah membuka komunikasi. Chat terakhirku pun benar-benar tidak dibaca.  Padahal itu adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Mungkin ia paham, pertanyaanku itu hanya modus agar pembicaraan kami panjang. Sehingga sangat tidak menarik untuk dibaca.


Pun di sekolah, entah aku yang tidak memerhatikan, atau memang benar adanya. Sabba tidak pernah terlihat jajan di kantin. Tidak terlihat di library, di tepi lapangan, di amphi theater, atau spot-spot lain yang biasanya kami bercengkrama.

Kalau aku bertanya ke teman sekelasnya, apakah Sabba masuk atau tidak, jawabannya selalu masuk. Tapi aku tidak pernah melihatnya.

Hingga akhirnya, hari kamis. Hari dimana kami akan ekskul dan persiapan ART FESTIVAL, mau tidak mau kami bertemu. Tapi pada situasi yang jauh berbeda. Padahal jarak kami hanya terjeda beberapa jengkal saja. Namun rasanya sangat jauh....sekali.

Sesekali kucoba curi pandang, tapi situasi tidak berubah. Akhirnya aku mencoba berpura-pura fokus. Menatap layar infocus dan mengikuti arahan Bu Riyan.
"Oke, kita break terlebih dahulu ya. Boleh minum" ujar Bu Riyan.

Aku berdiri dan meminta izin kepada Bu Riyan untuk ke toilet.
"Bu, izin ke toilet ya"
"Silakan, Saga".
Aku berjalan menuju toilet. Di Gedung Afrika ini toilet siswa laki-laki dan perempuan ada di lokasi yang sama. Hanya dipisahkan sepasi tembok yang tidak menutup utuh.

Aku berjalan dan memasuki toilet. Sebetulnya tidak ingin buang air. D toilet aku hanya duduk, kemudian melamun. Setelah itu aku bangun, dan membuka pintu. Betapa kagetnya, di depan mataku telah berdiri seorang lelaki, yang beberapa hari ini telah hilang.

"Eh," hanya kalimat itu yang aku ucapkan sementara, saat dada terasa sesak dan mata mulai hampir basah.
"Saga, boleh bicara?" Sabba memulai pembicaraan.
Aku hanya mengangguk.
"Sabtu, gua boleh jemput? Gua mau ajak lu pergi." Ucap Sabba.
Aku pun hanya mengangguk.
"Gua jemput jam 11, gua bawa motor ya. Kita keliling kota, dan makan di taman sebelah kebun".
Aku pun hanya mengangguk lalu tersenyum.
"Oiya, boleh pakai baju putih?" Tanya Sabba.
"Boleh kak". Akhirnya aku bisa menjawab tanpa mengangguk.
"Makasih ya, gua balik lagi ke kelas." Ucap Sabba sambil membalikkan badan.

Saat itu, aku belum bisa menggerakkan kaki. Beberapa detik aku mematung. Setelah mulai merasa tenang, aku mulai kembali ke kelas.

Aku duduk kembali di kursi dengan formasi yang sama. Saat telah duduk, tiba-tiba seorang perempuan kecil berambut ikat kelinci menghampiriku. Pipinya merah. Dia adalah Mecca. Anak kelas dua yang sangat ceria.

Dia berdiri di depanku, tersenyum lalu berkata.
"Kakak, kakak Saga nanti cocok akan menikah dengan kakak itu", ujar Mecca sambil menunjuk seseorang yang dia tuju.
Aku yang mengikuti arah telunjuk Mecca tiba-tiba berdegup kencang, lemas, dan sontak menutup mulut Mecca. Sambil berbisik kusampaikan.
"Mecca, ayo kita latihan lagi!".
Aku antar Mecca ke kursinya di depan, dan kembali duduk di kursiku. Keenan agak menolehku. Tapi tidak dengan Sabba.

Aku kembali duduk dan kembali latihan, meskipun fokusku terganggu dengan ucapan Mecca. Aku tidak pernah berkenalan dengan Mecca, darimana dia tahu namaku, dan kenapa dia tiba-tiba saja berucap demikian.

Usai latihan, aku menatap tubuh Saga. Yang sedari tadi duduk tanpa menolehku. Entah benci, entah menutupi perasaan, entah. Mecca kembali ke arahku, berjalan sambil setengah melompat. Lalu,  menarik tanganku dan merengek.
"Kaakaaa, antar aku ke parkiran kaaa,".

Saat itu aku tidak punya pilihan lain, selain mengantar Mecca. Meninggalkan Sabba, yang masih duduk dan mengobrol di kelas. Saat itu, kakiku berat. Berat sekali.

Sabba dan SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang