++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Setelah pertemuan dengan Adrian, Nina kembali ke kost-nya dengan pikiran yang masih sibuk memikirkan perasaannya. Pintu kayu kost yang sederhana menyambutnya ketika ia tiba. Nina memasukkan kunci dan membuka pintu kamar, merasakan kehangatan ruangannya yang akrab. Dia meletakkan tasnya di meja, menggantung jaket, dan kemudian berbaring sejenak di tempat tidurnya.
Sambil menatap langit-langit, pikirannya berputar tentang percakapan hari ini. Adrian adalah orang yang menyenangkan, dan Nina merasa ada koneksi yang baik antara mereka. Namun, perasaan terhadap Arga masih membayangi pikirannya. Dia merasa sedikit bersalah karena hatinya terbagi, tapi dia juga tahu bahwa perasaan adalah sesuatu yang kompleks dan tidak selalu bisa dikendalikan.
Tiba-tiba, ponsel Nina bergetar. Dia meraih ponsel dari meja samping tempat tidur dan melihat bahwa Arga yang menelepon. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Nina menarik napas dalam-dalam sebelum menggeser ikon telepon untuk menjawab panggilan.
Nina: "Halo, Arga."
Arga: "Hai, Nina. Apa kabar?"
Nina merasa ada nada canggung dalam suara Arga, sesuatu yang belum pernah dia dengar sebelumnya.
Nina: "Baik, kamu gimana? Udah lama nggak dengar kabar dari kamu."
Arga: "Aku baik. Maaf ya, aku baru bisa hubungi. Ada beberapa hal yang harus diurus."
Nina: "Gak apa-apa. Jadi, ada apa?"
Arga terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat.
Arga: "Aku... Aku pengen ketemu. Bisa sekarang? Ada yang ingin aku bicarakan."
Nina terkejut dengan permintaan ini. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali mereka berbicara, dan Arga jarang meminta bertemu tanpa alasan yang jelas.
Nina: "Boleh. Di mana kita ketemu?"
Arga: "Di kafe di depan kost kamu, gimana?"
Nina berpikir sejenak, lalu setuju. Meskipun hatinya berdebar, dia ingin tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Arga.
Nina: "Oke, aku akan ke sana sekarang."
Setelah menutup telepon, Nina segera bersiap-siap. Dia merapikan rambutnya dan mengganti pakaiannya dengan kaus lengan panjang berwarna putih dan celana jeans yang nyaman. Tak lupa, ia mengenakan sepatu kets dan membawa jaket tipis. Sambil berjalan menuju kafe, Nina berusaha menenangkan dirinya. Pertemuan dengan Arga selalu membawa perasaan yang kompleks, dan kali ini, dia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Saat Nina tiba di kafe, dia melihat Arga sudah duduk di salah satu meja di sudut, tampak gelisah. Arga mengenakan kemeja kasual dan celana jeans, tampilannya tetap rapi seperti biasa. Ketika melihat Nina masuk, Arga berdiri dan tersenyum tipis, namun ada ketegangan di wajahnya.
Nina berjalan menuju meja dan duduk di hadapan Arga. Mereka saling bertukar senyum canggung sebelum memulai percakapan.
Arga: "Hai, Nina. Makasih udah mau ketemu."
Nina: "Iya, sama-sama. Jadi, ada apa?"
Arga terdiam sejenak, menatap cangkir kopi di depannya. Dia terlihat berpikir keras sebelum akhirnya berbicara.
Arga: "Aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi aku harus jujur sama kamu."
Nina merasakan ada sesuatu yang serius dalam nada suara Arga. Dia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdebar.
Nina: "Tentu, katakan saja."
Arga menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
Arga: "Aku... Aku sudah memutuskan untuk kembali ke kota asal. Ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan mungkin aku akan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama."
Kata-kata itu terasa seperti bom meledak di kepala Nina. Dia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, meskipun hubungan mereka tidak jelas, Nina selalu merasa ada harapan untuk lebih dekat dengan Arga. Mendengar bahwa Arga akan pergi membuatnya merasa kosong.
Nina: "Kenapa kamu baru bilang sekarang?"
Arga: "Aku juga baru memutuskan. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku merasa ini keputusan yang terbaik untuk saat ini."
Nina berusaha memproses informasi itu. Dia merasa kecewa dan bingung. Pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua membuncah di pikirannya.
Nina: "Jadi, bagaimana dengan kita? Maksudku, hubungan kita?"
Arga tampak lebih gelisah. Dia menggenggam tangannya sendiri, terlihat seperti sedang mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Arga: "Aku tidak tahu harus bilang apa. Kita belum pernah benar-benar bicara tentang hubungan kita, dan aku minta maaf kalau ini membuatmu bingung. Tapi aku rasa, ini saat yang tepat untuk kita berdua mengambil jarak. Aku butuh waktu untuk mereset semuanya, dan mungkin ini juga waktu yang tepat untuk kamu berpikir tentang perasaanmu."
Nina merasa hampa mendengar kata-kata Arga. Meskipun tidak pernah ada kepastian di antara mereka, Nina selalu berharap ada sesuatu yang lebih. Mendengar bahwa Arga ingin mengambil jarak membuatnya merasa patah hati, tapi dia juga menyadari bahwa mungkin ini yang terbaik.
Nina: "Aku mengerti. Mungkin ini memang yang terbaik."
Arga menatap Nina dengan tatapan penuh penyesalan.
Arga: "Aku minta maaf kalau aku membuatmu bingung atau memberi harapan yang salah. Kamu orang yang baik, Nina, dan aku berharap yang terbaik untukmu."
Nina mengangguk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
Nina: "Terima kasih, Arga. Aku juga berharap yang terbaik untukmu."
Mereka duduk dalam keheningan sejenak, merasa tidak nyaman dengan suasana yang tercipta. Akhirnya, Arga berdiri dan meraih tangannya, menggenggamnya sebentar sebelum melepaskannya.
Arga: "Aku akan pergi dalam beberapa hari. Semoga kita bisa tetap berteman."
Nina hanya bisa mengangguk, merasa sulit untuk berkata-kata. Arga kemudian pergi, meninggalkan Nina sendirian di kafe. Nina duduk di sana, merasa kebingungan dan sedih. Dia menyadari bahwa ini mungkin adalah akhir dari harapan yang pernah dia miliki dengan Arga. Namun, dia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk benar-benar memikirkan apa yang dia inginkan dalam hidupnya.
Setelah Arga pergi, Nina tetap duduk di kafe, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan berbagai macam emosi—kesedihan, kebingungan, dan sedikit perasaan lega. Dia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan terhadap Arga selalu ambigu, dan sekarang, dengan kepergiannya, Nina merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan bahwa mungkin ini adalah awal yang baru. Mungkin, dengan kepergian Arga, Nina bisa lebih fokus pada dirinya sendiri dan memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan.
Dengan perasaan campur aduk, Nina memutuskan untuk kembali ke kost-nya. Dia merasa perlu waktu untuk sendiri, untuk merenung dan memproses semua yang telah terjadi. Hari ini adalah hari yang berat, tapi Nina tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Sebelah Kost
General FictionCinta di Sebelah Kost mengisahkan perjalanan emosional Nina, seorang mahasiswi seni yang kehidupannya berubah ketika bertemu Adrian, seniman muda yang tinggal di sebelah kostnya. Melalui lokakarya melukis, pameran seni, dan percakapan mendalam, mere...