Menghadapi Kenyataan

5 8 0
                                    

______________________________________________

Pagi itu, Nina terbangun dengan perasaan lega setelah keputusan yang diambilnya mengenai Arga. Matahari pagi masuk melalui jendela kamarnya, memberikan kehangatan pada ruangan kecil yang dihiasi oleh karya-karya seni yang sedang dia kerjakan. Dia melangkah keluar dari kamar, berniat untuk memulai hari dengan semangat baru. Di dapur bersama kost, aroma kopi yang segar mengisi udara, membuatnya merasa nyaman dan siap menghadapi hari.

Setelah mengambil secangkir kopi, Nina duduk di meja makan kecil, menyalakan laptop untuk mengecek email dan tugas kuliahnya. Di tengah keasyikan dengan tugas-tugasnya, ponselnya bergetar di meja, menunjukkan pesan masuk dari nomor yang tak terduga: Arga.

Nina: "Arga? Apa yang dia inginkan?"

Dengan sedikit ragu, Nina membuka pesan tersebut.

"Hai, Nina. Boleh kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."

Nina terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tidak menyangka akan mendengar dari Arga setelah pertemuan terakhir mereka yang penuh dengan ketidakpastian. Pikiran tentang pertemuan itu berputar-putar dalam benaknya—rasa rindu, penyesalan, dan kekhawatiran datang silih berganti.

Nina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa pertemuan ini mungkin membawa banyak emosi yang belum terselesaikan. Namun, bagian dari dirinya merasa perlu menghadapi masa lalu untuk benar-benar melangkah maju.

Setelah beberapa menit berpikir, dia memutuskan untuk membalas pesan tersebut.

"Boleh. Kapan dan di mana?"

Arga segera membalas, menyarankan sebuah kafe kecil di dekat kampus mereka, tempat yang penuh dengan kenangan ketika mereka masih bersama. Kafe itu, dengan suasananya yang tenang dan nyaman, sering menjadi tempat mereka berbincang tentang impian dan harapan di masa lalu.

Setelah menyetujui tempat dan waktu, Nina merasakan campuran perasaan lega dan cemas. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menutup bab yang belum selesai dalam hidupnya. Dia menatap cangkir kopinya yang setengah penuh, merenungkan kata-kata yang mungkin harus dia ucapkan.

Nina berdiri, meninggalkan dapur dan menuju kamar untuk mempersiapkan diri. Dia memilih pakaian yang sederhana namun elegan, ingin terlihat tenang dan percaya diri. Saat merapikan rambutnya di depan cermin, dia melihat pantulan dirinya yang lebih kuat dan lebih dewasa daripada sebelumnya. Ada ketegasan di matanya yang menunjukkan bahwa dia siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Sebelum berangkat, Nina mengambil jurnalnya dan mencatat beberapa perasaannya.

Nina menulis: "Hari ini, aku akan menghadapi masa laluku. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku harus tetap jujur pada diriku sendiri dan perasaanku. Ini adalah langkah pertama untuk benar-benar maju."

Dengan perasaan campur aduk, Nina meninggalkan kostnya. Jalanan menuju kafe dipenuhi dengan daun-daun gugur, menambah suasana musim yang berganti. Setiap langkah yang dia ambil menuju kafe adalah langkah menuju penyelesaian dan, mungkin, awal dari sesuatu yang baru.

Sesampainya di kafe, Nina merasakan gelombang nostalgia. Tempat ini masih seperti yang dia ingat—meja-meja kayu, aroma kopi yang harum, dan suasana hangat yang menenangkan. Dia melihat ke sekeliling, mencari Arga, dan menemukannya duduk di sudut ruangan. Arga menatapnya dengan senyum tipis, campuran perasaan terlihat di wajahnya.

Nina menarik napas panjang, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dia berjalan menuju meja tempat Arga duduk, merasa gugup namun siap menghadapi pertemuan ini. Dengan senyum ramah, dia menyapa Arga dan duduk di hadapannya.

Arga: "Hei, Nina. Lama tak bertemu."

Nina: "Hai, Arga. Ya, sudah lama."

Dan begitu pertemuan mereka dimulai, Nina tahu bahwa percakapan ini akan menjadi momen penting dalam hidupnya—momen di mana dia akan menghadapi masa lalu dan membuat keputusan penting untuk masa depannya.

______________________________________________

Cinta di Sebelah Kost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang