Eleven

581 50 6
                                    

"Gia. Ayah senang kamu sudah mulai menerima nak haruto" sang ayah tersenyum kecil berbalik menatap sang anak yang menghampirinya.

Lidah jeongwoo terasa kaku untuk menjawab jadi ia hanya bisa memainkan jari dan menunduk.

"Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Sejak insiden itu terjadi dunia ayah seakan runtuh. Tetapi, haruto menghampiri ayah dengan penuh tekad di hatinya untuk bertanggung jawab"

Jeongwoo yang mendengar itu tersenyum ah rasa nya sangat menggelikan namun juga menyenangkan.

"Ayah tau, waktu gia kabur dan ketemu sama mas har"

"Ya, apa ada yang terjadi?" Senyum sang ayah tak pernah luntur dari bibirnya ia menunggu sang anak untuk bercerita.

"Aku gak kenal sosok mas har waktu itu, yang gia liat kasar, dan terlalu memaksa. Tapi, gia nemuin surat di laci kamar mas har dan itu dari rumah sakit"  kini mata jeongwoo berkaca-kaca rasanya begitu sesak.

"Tarik nafas gia. Mari kita lanjutkan besok saja ya" khawatir sang ayah sembari mengelus pundaknya.

"Engga mau, gia pengen ceritain ini sekarang sama ayah" mendengar itu yang bisa ayahnya lakukan hanyalah mengangguk dan mendengarkan.

"Mas har ternyata mengidap penyakit Dissociative identity Disorder (DID) dimana mar har bisa punya kepribadian ganda bahkan lebih. Dan gia tanya apa itu karena dampak dari insiden malam itu juga. Terus mas har jawab–

"Iya. Pada saat itu mas ngerasa bersalah sama kamu gak bisa lindungin kamu sampai mental mas gak stabil dek. Tapi, sekarang mas lagi berjuang supaya mas bisa sembuh dan nikahin kamu buat ngebayar semua kesalahan mas"

"Gia jahat ya ayah?"

"Kamu ngomong apa sih nak. Kalian berdua sama-sama beruntung dan ayah bersyukur kamu bertemu orang yang tepat buat jadi pendamping hidup kamu"

"Jangan nangis anak ayah yang selalu bikin ayah khawatir" lanjut ayahnya sembari terkekeh dan mengusap air mata anaknya.

"Gia gak usah nikah aja deh. Biar disayang kayak gini terus, sama dikejar-kejar ayah kaya buronan karena kabur haha" sang ayah mencubit hidung bangirnya.

"Ayah dan mommy gak selamanya ada nak. Untuk itu ayah titip kamu ke mas har buat selalu ngejaga kamu kalau ayah sama mommy–"

"Gia belum siap. Ayah jangan bilang kayak gitu"

Kedua nya tertawa dengan air mata yang membasahi pipi membuat sang mommy yang mendengar keduanya dari balik tembok ikut menangis dan langsung memeluk dari belakang.

"Kalian cerita kenapa gak ajak mommy sihh hiks"

"Mami tidur pules gitu. Gia gak berani lah ganggu takut besok mami marah moodnya jelek karena gia bangunin"

"Ya tapi kan–mami gak setega itu huaa kalian jahat"

Jeongwoo dan ayahnya menutup telinga saat ibu negara di rumah ini mengeluarkan suara tangisannya yang bisa mengalahkan terompet tahun baru. 

Sang ayah memberi kode pada jeongwoo untuk segera kabur ke kamar.

"Siap gia serahin urusan ini ke pak komandan. Selamat malam ayah. Inget! jangan bikin anak lagi awas aja" ujar jeongwoo serius sebelum masuk ke kamarnya dan mendapat pelototan dari sang ayah.

¤||¤

"Maaf telat mas. Tadi jalanan macet aku juga kesiangan bangunnya" sesal jeongwoo saat menjemput haruto ke mansion mewahnya.

Kali ini mereka mau pergi ke rumah sakit buat ngambil hasil dari surat terapi haruto dan ada konsultasi terakhir buat ketemu dokter psikolog.

Haruto sudah siap dengan kemeja santai lengan panjang yang ditarik hingga siku dan celana katun berwarna krem membuat penampilan pria itu seperti aktor dalam drama korea. Ia terkekeh dan masuk ke dalam mobil untuk duduk di kursi penumpang.

Jeongwoo yang menyetir kali ini.

Setelah memasang sabuk pengaman ia menyempatkan untuk mengusak rambut yang lebih muda lembut.

"Gak masalah. Mas jadi lebih santai"

"Ah syukur deh. Ini aku mampir beli kopi yang deket komplek, minum aja. Eh tapi mas udah makan kan?" Tanya jeongwoo dengan matanya yang sesekali melirik pria di sampingnya.

"Udah. Ini mas bawain buat kamu juga"

Kedua nya sama-sama tertawa, tiba-tiba haruto memegang dagu si manis bermaksud agar fokus ke jalanan. Jeongwoo yang salah tingkah menggaruk tengkuknya dan mengeratkan tangannya di setir mobil.

"Ah-ya tadi aku maaf" etdah ngomong apa dia.

Haruto meggulumkan senyum dan mengambil satu cup kopi latte kesukaannya. walaupun agak kesusahan menikmati kopi di dalam mobil haruto menghargai usaha jeongwoo jadi ia akan meminumnya sampai titik penghabisan.

"Terimakasih. Mas terima kopi nya"

"Hum. Sama-sama"

Jeongwoo kira bakal ada kecupan mendadak di pagi hari ternyata hanya pikiran mesumnya saja. Ia pun memarkirkan mobilnya setelah sampai di parkiran rumah sakit. Mereka berjalan beriringan sembari tangan kanan haruto yang menuntun tangan kiri jeongwoo sampai ke ruang konsultasi.

"Jangan ilang ya dek. Mas umumin di speaker rumah sakit kalau kamu tiba-tiba gak ada pas mas keluar"

"Bawelnya calon Paksu ini" ujar jeongwoo sembari memutar matanya malas, tanpa sadar bibirnya manyun beberapa senti. Memang ia anak kecil yang sedang di tempat hiburan apa.

Haruto terkekeh dan menyumpit bibir itu menggunakan jari panjangnya seperti sumpit lalu mengecupnya singkat. Wajah jeongwoo langsung ngeblush, nahan malu waktu ada suster yang lewat.

"Mas mau nikah sama siapa kalau kamu ilang huh?" Tanya pria itu menahan gemas.

"Whatever. Sana hush hush dasar aki-aki cabul"

Jeongwoo mendorong bahu haruto sedikit kasar agar pria itu segera masuk ke dalam, jika tidak dihentikan haruto akan terus menggombal. Apa haruto tidak berfikir bahwa jantung jeongwoo bisa saja berhenti mendadak karena tindakannya tadi.

Setelah haruto masuk ke dalam mata serigalanya menyusuri sekitar dan berhenti ketika melihat kursi dorong yang ada di ujung lorong dekat belokan.

"Gue boleh nyobain itu gak sih?" Tanya jeongwoo sembari menggigit bibirnya penasaran dan ragu.

_

Mas Har%Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang