046

4.3K 383 40
                                    

Hari ini adalah pertama kalinya Devon kembali bersekolah. Kemarin malam, Devon sendiri yang meminta setelah melihat serial kartun yang karakternya pergi ke sekolah. Permintaan itu membuat Arson sangat terkejut karena Devon biasanya menolak untuk bersekolah.

Perasaan senang dan syukur menyelimuti Arson. Ia dengan senang hati menyanggupi permintaan Devon, meski tetap dengan saran dari psikolog. Arson ingin memastikan bahwa keputusan ini baik untuk kesehatan mental cowok kecil itu. Bagaimanapun, ini adalah langkah besar bagi Devon yang masih dalam proses penyembuhan.

Maka, sekarang Arson membawa Devon ke sekolah. Terhitung sudah sekitar sebulan lebih keduanya izin untuk penyembuhan Devon. Tentu semua perizinan iru diurus oleh Arson, yang memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk memastikan agar Devon tidak mendapat kesulitan apapun yang berurusan dengan sekolah.

Sekolah masih sangat sepi sebab Arson sengaja pergi lebih pagi dari biasanya untuk menghindari ramai rombongan siswa yang baru datang. Arson dengan hati-hati menggandeng tangan Devon dan mengantarnya sampai di depan kelas.

"Ini tempat Devonnya belajar?" tanya Devon sambil curi-curi melihat bagian dalam kelas.

Arson terkekeh kecil, kemudian mengusap lembut sisi wajah Devon. "Iya, nanti lo belajar di sini. Inget jangan kemana-mana sampai gua samperin, oke?" pesannya.

Devon mengangguk. "Oke-okee..."

"Oh, sama pake ini," Arson memasangkan earphone pada kedua telinga Devon, lalu mengatur musik instrumental dengan volume yang nyaman. "Masih kedengeran gua ngomong?" tanyanya memastikan.

Lagi-lagi Devon mengangguk polos. "Ini... apa?" tanyanya kemudian.

"Namanya earphone. Devon pake aja ya, biar gak keberisikan. Masih aman kan buat dengerin guru? Gak keganggu?" Kali ini Devon menggeleng sebagai jawaban. "Oke, pake aja ya. Terus ini hp-nya disimpen di tas juga," kata Arson sambil memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas yang ada di punggung Devon. "Jangan lupa, langsung telepon gua kalo ada apa-apa. Udah ngerti kan yang gua ajarin semalem?"

"Iya," jawab Devon. "Apa Devonnya udah boleh masuk ke dalam kelas? Tapi kok guru sama temennya belum ada ya?" tanyanya.

Arson sedikit meringis mendapati pertanyaan itu. Mungkin traumanya membuat Devon melupakan tentang seluruh penghuni kelas yang membenci kehadiran sosok kecilnya. Arson hanya bisa terus merapalkan doa semoga tidak ada seorang pun yang mengganggunya.

"Devon masuk aja dulu, nanti juga mereka dateng. Kalo udah ada orang, lo fokus aja dengerin lagu ya! Kalo gurunya dateng juga fokus dengerin penjelasan gurunya aja, gausah dengerin kata orang lain."

Devon memiringkan kepalanya, menatap bingung ke arah Arson dengan alis yang bertaut. "Jadi Devonnya gak boleh main sama temen?"

Arson gelagapan sendiri. "Bukan gitu, tapi—emm... udah gapapa. Pokoknya Devon jadi anak pinter, dengerin aja kata gua, oke?" katanya sambil mengusap pucuk kepala Devon.

"Okee." Angguk Devon dengan semangat. "Devon masuk kelas dulu ya, Arson. Bye-bye~" pamitnya yang kemudian berbalik masuk ke dalam kelas dengan aura senang yang menguar kentara.

Sekilas, melihat Devon senang begitu membuat Arson melupakan perasaan khawatirnya. Dia berharap hanya ada bahagia dalam hidup cowok manis itu untuk ke depannya.

Arson tidak langsung beranjak pergi. Dia tetap setia berdiri diam memperhatikan Devon dari luar kelas.

Seiring waktu, satu persatu siswa-siswi mulai berdatangan. Mengisi kelas yang tadinya hanya diisi oleh Devon seorang. Kedatangan mereka justru membuat hati Arson dilanda gelisah. Dia tak tenang memikirkan sikap seluruh murid terhadap Devon.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang