Hinata merasa sekujur tubuhnya terasa sakit seolah dagingnya diiris. Dia pernah merasakan sensasi ini ketika panah beracun menggoresnya. Tidak sampai hilang kesadaran, tetapi cukup untuk menggigit kewarasannya.
Ketika itu Alsaber tengah berperang melawan Dementrus. Tepatnya memperebutkan lembah hitam. Tempat yang tidak pernah dijamah manusia lantas menjadi gono-gini setelah diketahui bahwa jauh di dalam lembah, terdapat danau penghasil batu Mana.
Dia bersama dengan Putra Mahkota Itachi turun dalam peperangan tersebut hingga meraih kemenangan meski harus mengantungi harga mahal.
Namun bukan itu. Dia tidak sedang bernostalgia akan masa lalu, karena dia dipaksa sadar hanya untuk mengingat bagaimana kawan-kawannya terpanah, diburu, lantas diledakkan dengan granat oleh negaranya sendiri.
Kiba, Shino, Lee dan yang lain telah mati. Begitu juga dengan dirinya.
Apakah ini namanya surga?
Dia mengedipkan mata. Hal pertama yang ditangkap netranya adalah langit-langit tempat tidur yang sangat indah. Terakhir kali, tubuhnya bersatu dengan tanah yang dingin disertai bau anyir darah dan bubuk mesiu. Sambil meraba sekitar, panca indranya merasakan tekstur lembut nan nyaman, yang terlalu nyata untuk dianggap sebagai alam baka.
Seolah kewarasannya dipukul, dia langsung bangun. Menyingkap selimut. Begitu kakinya menapak di lantai, kekuatan yang senantiasa terbenam dalam dirinya mengudara. Tubuhnya seringan kapas sampai-sampai dia tidak sadar kalau dirinya ambruk. Terduduk di lantai tepat di depan sebuah cermin besar yang memantulkan potret—orang lain.
Hinata memiliki rambut ungu panjang yang kusut. Sejak mengabdikan diri sebagai kesatria di usia belia, dia abai akan penampilan. Kulitnya yang dulu putih, lambat tahun telah menghitam terbakar matahari. Tangannya berotot dan dipenuhi luka akibat terlalu sering mengangkat pedang. Bukan paras cantik seputih porselen.
“Nona?”
“...?”
“—Yang Mulia Count, Nona Hinata sudah sadar!”
.
“Hinata … kau sudah bangun, Nak?” Count Hiashi menangis, memegang tangan Hinata dengan sangat hati-hati.
Hinata bingung. Bagaimana orang asing ini mengetahui namanya?
Dia menatap orang yang disebut sebagai Count dengan perasaan aneh. Mengingat usianya, Count setidaknya berusia di akhir lima puluhan tetapi masih bisa menangis seperti bayi. Bahkan dia yang dikhianati Itachi saja tidak bisa meneteskan air mata.
“Dokter Tsunade, bagaimana? Apakah Hinataku baik-baik saja?”
Dokter Tsunade masih memeriksa dengan saksama sampai Hinata membuka mulutnya.
“Anda siapa?”
Hiashi terkejut. Tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Tanpa perlu dijelaskan, dia mengetahui kalau Hinata mungkin kehilangan ingatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow
FanfictionHidup Hinata dedikasikan untuk negara. Prajurit bayangan yang bekerja di balik layar, membunuhi musuh. Dalam peperangan panjang antar kerajaan dengan kekaisaran, sebuah misi rahasia dia emban. Perintahnya jelas; bunuh Putra Mahkota Kekaisaran yang d...