Jongin pergi ke rumah Abin bersama Papa, tentu saja. Rumah Abin itu mirip seperti milik Opa, mereka harus menunjukkan identitas pada satpam yang berjaga di gerbang depan dan melewati jalanan panjang. Bedanya, rumah Opa berdiri sendiri, tidak ada rumah-rumah lain yang menjadi penghuni di sekitarnya. Ada banyak kondominium, sih, tapi itu untuk tamu yang mau menginap saat ada acara besar dan tentunya semua itu milik Opa.
Setelah melewati deretan rumah yang menjadi tetangga Abin, mobil mereka akhirnya sampai di depan gerbang rumah Abin. Papa harus menunjukkan identitasnya lagi, lalu memberitahu tujuan mereka datang, baru deh dibukakan pintu gerbangnya sama penjaga.
Jongin sempat meracau dan bilang, "Apa cii, tana-tana dedetas teyus!" tapi Papa bilang itu memang sudah menjadi aturan mereka. Saat Abin datang ke apartemen untuk kali pertama pasti juga begitu karena keamanan itu penting.
Jongin masih sedikit menggerutu karena katanya pengecekan identitas membuat dia tertahan terlalu lama di luar. Padahal kan dia mau cepat-cepat main sama Abin—tapi Jongin tidak akan mau bilang pada Papa soal yang satu ini. Nanti dia bisa diejek sama Papa, huh!
Setelah masuk gerbang pun mereka masih harus melewati halaman yang sangaattt luas. Jongin melihat-lihat keluar. Di rumah Abin ada taman yang tertata rapi dengan beragam bunga mawar di sana. Jongin langsung membolakan mata, teringat taman bunganya yang ada di apartemen. Dia mulai membuat perbandingan, taman siapa yang lebih bagus. Pada akhirnya anak itu memilih jika tamannya yang lebih keren karena itu adalah hadiah dari Papa untuknya.
Di tengah taman bunga tadi ada kolam dengan air yang terlihat seperti air terjun. Jongin belum punya yang seperti itu, dan dia mulai mencatat dalam hati untuk meminta Papa membuatkan yang serupa saat pulang nanti.
Selain itu, ada gazebo yang atapnya dikelilingi oleh tanaman merambat. Biasanya Jongin akan kesal karena ada tanaman seperti itu, merusak pemandangan saja. Tapi tanaman merambat di gazebo Abin sangat rapi, tertata dengan baik dan terlihat menarik. Jongin tidak bisa berhenti menatapnya karena terlalu terkesima. "Keyen cekayii!" gumam anak itu.
Jongin merasa rumah Abin itu bukan hanya sebuah istana, tapi istana yang keluar dari buku dongeng. Sangat-sangat-sangaatt keren, meski tidak bisa lebih keren dari rumah Opa, sih.
Papa membantu Jongin turun dari mobil. Setelah itu, kunci mobil mereka diserahkan pada salah satu penjaga. Jongin tidak kaget lagi, dia tahu kalau mobil mereka akan diparkirkan oleh penjaga tadi dan akan diambilkan saat mereka pulang nanti.
"Abiinnn!"
"Niniii!"
Dua anak kecil itu berlari-lari, lalu saling memeluk satu sama lain. Abin tertawa senang, dan Jongin memamerkan senyuman manis miliknya tanpa ragu.
Karena tidak sabar menunggu kedatangan Jongin, Abin memang sudah menanti di depan pintu sejak tadi. Abin sangat senang akan kedatangan temannya itu.
Di belakang Abin ada pengasuh yang dulu pernah datang ke rumah mereka. Sehun memberi senyuman tipis, mencoba untuk bersikap ramah dan dibalas oleh pengasuh tadi.
"Abin! Abin! Nini puna yayangan yoh. Nini buat fol Abin."
"Benal, nih?"
"Benal, dong! Tana papa Nini kayo dak caya," balas Jongin dengan suara yang terdengar bangga. "Yiat, tanan Nini yuka buatkan yayangan fol Abin." Dia juga tidak lupa untuk memamerkan luka yang didapatkannya dari membuat layangan itu.
Abin memerhatikan jari Jongin yang dibalut plester. Anak itu menatap temannya dengan wajah terharu, lalu dia berlari untuk memeluk tubuh Jongin tanpa ragu. "Mamacii, Niniii!"
"Hihii, cama-cama, Abin!"
Jongin senang karena Abin suka sama layangan yang dia buatkan. Usahanya yang sampai membuat jari terluka itu terbayarkan dengan kontan karena ekspresi bahagia yang Abin berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa's Diary •√
أدب الهواة[sebagian chapter diprivate untuk kepentingan penerbitan (versi lokal)] Lika-liku young-adult bernama Oh Sehun yang harus membesarkan anaknya, Oh Jongin, seorang diri. 11/12/23 - 21/04/24