"Yang Mulia, saya bawa kabar terkait Pangeran Xvi." Seorang wanita dengan jubah hitam menghadap Raja yang tengah duduk di singgasananya. Masih menundukkan kepalanya, ia melanjutkan ucapannya, "Saya beresonansi dengan kekuatan milik Pangeran sekitar 6 jam yang lalu dan beberapa menit yang lalu."
Sang Raja akhirnya mengalihkan pandangannya, kini menatap sang puan. "Kau menemukan lokasinya?"
Dara itu menggeleng. "Tidak, Yang Mulia. Saya mohon maaf. Kekuatan Pangeran terlalu kecil dan waktunya terlalu singkat untuk diselidiki lokasinya, sama seperti yang sebelumnya."
"Lalu, mengapa kau melaporkan ini padaku?"
"Saya memang belum dapat menemukan lokasi Pangeran, tetapi saya rasa kekuatan Pangeran sekarang sedang disegel, Yang Mulia."
Sang Raja terlihat tertarik. "Apa maksudmu disegel?"
"Awalnya saya berpikir bahwa Pangeran menutupi resonansi kekuatannya sendiri. Namun, samar-samar saya merasakan kekuatan penyihir lain. Kekuatan itu yang memblokir akses untuk mengetahui lokasi Pangeran," lapor sang puan. "Selain itu, jika saya tidak salah melihat, di saat yang sama, kekuatan itu juga menekan kekuatan Pangeran."
"Oh?" Sang Raja terperanjat. "Fakta yang menarik. Aku tidak pernah menyangka bahwa kekuatannya dapat disegel."
"Jadi, apa kau menemukan milik siapa kekuatan itu?" Sang Raja kini menatap sang dara dengan serius.
"Penyihir LeBlanc, Yang Mulia."
"Nama yang tidak asing."
"Cari mereka, Mirage."
Sang puan bernama Mirage itu mengangguk. "Baik, Yang Mulia."
***
"Kak, benar-benar sudah baikan?" Nei menghampiri Aji yang tengah duduk di ruang staf, sibuk mengurus stok barang lewat tablet di tangannya. Aji masih fokus pada tablet di hadapannya. "Hmm ya, kenapa?"
"Kakak sudah selesai urus itu?" Nei mendudukkan dirinya di samping Aji. Nei ikut melihat pekerjaan Aji. "Wah gila ini. Kalau dilihat Kak Miyo, habis ini Kakak dikunci di kamar, sih."
"Dih," komentar singkat Aji. "Makanya nanti jangan cepu."
"Cepuin, ah." Nei berdiri, cepat-cepat kabur, tetapi tangan Aji jauh lebih cepat. "Eits, mau ke mana kau, Bocah?"
"Mau cepu," jawab Nei tanpa dosa.
"Fine. Kau mau apa sih, Xvi?" Aji akhirnya meletakkan tablet di tangannya.
"Istirahat, Kak. Naiklah ke atas dan tidurlah. Aku tahu Kakak merasa bertanggung jawab dengan semua pekerjaan Kakak, tetapi Kakak baru sadar. Jangan bekerja dahulu, istirahat saja."
"Kupikir Kakak hanya urus stok barang, ternyata sampai ngurusin design label dan menu baru." Nei mengambil tablet yang tadi digunakan Aji. "Kakak itu tidak bisa diam atau kenapa, sih?"
Aji menghela napasnya panjang, siap menjawab Nei, tetapi kalah cepat.
"Jangan berpikir bahwa semua harus Kakak yang lakukan. Terakhir kali Kakak begitu, akhirnya Kakak overload dan burnout sendiri, 'kan? Kakak sampai ambil keputusan gila 'tuk pindah ke sini; Paris, untuk full-time urus Lacha." Nei masih sibuk mengoceh, tidak melihat perubahan emosi di wajah Aji. "Jangan begitu, Kak. Kakak tidak perlu urus semuanya sendirian di sini seperti saat Kakak urus perusahaan. Di sini kita bisa berbagi beban, Kak."
"Xvi," panggil Aji. Suaranya tidak berdinamik sama sekali. "Ya, Kak?"
"Aku tidak pernah cerita bahwa aku sempat mengurus perusahaan."
"Hah? Bukannya ...?"
Aji menatap Nei dingin. "Sampai mana kau tahu apa yang kusembunyikan?"
"Tidak. Maksudnya, sejauh mana kau melihat masuk ke dalam diriku?" Aji menatap Nei serius. Sementara Nei tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan Aji.
"Kekuatanmu, Xvi."
"That's one of your power. Pamanmu menunjukkan padaku beberapa kekuatanmu tadi di rumah sakit. Namun, dari sekian banyak yang ia tampilkan, mengapa harus yang itu yang kau gunakan?" Aji mengepalkan tangannya.
"Kak ...? Aku tidak mengerti." Nei terlihat bingung.
Aji menghela napasnya. "Maaf."
"Aku terbawa emosi. Itu bukan salahmu, kau belum dapat mengendalikan kekuatanmu." Aji berdiri, lalu beranjak menuju pintu belakang. Sebelum ia keluar, ia berbalik sebentar, lalu mengukir sebuah senyum palsu. "Namun, tolong pura-pura kau tidak pernah tahu masa lalu yang tidak pernah kuceritakan, ya?"
Nei terdiam sejenak. Sebenarnya apa yang telah ia lakukan? Memangnya betul ia seorang penyihir? Betul ia memiliki kekuatan? Memangnya ia melihat ke masa lalu Aji? Nei tidak paham. Semuanya membingungkan. Baik Aldéric atau Aji, keduanya tidak menjelaskan dengan rinci. Mereka hanya menjelaskan sepotong-sepotong. Apakah mereka berharap Nei dapat mengaitkan semuanya sendiri?
"Aku ... hanya ingin hidup normal tanpa harus menyelidiki siapa diriku." Nei menarik napas panjang, lalu kembali diukirnya senyum di wajahnya sebelum kembali ke depan. "Kak Asa, urusan telepon hari ini aku titip Kakak, ya. Aku mau bantu Sakha kirim kuenya aja. Pengen jalan-jalan, hehe."
***
"Sakha," panggil Nei sembari mengecek alamat selanjutnya untuk pengiriman kue mereka.
"Kenapa, Nei?" tanya Sakha—Sakhala Aruseta—salah satu staf Lachaleté Cake yang seumuran dengannya.
"Masa lalumu apakah bahagia? Ataukah tidak?"
"Lumayan, sih. Kenapa?" Sakha menoleh ke Nei.
"Kalau seandainya ada masa lalu yang ternyata kau lupakan, dan kau baru sadar sekarang, apa yang akan kau lakukan?" Nei menatap langit yang mulai kemerahan di atas. Matahari sudah hampir turun.
Sakha ikut menatap pemandangan yang dinikmati Nei di atas jembatan Marie itu. "Mungkin, aku akan coba cari tahu, sih. Rasanya tidak enak jika ada sesuatu yang tidak kuketahui tentang diriku sendiri. Rasanya seperti ada bagian dari diri yang hilang."
"Bagaimana kalau itu bukan memori yang bagus?"
"Mungkin, dahulu kau sengaja melupakannya karena itu bukan memori yang baik. Namun, semua yang kau laluilah yang membentukmu sekarang. Aku lebih baik tersakiti sejenak karena mengingatnya, lalu menerima semuanya dibandingkan harus hidup dengan bagian yang kosong."
"Kalau misal aku tidak bisa menerima semuanya?"
"Pasti bisa. Namun, mungkin itu akan butuh waktu, Nei." Sakha tersenyum, lalu mulai berjalan menuju akhir jembatan. "Kita sudah buang waktu lumayan banyak. Yuk, kiriman terakhir, lalu kita pulang."
"Satu lagi, Sak."
"Kalau kau tidak sengaja mengetahui masa lalu orang lain yang ia rahasiakan. Kau tidak sengaja mengungkitnya, lalu dia jadi marah, kau akan lakukan apa?" Nei mengikuti Sakha.
Sakha berbalik, berjalan beberapa langkah mendekat ke Nei, lalu merangkul temannya itu. "Om Aji, ya?"
"Kok tahu?!" Nei sedikit terperanjat.
Sakha tertawa. "Om Aji mah bukan marah. Dia memang nggak mau masa lalunya dibahas, sih, kita cukup tahu sampai yang dia kasih tau aja. Namun, bukannya kita gak boleh tahu dan gak boleh ungkit, tapi dia yang belum siap kalau itu dibahas."
"Let's say ... dia masih berusaha buat menerima apa yang terjadi di masa lalunya, Nei. Keliatannya kayak marah, tapi sesungguhnya dia lagi perang sama kenangan buruknya."
"And it's totally alright daripada lari dari masa lalu dan kenyataan."
KAMU SEDANG MEMBACA
xvi.
FantasyBilah pedang menusuk masuk ke lapisan kulitnya, dalam hingga menembus secara menyeluruh tubuh sang pendosa. Dia tahu, ada dua kartu di tangan Raja: pengampunan dan penghukuman. Kartu penghukuman telah dipilih padanya, walaupun ia tidak pernah dibuk...