Bagian 17.

3 2 0
                                    

"Xvi." Suara Aji terdengar. "Apa pun yang terjadi, jangan gunakan bakatmu."

"Ingat, jangan gunakan bakatmu. Kau akan dalam bahaya jika kau gunakan bakatmu. Jangan pernah gunakan itu, Xvi." Suara itu perlahan memudar selagi netra milik Nei mulai terbuka. Nei merintih kala sakit merambati seluruh tubuhnya.

Butuh beberapa detik untuk Nei menyadari situasinya. Ia sedang berada di penjara bawah tanah kerajaannya. Ia bangkit dari duduknya sembari bergumam pelan, "Tempat ini tidak pernah berubah."

Nei melirik singkat tangan kanannya yang terasa sakit. Ada sebuah benda asing di tangannya. Bentuknya seperti gelang berwarna merah kehitaman, tetapi Nei yakin itu bukan gelang biasa. Sejenak mengamatinya, Nei akhirnya membulatkan bibirnya sembari mengangguk-angguk pelan. "Oh, ini alat pengekang sihir terbaru, ya? Keren juga bentuknya seperti gelang modis."

Nei menjentikkan jarinya, berniat untuk mencoba sihirnya. Namun, tidak terjadi apa-apa. "Wah. Rasanya dulu tidak sekuat ini, deh. Dalam sepuluh tahun, mereka sudah mengembangkannya jadi sekuat ini. Kalau begitu, sepertinya memang benar ada pemain baru di antara penyihir kerajaan."

"Tampaknya seluruh ingatan dan kekuatan Anda sudah kembali seluruhnya, ya, Pangeran," ucap Élise sembari melambai dari sel di seberang Nei.

"Oh, Élise. Lama tidak berjumpa," balas Nei sembari balas melambai. "Betul, semuanya sudah kembali, rasanya aneh sekali."

"Senang Anda sudah kembali sepenuhnya, Pangeran," ucap Élise.

"Namun, saya sebenarnya tidak mengharapkan Anda kembali ke tempat ini." Élise tertawa. "Jadi, bagaimana dengan perkembangan tempat ini? Mengagumkan, bukan? Dalam sepuluh tahun Anda pergi, mereka sibuk memperkuat tempat ini agar saat Anda kembali lagi, Anda tidak bisa kabur."

"Ya, aku sebenarnya juga tidak mau kembali ke sini, sih," balas Nei sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Namun, aku setuju. Tempat ini benar-benar berkembang, walau penampilannya sama saja. Aku dengar, katanya ada penyihir baru yang berbakat di kerajaan? Apa ini hasil kerjanya?"

Élise terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Oh. Kalau tidak salah sih memang ada. Dia dipanggil Nona Mirage. Éliott sudah meminta saya menyelidikinya, tapi susah sekali. Dia benar-benar jarang terlihat."

"Bakatmu masih lancar digunakan di sini? Sihirmu tidak dikekang, Lis?" tanya Nei. Élise menyombongkan dirinya. "Masih lancar, dong! Tempat ini kan cuma menghentikan kita untuk keluar, bukan menahan sihir kita. Jadi, tentu saja aku masih bisa memakai sihirku, ya walau tidak berguna, sih, yang berguna hanya bakatku."

Élise menjentikkan jarinya, air pun muncul dari tangannya; bermain di sekelilingnya. Sejenak bermain, ia lalu mengarahkan air-air itu ke tiang-tiang besi yang membatasi ruangannya. Saat menyentuh tiang itu, air milik Élise menghilang seolah diserap. "Nih. Kalau pakai sihir, pembatas ini akan menyerapnya, tapi kalau cuma keluar tangan sih bisa-bisa aja ya asal sebentar, pas banget waktunya buat bikin tanda di tubuh orang."

"Bakatmu memang sangat berguna, ya, Lis," komentar Nei. "Kadang aku iri karena kau bisa telepati tanpa harus bersentuhan dahulu. Ayo tandai aku, Lis, supaya kita tidak susah kalau ingin komunikasi."

Élise tertawa. "Pangeran mah, saya kan sudah menawarkan dari awal. Sekarang kita berjauhan seperti ini, bagaimana bisa saya menyentuh Anda untuk menandai Anda?"

"Iya juga, nanti deh kalau ada momentum yang pas." Nei mengangguk. Bakat Élise memang sangat praktis, perempuan itu dapat melihat melalui mata orang lain; orang-orang yang telah ia tandai, dan seandainya penandaan itu dilakukan dengan izin dari kedua pihak, maka mereka dapat bertelepati tanpa harus bersentuhan dahulu.

"Janji, ya, Pangeran?" Mata Élise terlihat berbinar-binar. Nei menatapnya datar. "Sepertinya kau punya tujuan lain, Lis."

Élise tersipu malu. "Ketahuan, ya?"

"Saya mau memandangi Tuan Muda," aku Élise pelan, tetapi kalimat itu nyaris buat Nei tersedak. "Tuan Muda?"

"Kakak angkat Anda, Pangeran." Kali ini suaranya datang dari sel di samping Nei. Itu juga suara yang juga dikenal Nei, suara milik Grysiae Verteal. Kali ini, Nei benar-benar tersedak. "Kak Aji?!"

"Élise sepertinya menyukainya, Pangeran." Nei tersedak lagi. Sudah tidak habis pikir dirinya. "Élise? Kak Aji?! Bagaimana bisa?!"

"Ia lihat dari mata milik Éliott."

Nei menutup mulutnya yang menganga karena kaget. "Wah, keren sekali. Aku penasaran deh dengan reaksi Kak Aji kalau tahu ada penyihir yang menyukainya."

"Omong-omong, kabar Kak Aji bagaimana? Prosesnya waktu itu berhasil tidak, sih? Aku tidak ingat apa-apa. Aku hanya ingat samar-samar apa yang terjadi," tanya Nei.

Élise menggeleng. "Saya juga tidak tahu, tapi sepertinya tidak ada yang berubah, sih. Kalau kata Éliott, Tuan Muda sudah dikremasi. Namun, Éliott sedikit ragu karena ia terlambat mengunjungi Tuan Muda. Ia sibuk mengarang indah tentang kepergian Anda di ingatan teman-teman Anda, Pangeran."

"Oh, berarti prosesnya gagal, ya." Nei tampak sedikit sedih. Namun, emosi itu langsung ia tutupi, terlebih setelah ia ingat mimpinya sebelum Aji kecelakaan; sama persis dengan suara yang ia dengar tadi ketika baru sadar. Aji tidak ingin ia gunakan bakatnya, dan kalau benar prosesnya gagal, berarti tidak masalah, bukan?

Sejenak terdiam, Nei kemudian melanjutkan sembari memutarbalikkan matanya malas, "Terus, bagaimana kau bisa memandanginya kalau orangnya sudah tiada?" 

"Saya tidak yakin, sih, Pangeran." Élise tiba-tiba berubah serius. "Entah kenapa saya merasa Tuan Muda masih hidup."

"Itu mah harapanmu saja, Élise," jawab Grysiae. Élise mengerucutkan bibirnya. "Nona Grysiae, jangan begitu dong."

"Omong-omong, Pangeran. Saya baru sadar, di tangan Anda itu ... pengekang sihir, kah?" Élise menunjuk gelang di tangan kanan Nei.

Nei mengangguk. "Ya, dan ini adalah versi yang lebih kuat dari sebelumnya."

"Sedih sekali ya jadi Pangeran. Baru saja kekuatannya kembali, sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi," ucap Élise tanpa dosa. Grysiae langsung berseru, "Heh, jangan begitu, Élise."

Nei tertawa. "Ya begitulah nyatanya. Dijalani saja."

"Pasrah sekali Pangeran ini. Bagaimana kita bisa keluar dari sini kalau Pangeran pasrah begitu?" ujar Élise.

Nei berpose seperti seseorang yang baru saja ditembak dengan anak panah. "Aduh, sakitnya hatiku."

"Pangeran, sepertinya Anda terlalu banyak bergaul dengan Tuan Muda, deh. Jadi ketularan alay-nya Tuan Muda," komentar Élise.

"Jadi maksudmu, Kak Aji boleh alay, tapi aku nggak boleh alay, Lis?!"

"Ga cocok tau Pangeran alay," jawab Élise singkat.

"Ga cocok juga Kak Aji alay," balas Nei. Cepat-cepat, Élise membalas, "Cocok! Tuan Muda lucu kalau alay, soalnya setting-an wajah Tuan Muda itu seram. Lebih enak liat Tuan Muda versi alay dibanding Tuan Muda versi galak."

"Emang Kak Aji galak?"

"Pangeran ga tau aja, Tuan Muda kalau sudah bahas tentang perusahaannya, wah serem banget." Élise kemudian memasang tampang mencibir, "oh ya, Pangeran kan gatau apa-apa tentang Tuan Muda."

"Lis, setelah kita keluar, kita duel, ya."

"Ih, takut! Pangeran mainnya ngancem!"

"Sudah, sudah, Élise, Pangeran. Lebih baik kita pikirkan bagaimana cara keluar dari sini dibanding memperdebatkan hal yang tidak penting." Grysiae menengahi. "Oh ya, Penyihir LeBlanc beberapa jam yang lalu dibawa untuk menghadap Raja, tetapi belum kembali hingga sekarang."

xvi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang