"Belati itu!" teriak Élise ketika melihat Mirage mengeluarkan belati. "Itu belati yang sama dengan yang ada di ingatan Pangeran!"
"Fokus, Élise! Itu bisa dibahas nanti, lakukan dahulu apa yang harus kita lakukan. Éliott sudah mulai kesusahan," ucap Grysiae sembari berlari ke arah Nei, sementara Élise mulai menyerang Mirage agar Grysiae bisa mendekati Nei.
"Pangeran, Anda tidak apa-apa?" tanya Grysiae setelah Mirage sedikit mundur karena serangan Élise.
Nei mengangguk sembari mencabut belati itu dari perutnya. "Sedikit sakit, tapi aman."
"Percuma saja melawan, kalian tidak akan bisa mengalahkanku," ucap Mirage sembari menyerang balik Élise. Senyum meremehkan muncul di wajah Élise. "Kami memang tidak, tapi Pangeran bisa!"
Mirage tertawa. "Jangan bercanda. Bagaimana bisa ia mengalahkanku tanpa kekuatan?"
"Saya rasa Anda harus cek mata ke dokter, Nona Mirage," ucap Éliott sembari menurunkan tangannya. Di saat yang sama, alat pengekang kekuatan yang melingkari leher Nei pelan-pelan menghilang. Sedari awal, itu tidak pernah ada. Semuanya hanyalah ilusi Éliott.
Mirage membelalak. Sejenak membatu karena kaget, ia lalu beralih menerjang Éliott. "Penyihir tipe visi sialan!"
Nei mengangkat tangannya sembari berdiri. Puluhan batu yang ujungnya dibentuk runcing muncul dari tangan Nei, dengan cepat melesat menuju Mirage. Sang nona penyihir yang awalnya berfokus pada Éliott segera membuat tembok batu dan mengalihkan atensinya pada Nei. Mirage menatap Nei bengis. "Mari kita selesaikan ini dengan duel, Pangeran. Jika saya menang, Anda harus kembali ke kerajaan dengan saya, lalu biarkan saya ambil bakat Anda."
"Kalau aku yang menang?" Nei balas menatap Mirage.
Sang puan berambut perak itu mengikat rambutnya jadi satu sebelum mulai menyerang Nei. "Kau tidak akan menang, Pangeran."
Nei menyerang, menyerang, dan menyerang. Ia memunculkan air di lantai; sedikit membekukannya agar Mirage tergelincir, melempar bola api ke Mirage, menyilaukan pandangan Mirage, melempar Mirage ke dinding dengan bantuan air, dan banyak lainnya. Namun, nona itu masih sangat kuat. Ia hanya terluka sedikit.
"Kekuatan Anda hanya segini saja, Pangeran?" Mirage mencemooh sembari balas menyerang Nei. "Pakai bakat Anda, Pangeran. Maksimalkan potensi Anda. Kalau tidak ingin, berikan bakat itu pada saya, Pangeran. Saya akan gunakan bakat itu lebih baik dari Anda."
"Kenapa banyak sekali yang menginginkan bakatku, sih?! Ini bakat yang tidak berguna, tahu. Tidak boleh digunakan," keluh Nei sembari menyemburkan air dari tangannya ke Mirage.
"Anda hanya tidak tahu caranya. Bakat Anda sangat berharga, Pangeran. Sayang sekali bakat itu dimiliki orang seperti Anda." Netra Mirage menetapkan fokusnya pada satu titik, atensinya benar-benar tidak bergerak dari Nei. Eksistensi Élise, Éliott, dan Grysiae saja diabaikan olehnya.
Kedua penyihir itu lanjut menyerang satu sama lain menggunakan seluruh sihir yang mereka bisa. Éliott benar, Mirage kemungkinan memang sekuat Nei, bahkan mungkin saja Mirage yang lebih kuat. Sepuluh tahun tidak menggunakan dan melatih sihirnya benar-benar menjadi tantangan besar bagi Nei. Ia punya potensi, tetapi tidak diasah dengan baik. Éliott menatap sang pangeran dengan jelas. Ia bicara pada yang lain, "Pangeran harus mundur. Pengendalian sihir Pangeran tidak sebaik itu. Kalau dibiarkan begini, kita hanya bisa berharap pada keberuntungan karena kita juga tidak tahu apa saja bakat yang sudah dicuri Nona Mirage."
"Atau, kita yang harus membantu. Kita tidak bisa diam saja di sini," ucap Grysiae. Élise menggeleng. "Tidak. Kita tidak bisa membantu Pangeran. Kita harus pindahkan mereka ke Getamerta, atau seluruh bangunan ini akan hancur. Bukan karena kekuatan mereka berdua, tetapi para penyihir kerajaan. Mereka sedang mengumpulkan penyihir untuk teleportasi. Nona Mirage sepertinya sudah mengabari rekannya."
"Penyihir kerajaan?" tanya Grysiae.
"Sepertinya, Raja juga akan ikut. Kalau sampai ikut, kita tahu apa yang akan terjadi." Élise mengangguk, lalu menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Éliott akan bersiap untuk meneleportasi mereka berdua. Nona Grysiae, tolong lindungi kami jika ada serangan dari keduanya yang mengarah ke sini."
***
Napas Nei terengah-engah. Entah sudah berapa lama ia bertarung dengan Mirage. Ketika ia dan Mirage diteleportasi paksa oleh Élise dan Éliott ke Getamerta pun, ia terlambat menyadarinya karena sibuk meladeni serangan Mirage.
Mirage, di sisi lain, masih terlihat sangat stabil. "Menyerahlah, Pangeran. Anda tidak akan menang melawan saya."
"Aku akan menang." Nei menyeka darah yang sedikit menghiasi bibirnya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, lalu mulai berkonsentrasi. "Aku tidak akan kalah, Mirage. Tidak akan."
Sesungguhnya, ada satu kombinasi yang ingin Nei coba. Gurunya pernah mengajarinya, tetapi ia tidak pernah berhasil melakukannya. Kali ini, ia pasti berhasil. Ia harus berhasil, walau mungkin tidak akan benar-benar sama.
Nei membuat butiran-butiran es dari tangannya. Namun, alih-alih berbentuk runcing atau besar, ia buat ini berukuran sangat kecil hingga nyaris tidak terlihat. Ia mengaturnya mendekat ke jemari-jemari Mirage selagi menyerang Mirage dengan air; tentu saja agar Mirage tidak menyadarinya.
"Membekulah, Sialan." Nei menjentikkan jarinya. Seketika, semua butiran es yang menempel di tubuh Mirage membesar, merayap membekukan sisa-sisa air yang ada di tubuh Mirage. Di saat yang sama, sebongkah besar es batu—baru dibuat oleh Nei—menabrak tubuh Mirage.
Sang nona penyihir yang terlambat menyadari serangan beruntun Nei tidak berhasil mengatasinya secara utuh. Ia sedikit terpukul mundur. Namun, Nei tidak berhenti di sana. Ia terus melempar bongkahan es ke Mirage hingga sang puan terluka.
"Bagus juga, Pangeran," komentar Mirage sembari bangkit. Namun, Nei benar-benar tidak memberi kesempatan bagi Mirage untuk bangkit. Ia terus menyerang sampai Mirage kewalahan dan kesusahan untuk bergerak karena tubuhnya hampir membeku; dibekukan paksa oleh Nei.
Napas Nei terengah-engah. Ketika ia hendak melayangkan satu serangan terakhir ke Mirage, ia tiba-tiba ambruk. "Apa yang—"
"Pangeran!" teriak Élise panik. Éliott dan Grysiae juga terlihat panik. Namun, mereka tidak dapat lakukan apa-apa. Para penyihir kerajaan sudah mengepung tempat itu ketika sang pangeran memfokuskan atensinya pada Mirage. Mereka sudah benar-benar siap untuk melumpuhkan Nei dan siapa pun yang membantunya sehingga Élise, Éliott, dan Grysiae benar-benar tidak bergerak. Sudah ada sihir yang siap memisahkan kepala mereka jika mereka bergerak barang satu inci pun.
Nei menyadari sebuah pedang kini bersarang di tubuhnya; penyebab dirinya ambruk tiba-tiba. Ia tahu milik siapa pedang itu. Ia berbalik dengan susah payah, lalu menemukan orang itu; orang yang sangat ia hindari. "A—ayah?"
"Siapa kau memanggilku begitu?" Sang Raja menarik pedangnya dengan kasar, lalu tanpa aba-aba menusukkannya lagi ke tubuh Nei. Sang pangeran menjerit, tetapi ia tidak bisa menghindar. Ia tidak bisa bergerak, seperti ada yang menahan dirinya untuk bergerak.
Sang Raja sedikit menurunkan kepalanya ke depan Nei yang terduduk sambil memegangi perutnya. Ia berbisik pelan, "Kau tidak akan bisa bergerak. Pedangku ini dilumuri racun pelumpuh yang sama dengan saat itu. Jadi, di sinilah akhir perjalananmu. Usai sudah pelarianmu, Anak Haram."
"Anak ... haram?" Nei berucap patah-patah sembari mencoba menatap sang raja walau pengelihatannya telah berbayang. Kesadarannya sudah mulai menghilang.
"Oh, kau belum tahu, ya? Kau itu bukan anakku. Ibumu yang sangat kau cintai itu berselingkuh dengan rakyat biasa." Sang Raja menatap tajam Nei. Ia lalu menyarungkan kembali pedangnya, lalu beranjak sembari memerintah, "Bawa dia dan sembuhkan Mirage. Untuk yang lainnya, biarkan saja. Mereka juga tidak dapat melakukan apa-apa."
"Ah, satu lagi." Langkah sang Raja terhenti sejenak. "Kita tidak bisa membiarkannya kabur lagi. Segera siapkan eksekusinya sore hari esok di balai kota!"
KAMU SEDANG MEMBACA
xvi.
FantasyBilah pedang menusuk masuk ke lapisan kulitnya, dalam hingga menembus secara menyeluruh tubuh sang pendosa. Dia tahu, ada dua kartu di tangan Raja: pengampunan dan penghukuman. Kartu penghukuman telah dipilih padanya, walaupun ia tidak pernah dibuk...