Pusing dengan segala permasalahan hidupnya, Nei akhirnya memilih untuk pergi ke Lachaleté Cake, walau seharusnya hari itu ia sudah ambil cuti. Namun, terserahlah, lebih baik bekerja daripada kepalanya sakit memikirkan hidupnya yang tidak jelas, pikirnya.
"Hi, Lacha," sapa Nei ketika masuk melalui pintu belakang.
"Lho, Nei? Kok di sini?" sapa Hanzel—Hanzel Vasillys—yang juga baru masuk, sepertinya baru selesai melakukan pengiriman pesanan. "Oh, halo, Zel. Baru pulang habis nganter pesanan, ya?"
Hanzel mengangguk. "Ya begitulah. Tadi pagi banyak banget pesenan, makanya langsung pada dikirim."
"Hai, Hanzel!" sapa Ayi yang baru masuk dari depan. "Oh, ada Nei juga? Bukannya cuti hari ini?"
"Pusing, Kak. Jadinya mau cobain tips Kak Aji," jawab Nei.
"Tips yang nyuruh kerja aja kalau lagi pusing?" tanya Ayi.
Nei mengangguk, sementara Ayi menghela napasnya. "Sesat bener Kak Aji, mana diturutin lagi."
"Duduk sana, Nei. Bantuin si Kei aja tuh lipetin kotak-kotak kue." Ayi menunjuk Kei—Keiyona Aruna Bimala, saudari Hanzel—yang tengah duduk melipat kotak kue agar Nic dan Asa dapat isi kue lebih cepat. Melihat jumlah kotak yang harus dilipat, Nei langsung bertanya, "Buat acara?"
Ayi mengangguk. "Iya, lupa, ya? Kamu yang terima pesanannya, 'kan?"
Nei membulatkan mulutnya sambil mengangguk. "Oh iya. Yaudah, gas. Mudah juga lipet doang, pusing dikit gak ngaruh."
"Oh ya, Kak Miyo gimana? Sendirian aja bikin kuenya? Biasa kan ada Kak Aji, tapi ini orangnya cabut," tanya Nei.
"Kalem, tadi dibantu Nic. Ini sisa finishing aja," jawab Miyo yang baru saja keluar dari dapur. "Btw, hari ini Kak Aji cabut ke mana lagi?"
"Lho, Kak Aji ga bilang? Dia balik ke Indo," jawab Nei santai.
"Hah?!" Miyo langsung menatap Nei tidak percaya. "Balik ke Indo? Di saat-saat Lacha lagi rame kayak gini?! Serius?!"
"Tanya aja sama Kak Asa, tuh. Dia yang nganter ke bandara." Nei mengangkat kedua bahunya, lalu melenggang menuju tempat Kei berada. Tentu saja, setelahnya terdengar teriakan marah dari Miyo karena baru mengetahui fakta bahwa chef yang benar-benar chef di Lacha hanya tinggal ia sendirian. Ya, sebetulnya yang lain juga dapat membuat kue, hanya saja mereka lebih fokus di bagian lain. Capek kerja di dapur, katanya.
"Santai, Miyo, santai." Asa mencoba menenangkan Miyo. "Kita semua di sini kan bisa bikin kue, dan lagi pula nanti ada staf baru, kok. Training-nya sudah beres."
"Jadi, alasan apa Om Aji pulang ke Indo kali ini?" tanya Sakha yang baru pulang dari mengantar pesanan. Tiba-tiba saja dia sudah bergabung, membuat yang lain kaget. "Sak, kau ngagetin banget jir," keluh Asa.
"Rt kak Asa," ucap Ayi.
"Biasalah, bapaknya manggil," jawab Asa masih sembari meredakan keterkejutannya.
"Anak bapak bener, dipanggil dikit langsung balik," cetus Hanzel. Segera, Asa menoleh ke Hanzel. "Jangan coba-coba ketemu bapaknya, Zel. Serem banget anjir, dan perintahnya mutlak. Kalau sudah disuruh pulang, ya pulang. Kalau gak pulang, kalian bakal liat pemandangan Bang Aji diseret balik oleh orang-orang berbaju hitam. Entah beneran diseret, diajak pulang baik-baik, atau bahkan dibikin pingsan."
"Udah kayak nyulik orang aja dibikin pingsan dulu," komentar Hanzel.
"Ya, intinya jangan main-main sama bapaknya, sih," tambah Miyo. Ayi turut menyetujui. "Betul."
"Kalian kayak pada pernah ketemu, deh," ucap Nic.
"Ngga pernah ketemu langsung, tapi dulu aku, Miyo, Asa, sama Kak Aji kan sekampus. Pas aku dan Miyo pertukaran pelajar ke Indo dulu," jawab Ayi. "Pernah tuh dulu kita-kita main ke Bandung, terus tiba-tiba bapaknya nelpon gatau kenapa nyuruh balik. Pas itu sudah mau pulang sebenernya, tapi mau mampir ke tempat Sakha dulu."
"And guess what?" Ayi bergidik ngeri.
Nei mengangkat tangannya. "Biar aku tebak, pasti Kak Aji dijemput paksa?"
"Bingo!" jawab Miyo. "Mana gak pake permisi lagi, langsung main masuk ke rumah Sakha terus diseret balik."
"Berontak dikit, wush pingsan dia," tambah Asa sembari mempraktekkan apa yang ia lihat waktu itu ke Hanzel, membuat Hanzel langsung mengaduh kesakitan sambil memegang leher belakangnya. "Sakit woi!"
"Sakha juga liat, 'kan, ya?" tanya Ayi. Sakha mengangguk. "Kupikir waktu itu kenapa, rupanya karena bapaknya sendiri. Ekstrem bener jadi orang tua."
Nei mengangkat tangannya lagi. "Eh, tapi, habis itu Kak Aji cerita kah kenapa dia dijemput paksa waktu itu?"
Empat orang yang terlibat saat itu menggeleng. Miyo mewakili menjawab, "Jujur, gatau. Setelahnya tuh dia ngilang dua hari, bener-bener ga bisa dihubungin dan ga hadir kelas juga. Pas muncul lagi, he acts like nothing happened."
"Setelah dipikir-pikir, kita tuh ga ada yang kenal Bang Aji, gak sih?" Nic tiba-tiba menyela. "I mean, kita cuma tahu dikit banget tentang dia, hidupnya, dan keluarganya, sementara kita lumayan banyak tahu tentang satu sama lain. Kayak ada jarak di antara kita, padahal kita dah bertahun-tahun bareng di sini."
"Memang." Nei mengangguk. "Aku pun ... bisa dibilang tidak tahu apa-apa tentangnya."
"Kenapa kita jadi ngomongin Kak Aji begini, ya?" tanya Kei spontan ketika melihat perubahan ekspresi di wajah teman-temannya. Masih setia melipat kotak kue, ia kemudian berujar lagi, "Mending kita beresin kerjaan ga sih? Acara merumpi rianya lanjut nanti aja habis toko tutup, hari ini cuma buka sampe sore, 'kan?"
Yang lain mengangguk, lalu kembali ke pekerjaan mereka. Namun, Nei masih terdiam, masih terngiang-ngiang akan ucapan Nic. Batinnya bersuara, "Kalau dipikir-pikir, memang benar Kak Aji tahu banyak tentangku, bahkan sampai hal yang tidak kuketahui tentang diriku sendiri. Tadi pagi, Éliott memamg memberitahuku bahwa ia adalah informan Kak Aji mengenai penyihir, tetapi itu masih belum menjelaskan sama sekali. Dari mana Kak Aji yang hanyalah manusia dapat tahu banyak tentang penyihir? Bahkan memiliki kontrak dengan penyihir?"
Nei menarik napasnya. Batinnya belum selesai berbicara, "Kak Aji ... sebenarnya Kakak itu siapa? Kakak berdiri di mana? Di sisi yang sama denganku atau yang berseberangan denganku? Aku bingung. Motif Kak Aji membantuku belum jelas, seolah ada maksud lain dalam semua tindakannya."
'Are you a friend ... or an enemy, Kak?'
KAMU SEDANG MEMBACA
xvi.
FantasyBilah pedang menusuk masuk ke lapisan kulitnya, dalam hingga menembus secara menyeluruh tubuh sang pendosa. Dia tahu, ada dua kartu di tangan Raja: pengampunan dan penghukuman. Kartu penghukuman telah dipilih padanya, walaupun ia tidak pernah dibuk...