Bagian 20.

2 1 0
                                    

"Ibu?" Nei mengetuk pintu di hadapannya. Aneh sekali. Mengapa tidak ada yang berjaga dan mengapa tidak ada yang menjawab? Nei mendorong pintu besar itu pelan-pelan. "Ibu? Aku masuk, ya."

Nei melangkahkan kakinya masuk. Remaja berumur 14 tahun itu mengedarkan pandangannya ke ruangan yang luas nan megah itu. "Ibu?"

Sejenak mengalihkan atensinya untuk menyusuri ruangan, Nei akhirnya menemukan ibunya. Dengan langkah riang, ia mengampiri ibunya yang tengah duduk—dengan posisi yang sedikit aneh—di balkon sembari memanggil, "Ibu, aku baru selesai latihan. Coba tebak pelatih bilang apa padaku?"

"I—ibu ...?" Senyum di wajah Nei menghilang kala ia menyadari cairan merah—yang bermula dari perut—di bawah kaki ibunya. Ia mencengkeram kakinya ketika melihat bahwa ibunya telah tidak bernyawa. Nei menyentuh jemari ibunya. Dingin. Sudah berapa lama ibunya seperti ini? Siapa yang melakukan ini?

Netra Nei bersinar, kemarahan menguasai dirinya. Namun, netranya mendadak redup; sesuatu menusuk perutnya ketika ia berbalik. Ia terlambat menyadari bahwa ada seseorang di belakangnya.

Nei tersedak, darah mengalir dari bibirnya seiring benda asing itu—belati—ditusukkan lebih dalam ke perutnya. Ia mencoba memfokuskan pandangannya, tetapi ia tidak bisa lihat siapa yang ada di depannya. Pengelihatannya berbayang, sepertinya belati itu telah dilumuri racun. "Si-apa kau?!"

Kaki Nei bergerak mundur perlahan-lahan sembari menahan belati itu agar tidak menusuknya lebih dalam. Ia terhuyung, lalu terjatuh di dekat ibunya. Tubuhnya mulai mati rasa, ia hampir tidak bisa bergerak.

Ketika pengelihatannya menggelap, ia dapat rasakan sebuah benda diletakkan di tangannya dan sebuah bisikan ia dengar, "Anda yang membunuh Yang Mulia Ratu dengan belati ini, Pangeran, dan Anda berniat untuk bunuh diri setelahnya."

" Ti-dak." Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Nei sebelum kesadarannya memudar hingga habis.

"Pangeran, apakah Anda bisa mendengar saya?" Sentuhan dirasakan Nei di bahunya. Nei mengerjapkan matanya pelan, lalu merintih pelan kala sakit tiba-tiba merambati seluruh tubuhnya. Ketika pengelihatannya membaik, ia dapat lihat Élise menatapnya dengan khawatir. "Élise ...?"

Élise menghela napasnya. "Anda benar-benar sudah sadar, 'kan?"

Nei beringsut duduk dibantu Élise. Netra miliknya menjelajahi ruangan itu, sebuah kamar, entah kamar siapa. Namun, dari pewarnaan dan gaya furniturnya, Nei merasa sangat tidak asing, sepertinya itu rumah seseorang yang ia kenal. Nei mengangguk pelan. "Ini ... di mana?"

"Baguslah." Élise sedikit terlihat ragu. "Kalau saya boleh bertanya, apakah Anda tadi bermimpi buruk, Pangeran?"

Nei terdiam sejenak. "Hanya memori yang tidak ingin kuingat."

"Apakah itu tentang Yang Mulia Ratu?" Bibir Élise bergerak sendiri sehingga perempuan itu buru-buru menutup mulutnya dan meminta maaf. "Maaf, Pangeran, maaf sekali. Soalnya tadi Anda berteriak memanggil Yang Mulia Ratu. Jadi saya pikir—"

"Tidak apa, Lis." Nei memijit dahinya pelan dengan tangan kirinya. "Aku memang bermimpi tentang Ibu. Maaf telah buat kaget."

Élise menggeleng. "Tidak apa, Pangeran. Omong-omong, apa Anda sudah merasa lebih baik, Pangeran?"

Nei mengangguk sembari menggerak-gerakkan jemarinya. Tidak lupa, ia lihat tangan kanannya. Masih ada bekas ledakan sihir dari gelang yang semula melingkar di sana, tetapi untungnya, darahnya sudah berhenti mengalir. "Sudah lebih baik."

"Oh ya, Grysiae mana?" Nei mengedarkan pandangannya, tetapi ia tidak lihat Grysiae.

"Nona Grysiae sedang beristirahat di ruangan sebelah. Katanya, ia akan lanjut menyembuhkan Pangeran selepas selesai beristirahat nanti," jawab Élise.

Nei menggeleng sembari bangkit berdiri. "Segini saja cukup, tidak apa. Sisanya biarkan tubuhku pulih sendiri saja."

"Biar saya bantu, Pangeran." Élise membantu Nei yang masih sedikit kesusahan berjalan. "Omong-omong, Lis. Ini di mana? Kau belum menjawabku tadi."

"Apartemen Tuan Muda," jawab Élise. Nei terperanjat, pantas saja desain interior dan gaya furniturnya sangat familier. "Apartemen Kak Aji?"

Élise mengangguk. "Saya membayangkan semua tempat yang saya ketahui dan bisa saya ingat saat teleportasi karena terlalu panik. Rupanya, sampainya ke apartemen milik Tuan Muda."

"Berarti kita di Paris? Eh, tapi, rasanya apartemen ini beda, deh," tanya Nei. Élise menggeleng. "Tidak, Pangeran. Ini di Korea. Mungkin Anda tidak tahu, tetapi Tuan Muda punya beberapa apartemen selain yang di Jakarta dan yang di Paris."

Nei mengerjapkan matanya. "Hah?"

"Saya tidak bohong, Pangeran."

"Seberapa kaya Kak Aji sebenarnya, sih?" tanya Nei ke dirinya sendiri. Mendengar itu, Élise tertawa. "Keluarga Tuan Muda punya sebuah perusahaan besar, dan bayaran Tuan Muda sendiri untuk sekali tampil sebagai pianis cukup besar."

Nei sedikit meringis. "Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu. Aduh, keluarga Kak Aji tidak akan dendam padaku karena sering ngejahilin Kak Aji, 'kan?"

Élise tertawa lagi. "Ya tentu tidak, Pangeran."

"Eh, Lis. Emang kita punya izin buat tinggal di sini?" tanya Nei ketika sampai di ruang utama. Élise menggeleng. "Ya tidak, toh? Tuan Muda kan sudah tidak ada, tapi gunakan sajalah. Kita butuh tempat tinggal."

"Astaga," komentar Nei sembari melihat-lihat foto yang dipajang di dinding, "kita jadi penyusup."

"Bercanda, Pangeran. Saya sudah bilang ke Éliott, kok. Éliott yang mengurus izinnya ke keluarga Tuan Muda, dan aman saja. Sudah diizinkan, kok! Sekarang kita bebas gunakan apartemen ini sebagai markas sementara."

Nei mengangguk sembari memposisikan dirinya duduk di salah satu kursi di meja makan. Ia lalu menegak segelas air yang dituangkan oleh Élise. "Jadi, setelah ini ... kita harus diskusikan langkah kita selanjutnya, ya?"

Élise mendudukkan dirinya di depan Nei. "Sebelum itu, bukankah seharusnya Anda menceritakan kisah lengkapnya, Pangeran? Sampai sekarang, banyak yang mendukung Anda tanpa tahu kisah lengkapnya. Saya rasa, sudah waktunya Anda untuk menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Saya dan Nona Grysiae, serta yang lain, kami semua layak untuk tahu, Pangeran."

Nei sedikit menundukkan kepalanya. Ia terlihat ragu untuk sesaat. Namun, beberapa menit terdiam, akhirnya ia menjawab, "Maaf. Aku ... tidak bisa."

Élise sedikit kecewa ketika mendengarnya. Raut kekecewaannya bahkan benar-benar terlihat, sama sekali tidak berusaha ia tutupi.

"Namun, kalian memang berhak tahu." Nei mengangkat kepalanya. Raut wajahnya terlihat campur aduk. "Bagaimana ... jika kalian lihat sendiri? Éliott bisa mengakses ingatan seseorang, 'kan?"

"Aku ... tidak sanggup."

Élise terdiam sejenak. Bagaimana pun, Pangeran di hadapannya itu baru berumur 14 tahun ketika semuanya terjadi. Kini, ia memang sudah menginjak umur 26, tetapi peristiwa itu pasti meninggalkan luka dalam dirinya. Remaja 14 tahun mana yang kuat melihat ibunya telah tidak bernyawa di hadapannya, lalu dituduh sebagai pembunuhnya? Belum lagi dengan semua siksaan dan interogasi yang ia terima di umur semuda itu. Berkali-kali ia teriakkan bahwa bukan dirinya yang lakukan itu, tetapi apa? Tidak ada yang percaya. Ayahnya sendiri bahkan memalingkan wajah.

Élise bangkit berdiri, lalu menenangkan Nei. "Maaf saya lancang, Pangeran. Namun, tenangkan benak Anda. Tidak apa. Anda tidak bersalah. Saya akan beritahu Éliott nanti tentang keputusan Anda."

xvi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang