"Ini ... karena kekuatanku?" Nei menatap sekitarnya. Hancur lebur. Kalau-kalau Aldéric tidak memasang sebuah pelindung di rumahnya, mungkin rumah itu dapat luluh lantak dalam sekejap hanya karena Nei mencoba mengingat masa lalunya. Tidak bisa Aldéric bayangkan bagaimana jika Nei berusaha mengingat masa lalunya di tempat lain, satu kata: kacau.
Aldéric mengangkat tangannya, menggunakan sihirnya untuk mengangkat benda-benda yang sudah hancur itu lalu menumpuknya di satu tempat sebelum menghanguskannya dengan api. "Setelah ini lebih baik beli furnitur gaya apa, ya?"
Aldéric melirik Nei yang masih tampak tidak percaya. Dia menghela napasnya. "Oh ya, sementara kau di sini saja dulu. Segelmu tidak stabil, bisa bahaya kalau kekuatanmu meledak seperti tadi di luar."
"Paman," panggil Nei. "Paman bilang, Paman menyesal menyegel kekuatanku?"
"Paman ... orang itu?" Nei menarik tangan Aldéric yang tengah berjalan ke pintu. "Paman adalah penyihir yang ada di ingatan yang baru saja kusaksikan?"
Aldéric hanya diam.
"Kenapa Paman lakukan itu? Sebenarnya apa tujuan Paman?!" Nei mengepalkan tangannya marah.
"Dari sekian banyak ingatanmu, kenapa kau harus ingat yang itu lebih dahulu, Nei?" Aldéric menghela napasnya, lalu dengan satu gerakan tangannya, ia paksa kesadaran Nei untuk menghilang. "Tenang dan tidurlah dahulu, Pangeran."
***
Nei mengerjapkan matanya pelan, mengumpulkan kesadarannya. Ia belum dapat merangkai informasi tentang keberadaannya sekarang lantaran cahaya remang; lampu di ruangan itu dimatikan. "Tubuhku rasanya lelah sekali."
Pelan-pelan, ia turun dari kasur tempatnya semula berbaring. Mengandalkan instingnya dan cahaya matahari yang malu-malu masuk dari celah gorden, ia cari saklar lampu di ruangan yang mungkin adalah kamar seseorang itu. Namun, sebelum ia menemukannya, ia mendengar samar-samar ada dua orang tengah berbicara di luar.
Nei memfokuskan pendengarannya. Wira berambut kecokelatan itu akhirnya mengenali dua suara yang tengah berbincang itu: Aji dan Aldéric.
"Bukankah saya sudah beritahu, Monsieur Pradhana? Kau tidak boleh pulang hari ini." Itu suara Aldéric. Nei tidak tahu bagaimana ekspresinya, tetapi sepertinya Aldéric sedang sedikit kesal.
"Saya tahu." Kali ini suara Aji. "Namun, jika saya tidak pulang, bukan hanya saya yang dalam bahaya, tetapi Anda, Xvi, dan teman-teman saya juga."
"Lebih baik saya pulang dan melewatinya sendirian, daripada saya harus menyeret yang lain, Monsieur LeBlanc." Nei menahan napasnya. Apa maksudnya? Mereka sedang membicarakan apa?
"Kau berpikir bahwa saya akan semudah itu kalah dengan manusia, Monsieur Pradhana?" Aldéric menjawab. Nei dapat dengar ada suara tawa Aji setelahnya. "Saya percaya Anda dapat mengatasi mereka, tetapi tidak dengan teman-teman saya. Untuk apa saya selamat jika teman-teman saya tidak?"
Kini suara Aji berubah datar. "Selain itu, Anda harus mengurus Xvi dan kekuatannya. Xvi baru mengingat sepotong ingatannya, tetapi Anda sudah sampai terluka. Bagaimana jika Anda diserang musuh saya dalam kondisi seperti ini?"
"Saya takkan bosan untuk ingatkan Anda, Monsieur LeBlanc. Kadang, manusia dapat jadi lebih menyeramkan."
"Kau adalah contoh nyatanya, Monsieur Pradhana," balas Aldéric.
Aji tertawa lagi. "Saya anggap itu pujian. Terima kasih."
"Ah. Teman saya sudah menjemput. Saya sudah harus pergi. Tolong jaga dan bantu adik saya, Monsieur."
"Kau benar-benar menganggapnya sebagai adikmu?"
Aji tertawa. "Ya. Walau hubungan itu dimulai dari kekuatan Anda, setiap peristiwa yang saya alami dengan Xvi telah merajut hubungan ini dengan baik. Tanpa kekuatan Anda di awal pun, saya rasa hubungan persaudaraan antara saya dan Xvi tetap akan terjalin."
"Baiklah. Sampai jumpa, Monsieur Pradhana. Semoga kau selalu ada di bawa perlindungan-Nya."
Aji tertawa lagi, kali ini Nei merasa bahwa tawanya sedikit aneh, seperti sedikit dipaksakan. "Lucu mendengarnya dari seseorang yang telah tahu masa depan saya, Monsieur. Namun, terima kasih."
"Ah ya, biasakan untuk tidak diam-diam mendengar percakapan orang lain, Xvi." Nei terperanjat. Ia cepat-cepat memelankan napasnya.
"Tidak perlu kaget, Xvi. Aku dengar suaramu tadi. Omong-omong, saklar lampunya ada di dinding sebelah kiri. Gunakan saja kamarku semaumu, aku mungkin takkan bisa gunakan itu lagi." Aji sedikit berteriak, Nei yakin sang kakak sengaja agar Nei dapat mendengarnya dengan sangat jelas. "Kak Aji sialan."
"Aku bisa dengar, Xvi."
"Telingamu sangat sehat, ya, Kak."
"Iya, dong. Anyway, Asa sudah di bawah, dadah."
Nei akhirnya menemukan saklar lampu ruangan itu. Tepat seperti yang diucapkan Aji, saklar lampunya terletak di dinding sebelah kiri, tidak jauh dari kasur. Sejenak, ia mengedarkan pandangannya. Kamar itu luas, jelas sekali itu adalah kamar utama di apartemen itu.
Kalau dipikir-pikir lagi, ia tidak pernah masuk kamar Aji-kamar ini-selama ia mengunjungi atau menginap di apartemen ini. Aji juga seringkali melarangnya masuk. Namun, tiba-tiba Aji bilang bahwa Nei bebas menggunakannya? Aneh.
Nei lanjut mengobservasi kamar itu. Warna utama kamar itu adalah hitam, dihiasi beberapa corak putih. Kamarnya luas, lemarinya besar. Namun, entah kenapa Nei merasa bahwa kamar itu seperti sudah sengaja dibereskan. Begitu juga dengan meja kerja di sudut ruangan. Meja itu telah ditata sangat rapi, seperti tidak ada yang pernah memakainya.
Nei mendekati meja itu, lalu menemukan kartu akses apartemen di atasnya. "Hah? Kenapa kartu aksesnya ditinggal di sini? Nanti Kak Aji kalau pulang gimana, deh?"
"Dia tidak akan kembali," jawab Aldéric. "Untuk beberapa bulan ... atau lebih."
"Hah?" Nei semulanya tidak paham, tetapi mengingat kembali percakapan antara Aji dan Aldéric yang tadi ia dengar, ia langsung berbalik menatap Aldéric. "Kak Aji nanti ada masalah?! Paman lihat masa depannya?!"
"Apa pun yang akan ia lalui nanti dan bagaimana pun hidupnya nanti, itu bukan urusanmu, Nei."
"Lebih baik kau fokus untuk mengembalikan ingatanmu. Kau tidak perlu khawatir dengan dampak kekuatanmu di sini karena aku sudah memasang pelindung."
"Namun, kau tidak harus lakukan itu. Hanya kalau kau mau saja. Kalau tidak, ya jalani saja hidupmu seperti biasa." Aldéric menghilang; pergi menggunakan kekuatannya entah ke mana, meninggalkan Nei sendirian di unit apartemen itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
xvi.
FantasyBilah pedang menusuk masuk ke lapisan kulitnya, dalam hingga menembus secara menyeluruh tubuh sang pendosa. Dia tahu, ada dua kartu di tangan Raja: pengampunan dan penghukuman. Kartu penghukuman telah dipilih padanya, walaupun ia tidak pernah dibuk...