Bel apartemen berbunyi. Élise, sebagai yang tengah duduk di meja makan dekat pintu, segera berlari ke pintu sembari sedikit berteriak, "Sebentar!"
Namun, sudah beberapa saat, Élise tidak juga kembali. Ia membeku di depan pintu ketika melihat siapa yang datang lewat interkom. Pelan, ia panggil Nei, "Pangeran ... cepat ke sini, Pangeran!"
Nei yang semula di kamar langsung berlari ketika mendengar suara Élise yang sedikit panik itu. "Kenapa, Lis? Siapa yang datang?"
Élise menunjuk interkom dengan tangan yang gemetar. "Pangeran ... di luar ... ada Tuan Muda."
"Kak Aji? Benar-benar Kak Aji?" tanya Nei. Ia buru-buru melihat ke layar interkom. Nei membelalak. Benar saja, ada Aji di depan sana. Ia duduk di kursi roda, tampaknya ia belum terlalu kuat untuk berdiri. Ia datang bersama seorang lelaki yang asing. Cepat-cepat, Nei mencari Grysiae. "Grysiae! Tolong, panggil kerabatmu!"
Grysiae yang awalnya sedang memasak segera mematikan kompornya. "Kenapa, Pangeran? Kerabat saya? Yang mana?"
Nei mengatur napasnya. Detak jantungnya sangat heboh karena ia panik. "Kak Aji ada di depan."
Grysiae yang mengerti langsung mengangguk. "Perlakukan ia seperti tidak ada apa-apa dahulu, Panggeran. Saya akan segera menghubungi kerabat saya dan akan beritahu secepatnya jika sudah mendapat jawaban."
"Baik, terima kasih banyak, Grysiae."
***
"Kakak kenapa tidak langsung masuk saja? Ini kan apartemen milik Kakak?" tanya Nei sembari membantu Aji pindah dari kursi roda ke kursi di meja makan.
Aji menggeleng. "Kan ada kalian di dalam. Mana mungkin aku langsung masuk. Tidak sopan."
"Omong-omong, Kak. Maaf kalau menyinggung, tetapi aku ingin tahu tentang sesuatu," mulai Nei sembari mendudukkan dirinya di hadapan Aji.
"Tentang apa? Kecelakaanku?" tanya Aji dengan santai.
Nei mengangguk. "Bukankah Kakak sudah, ehm, maaf, dinyatakan meninggal? Éliott bilang Kakak bahkan sudah dikremasi, tapi kok ...?"
Nei sama sekali tidak dapat mengartikan raut wajah Aji, aneh. Aji menarik napasnya. "Bagaimana ya menjelaskannya ... aku bingung."
"Intinya, I'm okay. Tentang kematianku, kalau kata dokter, jantungku memang sempat berhenti berdetak. Cukup lama sampai aku dinyatakan meninggal. Namun, aku masih ada di sini adalah berkat-Nya. Aku masih diberi waktu untuk melanjutkan hidupku. Rasanya senang."
Aji menarik napasnya lagi. Ia menggeleng. "Kalau tentang upacara kematianku, tentang kremasi yang kau bilang ... jujur aku juga tidak tahu. Keluargaku tidak ingin bicara tentang itu, jadi aku tidak tahu apa-apa."
"Kak," panggil Nei pelan. Aneh, sensasinya aneh sekali. Nei tidak yakin bahwa di depannya itu benar-benar Aji. "Rasanya hari ini Kakak sangat terbuka, ya? Kakak cerita tanpa harus kutanya berkali-kali. Padahal, Kakak biasanya sangat sulit untuk cerita hal-hal begitu. Biasanya, begitu kusinggung, langsung Kakak alihkan."
Sebuah senyum tipis disematkan Aji di wajahnya. "Aku pikir kau perlu tahu. Bagaimanapun, kabar kecelakaanku pasti mengejutkanmu. Jadi, walau sebenarnya aku juga enggan, aku rasa aku harus beritahu."
Nei mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya juga."
Nei lanjut mengobservasi pria di hadapannya itu. Tidak banyak yang berubah dari terakhir kali Nei melihatnya. Rambutnya masih pirang, bibir dan kulitnya terlihat sedikit pucat, lalu beberapa bagian di wajah sebelah kanannya—di dahi dan pipi—ditutupi dengan plester yang tidak terlalu besar. Sementara itu, di bagian lain tubuhnya, Nei tidak lihat terlalu banyak luka. Ia hanya lihat sedikit di bagian kaki, tetapi yang paling penting adalah di tangan kanan Aji.
Tanpa sadar, Nei mengulurkan tangannya, menyentuh tangan kanan Aji yang dibalut gips. "Kak ... tangan kananmu ... kenapa?"
Aji ikut menatap tangan kanannya. Ia tampak terdiam sejenak. "Tidak apa, Nei. Hanya sedikit luka."
Pada detik yang sama dengan jawaban itu meluncur dari bibir Aji, Nei tercekat. Di hadapannya bukanlah Aji. Ia yakin sekali. Aji tidak pernah memanggilnya Nei. Sama sekali tidak pernah. Sontak, ia berdiri dan mundur perlahan-lahan. "Kak, maaf. Aku akan ambil air. Kakak butuh minum, 'kan?"
Nei buru-buru melarikan dirinya ke dapur, bergabung bersama Grysiae, Élise, dan Éliott yang sedari awal menunggu di dapur. Dengan suara bergetar, ia berujar dengan pelan, memastikan tidak ada yang dengar selain mereka berempat, "Aku yakin sekali. Orang itu, dia ... bukan Kak Aji."
Élise dan Éliott terperanjat, sementara Grysiae langsung menanggapi, "Kalau begitu, siapa dia? Saya baru dapat kabar bahwa anak Charlhym yang dapat berubah wujud itu tiba-tiba ditemukan meninggal dunia. Kalau posisi Ajisaka, kerabat saya belum memberi tahu. Kabar terakhir adalah ada sesuatu yang menghalangi pandangannya. Besar kemungkinan bahwa ada penyihir lain dengan bakat yang sama sengaja menghalanginya."
"Meninggal?" tanya Nei. Grysiae mengangguk. "Ia ditemukan terluka secara misterius kemarin. Tidak banyak yang tahu tentang ini karena keluarga Charlhym menutupinya. Ayah saya sempat diundang untuk mencoba menyelamatkannya, tetapi tidak ada gunanya. Ia sudah meninggal ketika ayah saya sampai."
"Berarti, kerajaan sudah benar-benar bergerak," ucap Éliott sembari menyodorkan dua gelas air yang baru saja ia isi. "Pangeran, kembalilah ke luar. Siagalah karena kita tidak tahu siapa dia. Sejauh ini, penyihir yang memiliki bakat untuk berubah wujud yang kita ketahui hanyalah anak keluarga Charlhym, tetapi sekarang, itu tidak mungkin dia. Sembari menunggu ia menunjukkan wujud aslinya, siagalah, Pangeran. Kami akan bantu dari sini jika terjadi apa-apa."
Nei menerima gelas itu sembari mengangguk. "Tolong, ya."
"Hati-hati, Pangeran," pesan Élise sebelum Nei kembali ke ruang tamu.
"Minum, Kak," ucap Nei sembari meletakkan satu gelas air miliknya di atas meja, lalu menyerahkan satu gelas air lagi ke Aji.
Aji mengangkat tangan kirinya. Namun, alih-alih menyambut gelas yang disodorkan oleh Nei, tangan pria itu malah meraih leher Nei. Sebuah senyum dikembangkan oleh Aji sembari mencekik Nei dengan kuat. "Anda sudah tahu, ya, Pangeran?"
Nei yang kaget segera menjatuhkan gelas yang dipegangnya asal dan menyerang dengan sihirnya. Namun, entah kenapa, sihirnya tidak muncul. Hanya sedikit yang muncul. "Sihirku? Apa yang—?"
Cekikan Aji semakin kuat. Tanpa bisa dilihat oleh Nei, ada sesuatu yang perlahan-lahan muncul di lehernya; tepat di mana tangan Aji mencekiknya. "Kali ini, saya pastikan Anda tidak akan bisa melepasnya, Pangeran."
"Maaf, Kak," ucap Nei pelan sembari menendang pria di hadapannya. Walau Nei tahu bahwa sebenarnya di depannya bukan Aji, tetapi ia merasa seperti sedang menyerang sang kakak.
Oksigen menyeruak masuk ke dalam tenggorokan Nei. Sang pangeran mundur sembari menyentuh lehernya. Ada sesuatu yang melingkari lehernya. Keras dan licin, Nei ingat tekstur itu. Dengan cepat, ia mencoba menarik benda itu, tetapi tidak ada yang terjadi. "Sial."
Sosok yang menyamar menjadi Aji itu berdiri setelah sedikit terdorong. Ia menarik gips yang terpasang di tangan kanannya, lalu membuangnya asal. Penyamarannya telah gagal, ia tidak lagi butuh properti itu. Ia berjalan mendekat ke Nei sembari menunjukkan sosok aslinya. "Kali ini, perangkat itu sudah saya kembangkan dengan segel yang pernah menahan kekuatan Anda, Pangeran. Berterima kasihlah pada Penyihir LeBlanc. Anda tidak perlu mencoba untuk melepasnya karena Anda tidak akan bisa, Pangeran. Kalau Anda ingin meledakkannya secara paksa seperti yang sebelumnya, boleh saja. Namun, kepala Anda menjadi taruhannya, Pangeran. Apakah kepala Anda akan tetap di sana? Atau jatuh terpisah setelah perangkatnya meledak?"
Napas Nei memburu. Pria berambut ikal itu mulai panik ketika menyadari identitas penyihir yang ada di hadapannya. "Mirage. Kurang ajar, beraninya kau berpura-pura menjadi Kak Aji."
"Betul," jawab sang penyamar yang kini telah kembali ke wujud aslinya. "Kakakmu adalah manusia yang menarik, Pangeran. Sayang sekali penyamaran ini hanya berlangsung sejenak, padahal saya sudah mempelajari dirinya beberapa hari."
"Ternyata bakatmu adalah menyamar, ya." Nei mengigit bibirnya selagi mengamati situasi.
Mirage tertawa sebelum menerjang Nei. "Bukan, Pangeran."
"Bakat saya adalah merebut bakat orang lain," ucap Mirage sembari menusuk Nei dengan belati di tangannya, "dan ... saya menginginkan bakat Anda, Pangeran."
KAMU SEDANG MEMBACA
xvi.
FantasyBilah pedang menusuk masuk ke lapisan kulitnya, dalam hingga menembus secara menyeluruh tubuh sang pendosa. Dia tahu, ada dua kartu di tangan Raja: pengampunan dan penghukuman. Kartu penghukuman telah dipilih padanya, walaupun ia tidak pernah dibuk...