Bagian 25.

3 1 0
                                    

"Setelah sepuluh tahun, akhirnya sang pendosa telah tertangkap." Begitulah rata-rata bisikan di sore hari balai kota itu. Banyak sekali yang bersukacita atas eksekusi mendatangnya Nei. Selain kalimat sebelumnya, ada juga yang bilang, "Yang Mulia Ratu akhirnya mendapat keadilan."

"Yang Mulia, saya hendak bertanya," ucap Nei dengan pelan. Kepalanya tertunduk, rambutnya jatuh menutupi netranya. Jadi, tiada yang bisa melihat ekspresinya. Namun, tubuh nan ringkih milik sang pangeran itu dipegangi dari kedua sisi, dan tangannya terikat menjadi satu di belakang punggungnya. Pakaiannya tidak berganti, masih sama dengan pakaiannya kemarin; hanya sebuah kaos putih yang sudah ternodai darah dan celana hitam yang tidak lagi utuh.

Dari belakang, para rakyat yang bersorak akan tertangkapnya sang pangeran dapat lihat bekas cambukan di punggung Nei. Ada banyak sekali, dan tampaknya itu belum 24 jam. Di tengah kerumunan yang menantikan kepala Nei terpisah dari tubuhnya, ada juga mereka yang mengkhawatirkan sang pangeran. Tidak hanya tiga orang, ada lebih dari itu. Namun, untuk saat ini mereka masih diam.

Sang Raja yang mendengar ucapan Nei mengalihkan atensinya pada sang pendosa. "Apa yang hendak kau tanyakan?"

"Sebenarnya ... apa yang dilakukan ibu saya hingga Anda begitu membenci saya?"

Nei bangun di sel. Tidak di sel yang sama dengan sebelumnya, tampaknya yang ini lebih ditingkatkan keamanannya. Tidak ada gelang yang mencegahnya untuk dapat menggunakan kekuatannya, tetapi kedua tangannya diikat ke belakang bawah. Nei tidak dapat lihat, tetapi sepertinya kedua tangannya dibekukan dalam tembok es atau dikekang dalam tembok tanah karena ia sama sekali tidak dapat merasakan kedua tangannya. Posisinya pun seperti tengah bersujud, kakinya tidak dikekang es atau tanah seperti tangannya, tetapi sebuah rantai mengekangnya. Terlihat familier, tetapi Nei tidak ingin menduga apa-apa. Kepalanya pusing sekali, pandangannya masih berbayang, dan ia masih sulit untuk bergerak. Mungkin, racun pelumpuhnya masih aktif di dalam tubuhnya.

Sang pangeran mengerjapkan matanya, mencoba untuk menyelaraskan kembali pengelihatannya. Namun, visinya tetap saja kacau. Ia terus mencoba sembari beberapa kali merintih sakit, sampai akhirnya sebuah suara yang ia kenali menyapa pendengarannya, "Oh, tampaknya ada yang sudah bangun."

Nei mengangkat kepalanya susah payah. "A-Yang ... Mulia?"

"Bagus. Kau mulai mengerti posisimu." Sang Raja datang bersama seseorang. Nei menyipitkan matanya, berusaha untuk mengenali siapa orang di belakang sang Raja. Namun, pengelihatannya benar-benar seburam itu, ia bahkan tidak bisa lihat ekspresi sang Raja.

"Perkenalkan, ini adalah anggota penyihir kerajaan elit yang baru. Ah, tetapi kau pasti sudah kenal, sih." Sang Raja mengarahkan tangannya pada pria di belakangnya. "Aldéric LeBlanc. Penyihir yang sudah kau anggap sebagai pamanmu sendiri."

"Paman ...?" Pantas saja rantainya terlihat familier. Pantas saja posturnya terlihat tidak asing. Namun, Nei tidak lagi punya tenaga untuk melawan. Tubuhnya belum sepenuhnya dapat digerakkan.

Aldéric tidak menjawab. Nei kembali menundukkan kepalanya, membuat sang Raja langsung berucap marah bersamaan dengan sebuah cambukan diterima Nei di punggungnya, "Kau berani memalingkan wajahmu ketika bicara denganku?!"

Nei berteriak kesakitan, apalagi ketika cambukan itu tidak berhenti hingga ia menaikkan kembali kepalanya. "Maaf ... Yang Mulia, saya ... telah berlaku tidak sopan."

Sang Raja mengangguk sembari menghentikan cambukannya. "Menyenangkan ya bermain peran sebagai seorang pangeran? Namun, waktumu telah berakhir. Besok, kau akan menyusul ibumu."

"Kalau kau benci dengan apa yang terjadi padamu, salahkan ibumu. Salahkan semuanya pada ibumu yang mengkhianatiku." Sang Raja kemudian berbalik, lalu melangkah meninggalkan sel itu setelah memerintah, "Aldéric, kau awasi dia. Jangan sampai dia kabur. Aku akan datang lagi besok."

"Baik, Yang Mulia."

"Paman," panggil Nei pelan, tetapi Aldéric tidak menjawab. "Apa yang dilakukannya padamu, Paman?"

"Diamlah. Khawatirkan saja dirimu sendiri."

Nei terdiam. Ia lelah. Memangnya apa yang dilakukan ibunya sampai sang raja benar-benar membencinya? Apa yang dilakukan sang ibu hingga Nei yang harus menanggung akibatnya? Selain kematian Nei, apa tidak ada lagi yang bisa meredakan kebencian sang Raja pada ibunya?

Sang Raja tertawa. Ia menatap sang pendosa yang sudah di bawah ke tengah-tengah balai kota itu; tepat diposisikan di hadapannya. "Bukankah sudah cukup jelas kukatakan bahwa selama ini kau hanya bermain peran sebagai pangeran? Kau bukan anakku. Kau tidak layak untuk menyandang namaku dan marga kerajaan, terlebih status putra mahkota."

Sang Raja menatap marah Nei. "Kau hanyalah anak dari seorang perempuan jalang yang berselingkuh dengan rakyat jelata. Perempuan kurang ajar yang menipu satu kerajaan, meyakinkan seluruh kerajaan bahwa kau benar adalah anakku dengan statusnya sebagai seorang ratu."

Balai kota menjadi semakin ramai. Rakyat tidak pernah berpikir bahwa ada cerita yang lebih mengejutkan dibanding sang pangeran membunuh ibundanya sendiri sekitar 12 tahun yang lalu.

"Namun, kenapa ... harus aku yang menanggung semuanya? Apa ... karena dalam diriku mengalir darah Ibu?" lirih pelan Nei. Sang Raja mengambil cambuknya, lalu bergerak ke belakang Nei; melayangkan cambukan ke sang pangeran. Ia tidak menjawab pertanyaan Nei, tetapi ia mengekspresikan jawabannya dari gerakan tangannya yang sangat kasar.

Nei semakin tertunduk. Ia sudah tidak lagi berteriak. Sekujur tubuhnya sudah hampir mati rasa. Setiap cambukan ia terima, hanya sedikit desis kesakitan yang ia keluarkan sebagai respon atas segala penderitaan yang ia terima.

Kalau boleh jujur, rasanya memuakkan. Ia tumbuh sebagai pangeran, ia tumbuh sebagai anak yang dicintai oleh semua orang, kecuali ayahnya. Namun, semuanya berubah 12 tahun yang lalu, ia dijebak, ia disiksa, ia dipaksa untuk mengakui apa yang tidak ia lakukan, bahkan kekuatannya berkali-kali dicoba untuk diambil. Kebebasannya direngut paksa, dan sebuah luka yang tidak akan sembuh muncul di dalam dirinya.

Dua tahun waktu remajanya dihabiskannya di sel interogasi, dengan sarapan berupa cambukan dan makan siang berupa pertanyaan-pertanyaan yang lebih ke menyudutkannya, yang kalau tidak diakuinya, para penyihir itu akan menyiksanya. Untuk makan malam, ia hanya bisa melihat sinar bulan yang malu-malu masuk melewati jendela kecil di dinding selnya. Hanya itu yang menemaninya, menguatkannya untuk kembali bangun esok hari; melewati hari-hari yang menyakitkan ... sampai akhirnya ia dibantu melarikan diri.

"Kau sudah cukup menikmati hidup sebagai pangeran dan sebagai manusia biasa. Kau tidak layak untuk lebih," ucap sang Raja.

Nei menggeleng pelan. Segala memorinya yang suram itu sudah mengacaukan dirinya. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Terkadang, ia ingin menyerah. Terkadang, ia ingin balas dendam. Namun, untuk sekarang, ia hanya ingin bertahan hidup.

Bagaimanapun yang terjadi, ia harus bertahan hidup. Sepuluh tahun terakhir, ia memang sudah banyak merasakan kebahagiaan selama di Bumi. Namun, katakanlah ia serakah. Ia ingin lebih. Ia ingin kembali. Ia ingin kembali melihat indahnya dunia. Kalau memang Getamerta tidak bisa menerimanya, tidak apa. Ada yang menerimanya di Bumi. Ia ingin kembali ke tempat yang menerimanya sebagai keluarga. Ia ingin kembali ke Bumi. Ia benar-benar ingin kembali.

Nei membuka mulutnya dengan gemetar, "Aku ... tidak akan mati hari ini."

"Lancang! Kau harus mati untuk membayar dosamu." Lebih banyak cambukan ia terima setelahnya.

Nei menarik napasnya dalam-dalam. "Yang Mulia, Anda boleh mencambuk saya hingga Anda puas. Anda boleh melucuti semua sihir saya. Anda boleh mengambil bakat saya. Ambil saja semuanya, tetapi ... saya tidak akan mati. Saya tidak akan menyerah."

Nei mengangkat wajahnya, menatap sang Raja dengan irisnya yang kembali terlihat hidup. "Saya akan menjadi seseorang yang serakah. Saya akan hidup."

xvi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang