Sepulang sekolah, Arson membawa Devon pergi membeli es krim di kedai kecil yang ada di pinggir jalan. Kedai itu cukup sederhana, dengan beberapa bangku dan meja yang bersusun rapih. Juga tidak terlalu banyak pengunjung yang ada di kedai itu, membuat suasananya jadi lebih tenang.
Setelah selesai memakan es krim, Arson mempunyai ide mengajak Devon berjalan santai menyisiri jalan. Angin sepoi-sepoi yang bertiup pelan, menjadikan sore itu terasa semakin menyenangkan.
Devon berjalan beriringan di samping Arson, matanya tidak bisa lepas dari sosok yang sedang sibuk mengamati jalan. Ada sesuatu tentang Arson yang selalu berhasil menarik perhatian Devon. Mungkin cara Arson berkata, atau bagaimana dia selalu tahu apa yang membuat Devon merasa aman dan nyaman. Apapun itu, Devon merasa tenang setiap kali berada di dekat Arson.
Sementara Arson sibuk dengan jalan di hadapannya, Devon terus memperhatikan sosok tampan itu dengan mata berbinar. Terekam jelas dalam memorinya ketika dia selalu mendengar kata cinta yang berbisik masuk dalam telinganya saat dia hampir terlelap di setiap malam, dan dia kenal persis pemilik suara lembut itu adalah Arson.
Mungkin sikapnya membuat ini terdengar tidak meyakinkan, tapi Devon bukan lagi anak umur tujuh tahun yang tidak mengerti apa itu jatuh cinta. Lagi pula, Arson selalu menunjukan segala perasaan cinta untuk dirinya dan itu semua juga menular sampai ke hati Devon.
Devon ingat, dia sudah pernah mengatakan kalau dia juga punya perasaan yang sama dengan yang Arson miliki, dia berani bersumpah itu bukan hanya bualan implusif semata. Namun, setelah berpikir lagi, sepertinya hanya Arson yang terlihat memiliki rasa cinta itu.
Lantas muncul pertanyaan pada diri Devon, apa dia juga cukup membagi cintanya pada Arson? Apakah cowok tampan itu tau bahwa dia juga ikut jatuh cinta disini? Bagaimana kalau semua takutnya membuat rasa cintanya tidak terlihat? Dan masih banyak hal tidak masuk akal lain yang terlintas dalam pikirannya.
Pandangan Devon turun sedikit ke bawah. Pada tangan mereka yang saling bertaut, atau lebih tepatnya pada tangan Arson yang memeganginya seakan takut dia akan hilang.
Devon tidak sadar kapan tepatnya tangan Arson terselip menggenggam tangannya. Namun, yang jelas sekarang dia bimbang, haruskah dia membalas genggaman itu juga?
Isi kepala Devon dipenuhi banyak kemungkinan yang hampir semuanya mengarah pada keraguan.
Bagi mereka yang tau hidupnya, mungkin akan bilang bahwa Devon itu adalah sosok yang terisi penuh oleh banyak takut, ragu, dan sakit. Namun, entah sejak kapan ketika bersama Arson, Devon merasa semuanya akan baik-baik saja. Dengan Arson, dia bisa merasa aman. Tidak perlu ada yang ditakutkan dari dunia yang selalu jahat, karena sekarang dia punya Arson disampingnya. Setidaknya itu yang Devon selalu pikirkan saat takut dan ragunya mulai datang.
Karena terlalu sibuk dengan isi kepalanya, Devon sampai tanpa sadar sudah mengenggam balik tangan Arson.
Mata Arson kian melebar dengan tubuh yang mendadak kaku ketika genggamam tangannya kini berbalas. Tidak lagi hanya dia yang memegangi Devon karena takut sosok kecil itu akan tertinggal di belakang, sekarang Devon balas menautkan tangannya dalam sebuah genggaman.
Tidak perlu ditanya, Arson jelas sangat gembira mendapati hal ini. Seperti ada petasan yang meletup-letup kencang dalam hatinya. Dilihatnya Devon yang menunduk sambil memilin seragamnya. "Devon ini... kenapa?" tanyanya terbata sebab otaknya masih sulit merespon perkembangan kecil yang Devon tunjukan.
"Arson... emm-Devonnya boleh ngomong?"
"Boleh, sayang. Devonnya mau ngomong apa?" tanya Arson dengan suara yang selalu lembut. Sekarang atensi pemuda berparas rupawan itu tertuju sepenuhnya memperhatikan Devon.
Namun, tidak menjawab, Devon justru mendekatkan diri pada Arson, berjinjit sedikit, lalu mengecup singkat bibir remaja yang menyandang status sebagai pacarnya.
Hanya hitungan detik, tapi mampu membuat waktu yang dirasakan Arson seakan berhenti. Tidak ada kata apapun yang keluar, melainkan hanya tatapan mata terkejut sebagai respon.
Rasanya gila. Jantung Arson seperti berdetak seribu kali lebih cepat dari kecepatan normal, dan rasanya sangat menyenangkan. Dia seolah merasakan jatuh cinta lagi dan lagi.
Melihat reaksi Arson, Devon mendadak gugup. Wajahnya sudah tersipu sampai ke leher, terlihat sangat merah berkat kulitnya yang sewarna susu. Karena tidak kuat menahan malu, dia akhirnya memilih menubrukan diri memeluk Arson. Menyembunyikan wajahnya pada dada sang kekasih.
"Arson, jangan diem aja. Devonnya maluu...." rengeknya.
"Maaf ya, tadi gua kaget aja, makanya diem." Sepasang tangan milik Arson balas merengkuh tubuh Devon. "Kenapa tiba-tiba gini?" bisiknya bertanya.
"Arson selalu bilang sayang sama Devonnya. Jadi...Devon juga mau bilang sayang" Devon mencicit.
Meleleh sudah hati Arson. Ini terlalu mendadak untuknya, dia bahkan belum mempersiapkan jawaban apapun untuk sekedar membalas perkataan Devon. Otaknya total kosong saat Devon mengutarakan perasaannya dengan inisiatif sendiri.
"Meong~"
Suara kucing membuyarkan suasana aneh yang menyelimuti dua remaja itu. Devon melepas pelukannya lebih dulu, melihat makhluk kecil yang berada di bawah. "Meng!!" serunya senang. Dia lekas berjongkok dan mengulurkan tangan mengusap kepala kucing berwarna orange itu. "Ih kok ada meng disini? Arson mengnya lucu banget" katanya mengadu.
Arson hanya mempu tersenyum menyaksikan pemandangan yang menurutnya sangat menggemaskan. "Iya lucu," jawabnya. Bukan tertuju untuk kucingnya, tapi justru sebagai pujian pada Devon.
Devin mendongak menatap Arson yang masih berdiri. "Apa boleh Devon ajak mengnya pulang?" tanyanya.
"Boleh aja, tapi janji harus dirawat yang baik ya?"
Devon mengangguk antusias. "Pasti. Devon gak akan sakitin meng dan akan Devon sayang-sayang setiap hari" katanya dengan nada ceria yang kentara.
Melihat Devon yang fokusnya beralih pada kucing jalanan, Arson kembali hanyut dalam isi kepalanya. Dia memandangi senyum manis yang akhirnya kembali menghiasi wajah Devon, senyuman yang sudah lama Arson nantikan, sesuatu yang dia anggap sebagai tanda bahwa sedikit demi sedikit Devon berhasil memulihkan dirinya. Melihat Devon tersenyum lagi seperti itu membuat setengah beban dihati Arson terangkat.
Ada alasan Arson akhirnya memutuskan mengikuti kata hatinya untuk mencintai Devon. Sebab Arson sudah tahu bahwa perasaannya tidak akan berakhir menjadi cinta satu pihak. Dia yakin, bahkan sejak awal, bahwa dia tidak akan jatuh cinta sendirian. Inilah yang membuatnya begitu percaya diri menunjukkan ketertarikannya secara terang-terangan, meski pada saat itu dia juga tahu bahwa Devon adalah musuhnya. Karena, Arson bisa melihat, jauh di dalam mata Devon, ada banyak sekali kasih sayang yang tersembunyi, hanya saja tertutup oleh ketakutan yang sama banyaknya.
Ketika malam itu dia menyelamatkan Devon di bar, untuk pertama kalinya dia melihat mata Devon yang bergetar mencari perlindungan, tapi setelahnya yang Arson lihat justru sebaliknya. Dia melihat bahwa sinar mata Devon itu cerah, penuh dengan kehidupan yang memancar dari dalam. Itulah mengapa Arson selalu jatuh cinta berulang kali pada binar matanya, meskipun semuanya kembali tertutupi oleh kabut trauma yang membelenggu Devon.
Itu juga kenapa Arson tidak mudah menyerah. Dia tahu bahwa di balik semua itu, ada seseorang yang sangat berharga, seseorang yang layak untuk dicintai sepenuh hati.
"Devon, ayo pulang" ajaknya sambil mengelus pucuk kepala Devon yang masih berjongkok.
"Terus meng gimana?"
"Ayo dibawa aja"
"Yeayy...kita pulang meng hihi.." Devon berdiri, membawa kucing kecil itu dalam gendongannya.
Terlihat sekali, Devon sangat berhati-hati menyentuh kucing itu. Seolah caranya memperlakukan hewan kecil itu adalah bentuk ungkapannya yang juga ingin diperlakukan demikian.
Arson mengerti, bahkan jauh sebelum Devon menunjukkannya. Ini lah juga alasan mengapa Arson selalu bersikap hati-hati dan lembut jika bersama Devon, dia tidak mau mengulangi beberapa kesalahannya yang telah tanpa sengaja berbuat kasar pada Devon dan berakhir membuat cowok kecil itu ketakutan.
Sebegitu dalamnya Arson telah jatuh cinta pada sosok laki-laki bernama Devon ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...