Bab 1

20 1 0
                                    

Senja mulai merambat perlahan di atas perbukitan, melukis langit dengan warna jingga yang memudar keunguan. Matahari yang semakin tenggelam memberikan semburat cahaya terakhirnya, menyepuh hamparan sawah yang terhampar luas di bawahnya.

Hembusan angin sore membawa aroma segar padi yang siap panen, bercampur dengan bau tanah basah yang baru saja disiram embun pagi. Di atas permukaan air di sawah, pantulan langit yang berwarna oranye keemasan menciptakan pemandangan yang begitu indah dan menenangkan.

Di tepi desa, sebuah rumah sederhana berdiri di atas sebidang tanah yang dikelilingi oleh kebun-kebun hijau. Rumah itu tidak besar, namun cukup nyaman bagi seorang pria yang mencari kedamaian setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang penuh kekerasan dan kegelapan.

Dinding kayunya yang sudah mulai memudar warnanya memberi kesan usia yang matang, seolah telah menyaksikan banyak cerita yang terukir di dalamnya.

Andi Wijaya, pria yang kini duduk termenung di beranda rumah itu, memandangi langit dengan mata yang menerawang jauh ke cakrawala. Tubuhnya yang kekar dan penuh bekas luka, meski terlihat letih, tetap memancarkan kekuatan dan keteguhan.

Tangannya yang kasar dan kokoh menggenggam secangkir kopi hitam, uapnya mengepul lembut menghangatkan udara dingin pegunungan yang mulai menusuk.

Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma kopi itu menyusup ke dalam paru-parunya, mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai merambat dalam hatinya.Dalam sekejap, Andi merasa terlempar kembali ke masa lalu. Masa di mana tangannya yang kini mengolah tanah, pernah menggenggam senjata dengan begitu erat, berlumur darah orang-orang yang pernah menjadi targetnya. Baginya, hidup di desa yang tenang ini adalah sebuah pelarian, sebuah upaya untuk menebus dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya. Namun, meski tubuhnya berada di sini, jiwanya masih sering terperangkap dalam bayang-bayang kelam yang tak kunjung memudar. Bayangan-bayangan gelap berkelebat di benaknya, mengingatkannya pada kehidupan yang telah lama ia tinggalkan.

"Sudah berapa lama aku di sini?"

gumamnya pelan, suaranya serak dan berat.

"Lima tahun? Enam? Dan masih saja..."

Suara pintu yang berderit pelan mengalihkan perhatian Andi. Istrinya, Sari, melangkah keluar dari dalam rumah, mengenakan kain batik sederhana dan kerudung yang menutupi rambutnya yang hitam legam.

Wajahnya yang lembut dan penuh kasih, meski mulai menua, tetap memancarkan kehangatan yang selalu mampu menenangkan hati Andi.

"Mas,"
panggil Sari lembut,

"kok melamun lagi?"
Andi tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya menikmati senja."
Sari duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. Ia mengenal suaminya lebih dari siapa pun, dan tahu persis kapan Andi sedang menyembunyikan sesuatu.

"Apa yang kau pikirkan, Mas?"
tanya Sari dengan suara lembut, sambil menyentuh bahu Andi dengan sentuhan yang ringan namun penuh makna.

Andi menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya dari cakrawala ke wajah istrinya. Ia tersenyum tipis, meski matanya yang gelap dan tajam tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang mengganjal di hatinya.

"Reyna,"
jawab Andi lirih, suaranya bergetar,

"sudah seminggu dia pergi berlibur ke Bali. Aku punya firasat buruk."

Sari mengerutkan kening, menatap Andi dengan cemas.

"Mas, mungkin hanya perasaanmu saja. Reyna anak yang kuat. Dia sudah dewasa, pasti tahu cara menjaga diri."

PenerorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang