Setelah menutup telepon, pria itu masuk ke dalam gudang. Andi menunggu beberapa detik, jantungnya berdegup kencang.
Dia berbisik pada dirinya sendiri,
"Ini saatnya. Aku harus menemukan Reyna."
Dengan hati-hati, Andi mendekati pintu gudang. Dia memeriksa sekelilingnya sekali lagi, memastikan tidak ada yang melihatnya.
"Aman,"
gumamnya pelan.Setelah yakin semuanya aman, dia mendorong pintu gudang yang berat itu perlahan, cukup untuk menyelinap masuk tanpa suara.
Di dalam gudang, Andi mendapati pemandangan yang mengejutkan. Ruangan itu penuh dengan peti kemas besar dan tumpukan barang-barang yang siap dikirim. Di sudut ruangan, ada beberapa orang berseragam hitam, lengkap dengan senjata di pinggang mereka, yang tampak seperti penjaga.
Mereka berbicara dengan pria yang Andi ikuti tadi.
"Pastikan semua barang siap dalam satu jam,"
perintah pria itu dengan suara rendah."Kapal akan tiba tepat waktu, dan kita tidak punya ruang untuk kesalahan."
Salah satu penjaga mengangguk.
"Baik, Bos. Bagaimana dengan... paket khusus?"Andi menahan napas, mendengarkan dengan seksama.
Pria itu tersenyum sinis.
"Ah, tentu saja. Paket khusus kita. Pastikan mereka tetap... tenang. Kita tidak ingin ada keributan, bukan?"Andi bersembunyi di balik salah satu peti kemas, mengawasi situasi dengan seksama. Dia memperhatikan pria itu memberikan instruksi kepada para penjaga, yang kemudian mulai bergerak ke arah salah satu peti kemas yang terletak di bagian belakang gudang.
"Buka,"
perintah pria itu singkat.Saat peti kemas itu dibuka, Andi merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Dalam peti itu, terlihat beberapa orang yang terikat dan dibungkam, tampaknya mereka adalah korban-korban penculikan. Di antara mereka, Andi melihat wajah yang sangat ia kenali — wajah Reyna, putrinya.
"Reyna..."
bisik Andi, suaranya gemetar menahan emosi.Dia merasa darahnya berdesir dan kemarahan membara di dadanya. Namun, Andi tahu ini bukan saatnya untuk bertindak gegabah.
"Tenang, Andi," dia menenangkan dirinya sendiri. "Pikirkan langkah selanjutnya dengan hati-hati."
Para penjaga mulai memeriksa keadaan para sandera, termasuk Reyna.
"Mereka masih hidup,"
lapor salah satu penjaga."Tapi gadis ini tampaknya sakit. Dia terus gemetar."
Pria itu mendekat, mengamati Reyna dengan seksama.
"Hmm, pastikan dia tetap hidup sampai kita sampai di tujuan. Pembeli kita membayar mahal untuk yang ini."
Andi mengepalkan tangannya, menahan keinginan untuk langsung menyerang.
"Bertahanlah, Reyna. Ayah akan menyelamatkanmu,"
bisiknya.Para penjaga menutup kembali peti kemas itu. Mereka tampaknya sedang bersiap-siap untuk memindahkan peti tersebut ke kapal yang disebutkan pria itu tadi.
Andi tahu dia harus bertindak sekarang.
"Ini saatnya,"
tekadnya dalam hati.Dengan ketenangan yang hampir tidak manusiawi, Andi meraih pistol yang ia simpan di dalam jaketnya. Dia memeriksa peluru di dalamnya, memastikan semuanya siap.
"Enam peluru,"
gumamnya.
"Harus cukup."Dia mengintip dari balik peti, mengamati para penjaga yang sibuk mengamankan barang-barang mereka. Andi menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya. Kemudian, dengan gerakan cepat namun halus, dia keluar dari persembunyiannya dan mengarahkan pistolnya ke salah satu penjaga terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
ActionSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...