Dalam perjalanan itu, Andi merasakan pikirannya mulai dipenuhi berbagai skenario tentang apa yang mungkin terjadi pada Reyna. Meski ia mencoba menenangkan dirinya dengan berulang kali meyakinkan bahwa ia akan berhasil menemukan putrinya, bayangan-bayangan buruk terus menghantuinya.
"Reyna, sayang, di mana kau?"
bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke luar jendela bus yang bergerak cepat menembus malam."Ayah akan menemukanmu, apa pun yang terjadi."
Ia tahu, dunia yang sedang ia masuki bukanlah dunia yang mudah untuk ditaklukkan. Dunia itu penuh dengan orang-orang yang tak segan-segan melakukan kekerasan demi keuntungan mereka sendiri.
Namun, Andi juga tahu bahwa ia bukan orang yang mudah dikalahkan. Ia telah melewati banyak hal dalam hidupnya, termasuk hal-hal yang lebih buruk dari ini. Naluri pembunuh yang telah lama ia kubur kini menggeliat kembali, mengisi dirinya dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Tidak peduli seberapa jauh,"
gumamnya pada diri sendiri, tangannya terkepal erat."Tidak peduli seberapa dalam aku harus menggali masa laluku. Aku tidak akan berhenti sampai kau kembali, Reyna."
Perjalanan panjang itu dipenuhi dengan keheningan yang hanya diisi oleh suara mesin bus yang menderu pelan. Beberapa penumpang lain tampak terlelap, kelelahan setelah menjalani hari yang panjang.
Namun, Andi tetap terjaga, matanya menatap tajam ke luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan rencana dan strategi.
Seorang wanita tua di sebelahnya memperhatikan kegelisahan Andi. Dengan lembut, ia bertanya,
"Anak muda, kau terlihat sangat cemas. Ada yang bisa kubantu?"
Andi menoleh, tersenyum tipis."Tidak, terima kasih, Bu. Saya hanya... sedang dalam perjalanan penting."
Wanita itu mengangguk penuh pengertian.
"Ah, aku mengerti. Semoga perjalananmu membawa hasil yang baik."
Andi hanya mengangguk pelan, kembali tenggelam dalam pikirannya. Tidak ada ruang bagi Andi untuk beristirahat. Waktu terus berjalan, dan Andi tahu bahwa di setiap detik yang berlalu, Reyna mungkin semakin jauh dari jangkauannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan di dalam saku. Andi meraihnya dengan cepat, berharap itu adalah kabar baik. Namun, saat melihat nama yang tertera di layar, wajahnya menegang. Itu bukan Rani, melainkan seseorang yang lain — seseorang dari masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan.
"Andi,"
suara di seberang terdengar rendah dan serius,"aku dengar kau sedang mencari putrimu."
Andi terdiam sejenak, mengenali suara itu."Bagaimana kau tahu?"
tanyanya dengan nada waspada."Aku punya telinga di mana-mana,"
jawab suara itu, terdengar penuh misteri."Dan aku tahu siapa yang menculiknya."
Jantung Andi berdegup kencang, darahnya berdesir cepat."Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan?"
desisnya, berusaha menjaga suaranya tetap rendah agar tidak menarik perhatian penumpang lain."Aku akan memberitahumu, tapi tidak di sini. Kau harus menemuiku, di tempat biasa."
Andi menghela napas panjang, merasakan ketegangan yang semakin menekan dadanya. Tempat biasa yang disebutkan itu adalah sebuah lokasi yang dulu sering ia kunjungi saat masih bekerja sebagai pembunuh bayaran.
Sebuah bar kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat di mana orang-orang seperti Andi bisa bertemu tanpa menarik perhatian.
"Baik,"
jawab Andi singkat.
"Aku akan ke sana."Suara di seberang telepon terdengar seperti menghela napas lega, seolah keputusan Andi untuk bertemu sudah diantisipasi.
"Bagus,"
jawabnya, nada suaranya dingin namun tegas.
"Jangan terlambat. Kita tidak punya banyak waktu."Andi mengangguk, meski orang di seberang telepon tak bisa melihatnya.
"Aku akan segera ke sana,"
jawabnya singkat sebelum menutup telepon.Dia menatap layar ponselnya sejenak, mencoba meresapi percakapan yang baru saja terjadi. Nama yang tak asing itu kembali menghantui pikirannya, membawa kembali ingatan-ingatan dari masa lalu yang sudah berusaha keras ia tinggalkan.
"Sial,"
gumamnya pelan, mengusap wajahnya dengan kasar.
"Aku pikir aku sudah meninggalkan semua ini."Pertemuan ini mungkin akan menyeretnya lebih dalam ke dalam dunia gelap yang sudah lama ia hindari. Namun, demi Reyna, Andi siap melakukan apa saja. Tidak ada yang lebih penting selain menyelamatkan putrinya dari cengkeraman orang-orang yang kejam itu.
Andi menatap ke luar jendela bus yang terus melaju. Lampu-lampu kota yang semakin memudar digantikan oleh gelapnya malam yang hanya diterangi oleh bulan yang tersembunyi di balik awan.
Ia tahu, keputusan yang baru saja diambilnya akan membawanya kembali ke dunia yang pernah ia tinggalkan — dunia di mana hukum tak berlaku dan keadilan hanya bisa ditegakkan dengan senjata di tangan.
Tak lama kemudian, bus tiba di kota tujuan. Suara sopir bus memecah lamunan Andi,
"Pemberhentian terakhir, semuanya turun!"
Andi segera bangkit, mengangguk sopan pada wanita tua di sebelahnya.
"Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Bu,"
ucapnya sebelum melangkah turun dari bus.Dengan langkah mantap, tas kecilnya digenggam erat di sisi tubuhnya, Andi berjalan cepat menuju tempat parkir di belakang terminal. Di sana, sebuah mobil yang ia pesan melalui seorang kenalan sudah menunggu.
Mobil itu, meski sederhana dan tanpa hiasan, sudah disiapkan untuk perjalanan ini — siap melaju tanpa menarik perhatian di jalanan malam yang sepi.
Andi membuka pintu mobil dan segera masuk, menyalakan mesin yang berderu pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sejenak sebelum menginjak pedal gas.
"Bertahanlah, Reyna,"
bisiknya, seolah putrinya bisa mendengarnya."Ayah sedang dalam perjalanan."
Mobil meluncur keluar dari area terminal. Pikirannya kini terfokus sepenuhnya pada tujuan berikutnya — bar kecil di sudut kota yang sepi, tempat di mana ia akan bertemu dengan seseorang yang mungkin memiliki informasi penting tentang keberadaan Reyna.
Selama perjalanan, Andi memeriksa jalanan dengan saksama. Dia sudah terlalu berpengalaman dalam dunia yang penuh jebakan dan tipu muslihat untuk mengabaikan kemungkinan pengawasan atau penyergapan. Namun, jalanan kota ini terlihat tenang, seolah tidak ada yang mencurigakan.
"Terlalu tenang,"
gumam Andi pada dirinya sendiri, matanya terus waspada memeriksa spion."Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?"
Meski begitu, nalurinya tetap siaga, siap untuk bereaksi terhadap ancaman sekecil apapun. Tangan kanannya sesekali meraba sisi pintu mobil, memastikan senjata yang tersembunyi di sana masih berada di tempatnya. Andi tahu, malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang dan berbahaya. Namun, demi Reyna, ia siap menghadapi apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
ActionSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...