Mereka kembali ke mobil yang diparkir tak jauh dari gudang.
Satrio melirik Andi, tatapannya penuh arti. Tanpa kata-kata, ia seolah bertanya apakah Andi membutuhkan bantuan lebih lanjut. Namun, Andi hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Aku akan membawa Reyna pulang,"
kata Andi dengan suara pelan namun tegas.Ia berhenti sejenak, matanya menerawang jauh sebelum melanjutkan,
"Tapi aku akan segera menghubungi kalian. Ini belum selesai."
Satrio mengangguk, memahami benar maksud tersirat dalam kata-kata Andi.
"Kami akan selalu siap,"
jawabnya dengan nada penuh keyakinan.
"Kapanpun kau membutuhkan kami, Andi."Bimo, yang berdiri di samping Satrio, menambahkan dengan suara rendah,
"Jaga dirimu dan Reyna baik-baik. Kita tidak tahu sejauh apa jangkauan mereka."
Andi mengangguk singkat, menghargai perhatian dan dukungan dari rekan-rekannya. Ia kemudian berpaling ke arah Reyna yang berdiri diam di sampingnya, wajahnya masih pucat pasi akibat ketegangan yang baru saja dialaminya.
"Ayo, sayang,"
ajak Andi lembut, tangannya merangkul pundak Reyna dengan protektif.
"Kita pergi dari sini."Reyna hanya mengangguk lemah, membiarkan dirinya dituntun masuk ke dalam mobil. Ia duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih gemetar akibat adrenalin yang belum sepenuhnya surut.
Meski demikian, kehadiran sang ayah di sampingnya memberikan rasa aman yang tak terkira.
Andi menyalakan mesin mobil, jemarinya menggenggam erat setir. Perasaannya campur aduk—lega karena Reyna telah selamat, namun juga cemas karena ia tahu bahaya belum sepenuhnya berlalu.
"Ayah,"
suara Reyna terdengar lirih, nyaris tak terdengar di antara deru mesin mobil.
"Mereka... mereka bilang...""Sssh,"
Andi memotong dengan lembut, tangannya meraih tangan Reyna dan meremasnya pelan.
"Tidak sekarang, sayang. Kita bicarakan nanti, oke? Sekarang, yang terpenting kau aman."Reyna mengangguk, matanya yang lelah menatap keluar jendela saat mobil mulai bergerak meninggalkan area tersebut. Di belakang mereka, Satrio, Bimo, dan Joko berdiri mengawasi, wajah mereka menyiratkan kekhawatiran sekaligus tekad.
Sepanjang perjalanan menuju penginapan yang aman, keheningan menyelimuti mobil. Hanya suara mesin dan gemuruh jalan raya yang sepi yang mengisi kekosongan. Andi sesekali melirik ke arah Reyna, memastikan putrinya baik-baik saja.
Setelah beberapa saat, Reyna akhirnya membuka suara. Suaranya terdengar serak dan lelah.
"Ayah... terima kasih,"
katanya pelan, matanya masih menatap lurus ke depan.
"Aku benar-benar berpikir... aku tidak akan melihatmu lagi."Andi merasakan hatinya seperti diremas. Rasa bersalah yang selama ini ia pendam kembali menyeruak.
"Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi, sayang,"
jawabnya lembut, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya.
"Aku akan selalu datang untukmu, tidak peduli sejauh apa pun atau seberapa sulit keadaannya."
Reyna menoleh, matanya yang berkaca-kaca menatap wajah ayahnya. Wajah yang dulu selalu tampak kuat dan tak terkalahkan kini terlihat lebih tua, garis-garis lelah terukir jelas di sana.
Namun, di balik kelelahan itu, Reyna masih bisa melihat kasih sayang dan tekad yang tak tergoyahkan.
"Ayah,"
Reyna berkata ragu-ragu,
"kenapa mereka menculikku? Apa... apa mereka tahu tentangmu?"Andi menghela napas panjang, tangannya menggenggam setir lebih erat. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan ini akan muncul, tapi tetap saja ia merasa belum siap menjawabnya.
"Mungkin mereka tahu sesuatu tentang masa laluku,"
akhirnya Andi menjawab, memilih kata-katanya dengan hati-hati."Tapi itu bukan salahmu, Reyna. Semua ini... semua ini karena kesalahan masa lalu Ayah."
Reyna menunduk, mencoba mencerna informasi ini.
"Tapi... aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Kenapa mereka memilihku?"
Andi memperlambat laju mobil, menyadari bahwa pembicaraan ini membutuhkan perhatian penuh.
"Mereka tidak peduli apakah kau tahu atau tidak, sayang," katanya dengan nada lembut namun serius.
"Yang penting bagi mereka adalah membuatku keluar dari persembunyianku, membuatku rentan. Tapi mereka salah langkah kali ini."Mobil terus melaju, menembus kegelapan malam yang perlahan mulai tersapu oleh cahaya fajar. Kota mulai terbangun, suara-suara kehidupan mulai terdengar samar di kejauhan.
"Ayah,"
Reyna kembali bersuara setelah beberapa saat terdiam.
"Apakah ini akan pernah berakhir? Maksudku... dengan orang-orang itu?"Andi terdiam sejenak, matanya menerawang jauh ke depan.
"Aku ingin bisa memberimu jawaban yang pasti, Reyna,"
akhirnya ia berkata, suaranya terdengar berat.
"Tapi masa laluku... penuh dengan hal-hal yang sulit untuk dihapus begitu saja."Ia berhenti sejenak, melirik ke arah Reyna yang masih menatapnya penuh harap.
"Yang bisa Ayah janjikan adalah bahwa Ayah akan melakukan segalanya untuk memastikan kau aman. Mereka tidak akan pernah menyentuhmu lagi. Itu sumpahku padamu."
Reyna mengangguk pelan, ada secercah ketenangan di matanya mendengar janji ayahnya. Meski banyak pertanyaan yang masih berputar di kepalanya, untuk saat ini, janji itu cukup untuk membuatnya merasa aman.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah penginapan kecil yang terpencil. Andi memarkir mobil di tempat tersembunyi dan turun, lalu bergegas membantu Reyna keluar dari mobil.
"Kita akan istirahat di sini untuk sementara,"
ujar Andi sambil menuntun Reyna ke arah pintu masuk.
"Ini tempat yang aman. Kita akan memikirkan langkah selanjutnya setelah kau beristirahat."Di pintu masuk, seorang penjaga tua mengangguk hormat pada Andi. Tanpa kata-kata, ia menyerahkan kunci kamar, seolah telah mengenal Andi sejak lama.
Setelah masuk ke kamar, Andi membantu Reyna duduk di ranjang. Ia bisa melihat kelelahan yang mendalam di wajah putrinya, bukan hanya fisik, tapi juga mental.
"Coba istirahat, Reyna,"
kata Andi lembut, tangannya membelai rambut Reyna dengan penuh kasih sayang.
"Ayah akan berjaga di sini. Kau aman sekarang."Reyna menatap ayahnya, ada campuran rasa takut dan kelegaan di matanya.
"Ayah tidak akan pergi, kan?"
tanyanya dengan suara kecil.Andi menggenggam tangan Reyna erat.
"Tidak akan, sayang. Ayah akan selalu ada di sini untukmu. Sekarang, cobalah untuk tidur. Besok akan menjadi hari yang panjang."Perlahan, Reyna merebahkan diri di atas ranjang. Meski masih ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, rasa lelah akhirnya mengambil alih. Dalam hitungan menit, napasnya mulai teratur, menandakan ia telah jatuh tertidur.
Andi duduk di kursi dekat jendela, matanya awas mengawasi jalanan di luar. Meski tempat ini aman, instingnya yang terlatih selama bertahun-tahun tidak mengizinkannya untuk lengah.
Semua indranya tetap siaga, siap bereaksi terhadap ancaman sekecil apapun.
Sambil terus berjaga, pikiran Andi mulai menyusun rencana. Ia tahu bahwa ini hanyalah awal. Orang-orang yang mengejarnya tidak akan berhenti begitu saja. Ia harus memastikan keamanan Reyna, tapi pada saat yang sama, ia juga harus menghadapi masa lalunya sekali dan untuk selamanya.
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur, cahayanya yang lembut menerangi kamar melalui celah tirai. Andi menatap ke arah Reyna yang tertidur lelap, wajahnya kini terlihat damai. Ia berjanji dalam hati, apapun yang terjadi, ia akan melindungi putrinya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi seluruh dunia sendirian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
AcciónSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...