Tidak lama kemudian, ponsel Andi bergetar pelan di saku jaketnya. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama yang tertera di layar. Itu adalah Satrio.
"Satrio,"
sapa Andi dengan nada rendah, sambil tetap mengawasi Reyna yang sudah mulai tertidur. Wajah putrinya yang lelah membuat hatinya terasa berat."Andi, bagaimana keadaan Reyna?"
tanya Satrio dari seberang telepon, suaranya serius namun penuh perhatian.Andi menghela nafas panjang sebelum menjawab,
"Dia aman untuk saat ini. Tapi kau bisa bayangkan, Satrio. Dia... dia terlihat sangat terpukul. Entah apa yang telah mereka lakukan padanya."
"Aku bisa membayangkan,"
balas Satrio, nada suaranya muram.
"Tapi setidaknya dia sudah bersamamu sekarang. Itu yang terpenting.""Ya, kau benar,"
Andi mengangguk, meskipun Satrio tidak bisa melihatnya.
"Dia butuh istirahat. Tapi aku tahu kita belum selesai di sini.""Benar,"
kata Satrio, suaranya berubah tegas.
"Tanaka tidak akan berhenti hanya karena kita berhasil menyelamatkan Reyna. Orang-orangnya akan mengejar kita, dan kita harus siap untuk menghadapi mereka."Andi merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya.
"Apa yang kau sarankan, Satrio?"
"Kita harus bergerak cepat,"
jawab Satrio.
"Aku sudah menghubungi beberapa kontak lama kita. Mereka siap membantu. Tapi kita perlu strategi yang solid."Andi mengangguk, matanya tetap terfokus pada Reyna yang tertidur.
"Aku akan bertemu dengan kalian secepatnya. Tapi aku tidak akan meninggalkan Reyna sendirian. Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Satrio terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara yang penuh tekad,
"Kami akan menyiapkan segalanya. Ini akan menjadi perang yang panjang, Andi. Tapi dengan kita bersama, kita punya peluang untuk menghancurkan mereka."
"Kau benar,"
Andi menyetujui.
"Kita tidak punya pilihan lain. Demi Reyna, demi kita semua, Tanaka harus dihentikan.""Jaga dirimu, Andi,"
kata Satrio sebelum menutup telepon.
"Dan jaga Reyna. Kita akan segera bertemu."Setelah menutup telepon, Andi duduk kembali, merasakan keheningan yang berat di dalam kamar, hanya sesekali dipecahkan oleh deru napas Reyna yang tidak teratur.
Ini adalah saat-saat yang krusial, di mana setiap keputusan harus diambil dengan hati-hati. Andi tahu bahwa dia sedang berada di tengah badai, dan satu kesalahan kecil bisa berarti bencana.
Dia menatap wajah Reyna yang tertidur, berbisik pelan,"Maafkan ayah, sayang. Ayah berjanji akan melindungimu mulai sekarang. Apapun yang terjadi."
Namun, di balik segala ketegangan dan ancaman yang mengintai, Andi merasa bahwa dia telah menemukan kembali dirinya. Bukan sebagai pembunuh bayaran yang dulu, tapi sebagai seorang ayah yang berjuang untuk melindungi anaknya, apa pun risikonya.
Saat matahari mulai naik di atas cakrawala, menerangi langit dengan cahaya pagi yang lembut, Andi tetap terjaga, pikirannya terfokus pada satu tujuan—menghancurkan Hendrik Tanaka dan memastikan bahwa Reyna, serta semua orang yang ia sayangi, bisa hidup dalam damai.
Di luar jendela, kota Jakarta mulai sibuk dengan rutinitas paginya. Suara klakson dan deru mesin mulai terdengar samar-samar.
Namun, bagi Andi, hari ini adalah awal dari pertempuran baru yang akan menentukan segalanya. Dan dia tahu, dengan tekad yang kuat, dia akan melakukan apa saja untuk memenangkan pertempuran itu.
Cahaya pagi mulai merambat masuk ke dalam kamar melalui celah-celah tirai, memercikkan kehangatan lembut yang terasa hampir asing bagi Andi.
Sinar matahari yang baru terbit itu seolah memberikan harapan, namun Andi tahu bahwa sinar tersebut bukanlah akhir dari kegelapan yang masih melingkupinya, Andi masih terjaga, matanya merah karena kurang tidur, tapi pikirannya tetap tajam dan waspada.
Tiba-tiba, Reyna bergerak gelisah dalam tidurnya. "Tidak... jangan... tolong..." igaunya, keringat dingin membasahi dahinya.
Andi segera bangkit, mendekatkan dirinya ke sisi Reyna.
"Sssh, Reyna. Ini Ayah. Kamu aman sekarang,"
bisiknya, mengusap lembut rambut Reyna.Perlahan, mata Reyna terbuka. Untuk sesaat, tatapannya kosong dan ketakutan, sebelum akhirnya fokus pada wajah Andi.
"Ayah?"
suara lemah Reyna memecah keheningan.
Andi menggenggam tangan putrinya dengan lembut."Iya, sayang. Ayah di sini."
"Di... dimana kita?"
Tanya reyna."Kita aman sekarang,"
jawab Andi, berusaha menenangkan.
"Kau tidak perlu khawatir lagi."Air mata mulai menggenang di mata Reyna.
"Ayah, aku... aku takut. Mereka... mereka..."
Andi memeluk Reyna erat, membiarkan putrinya menangis di dadanya.
"Sssh... tidak apa-apa. Ayah di sini sekarang. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi."
Sementara Reyna terisak dalam pelukannya, Andi merasakan amarah yang membara dalam dirinya. Dia bersumpah dalam hati bahwa Tanaka akan membayar untuk semua ini.
Ketika suara ponsel Reyna bergetar di atas meja, Andi segera mengambilnya. Nama Rani muncul di layar, teman Reyna yang pertama kali memberi tahu tentang penculikan itu. Andi ragu sejenak, namun akhirnya menjawab panggilan tersebut.
"Halo?"
suara Rani terdengar cemas di seberang telepon.
"Reyna? Apa kau baik-baik saja?"Andi berbicara dengan tenang namun tegas, mencoba menenangkan Rani yang jelas sekali panik.
"Ini Andi, ayah Reyna. Dia sudah aman sekarang. Terima kasih telah menghubungi kami saat itu."
"Oh, Pak Andi,"
Rani terdengar sedikit lega, tetapi tetap khawatir.
"Syukurlah... Saya benar-benar takut saat itu. Saya pikir kami... Saya pikir Reyna mungkin tidak akan selamat.""Semuanya sudah berakhir sekarang,"
jawab Andi dengan nada yang menenangkan.
"Tapi kami masih harus berhati-hati. Apa kau sendiri baik-baik saja, Rani? Apakah kau sudah aman?""Saya sudah kembali ke rumah, Pak Andi,"
jawab Rani.
"Tapi saya masih takut, takut kalau mereka akan datang lagi. Saya tahu Reyna sudah aman sekarang, tapi..."Andi mengerti ketakutan itu. Ancaman dari orang-orang seperti Tanaka tidak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah ancaman fisiknya berakhir. Rasa takut itu akan tetap ada, mengintai di sudut-sudut paling gelap dari pikiran seseorang.
"Jangan khawatir, Rani,"
kata Andi, suaranya penuh keyakinan.
"Aku akan memastikan tidak ada yang bisa menyakitimu atau Reyna lagi. Untuk sementara, tetaplah di rumah dan hindari bepergian sendiri. Aku akan mengurus sisanya."Rani terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara bergetar,
"Terima kasih, Pak Andi. Tolong jaga Reyna baik-baik."
"Aku berjanji,"
jawab Andi tegas.
"Aku akan melakukannya. Terima kasih, Rani. Jaga dirimu baik-baik."Setelah menutup telepon, Andi kembali duduk di kursinya, matanya kembali tertuju pada Reyna yang masih tertidur. Pikirannya kembali melayang-layang, memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Tanaka,"
gumamnya pelan, tangannya terkepal erat.
"Kau telah membuat kesalahan besar dengan menyentuh putriku. Aku bersumpah, kau akan membayar untuk semua ini."Andi tahu bahwa dia harus segera berkoordinasi dengan Satrio dan tim untuk menyusun rencana menghancurkan Tanaka. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa ancaman terhadap keluarganya tidak akan pernah kembali.
Dengan tekad yang membara di matanya, Andi berbisik pada dirinya sendiri,"Ini baru awal, Tanaka. Bersiaplah untuk menghadapi badai yang sesungguhnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
AksiSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...