"Kita masuk ke jantungnya sekarang,"
kata Andi, menekan tombol lift untuk menuju lantai tertinggi.Suaranya terdengar tegang namun terkendali. "Ingat, kita hanya punya sedikit waktu."
Satrio mengangguk, mengecek senjatanya untuk kesekian kalinya.
"Berapa lama menurut estimasimu sebelum mereka sadar kita di sini?"
"Lima menit, paling lama,"
jawab Andi, matanya terfokus pada angka lantai yang terus bergerak naik."Tapi dengan Tanaka, kita tidak pernah tahu. Dia selalu selangkah di depan."
Lift bergerak naik dengan cepat, memberikan mereka waktu singkat untuk mempersiapkan diri.
Andi mengecek senjatanya sekali lagi, jari-jarinya bergerak dengan presisi yang hanya bisa didapat dari bertahun-tahun pengalaman.
Satrio berdiri di sampingnya, tubuhnya tegang seperti pegas yang siap dilepaskan.
"Kau siap?"
tanya Andi, melirik ke arah Satrio.Satrio mengangguk singkat.
"Selalu. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."Ketika lift berhenti di lantai tertinggi, pintu terbuka dengan perlahan, memperlihatkan koridor yang sunyi. Andi dan Satrio bertukar pandang sejenak sebelum melangkah keluar dengan hati-hati, senjata siap di tangan.
"Terlalu sunyi,"
bisik Satrio.
"Aku tidak suka ini."Andi mengangguk setuju.
"Tetap waspada. Tanaka bukan orang yang meremehkan keamanannya."Mereka bergerak menyusuri koridor dengan langkah yang nyaris tak bersuara. Setiap belokan, setiap sudut, menjadi potensi ancaman yang harus mereka waspadai.
"Kita hampir sampai,"
bisik Andi, mengarahkan timnya menuju pintu besar di ujung koridor."Bimo, kau mendengarku?"
Suara Bimo terdengar melalui earphone mereka,"Jelas dan terang, bos. Apa yang kau butuhkan?"
"Analisis pintu di depan kami. Apa yang kita hadapi?"
Terdengar suara ketikan cepat sebelum Bimo menjawab,
"Sistem sidik jari canggih. Bukan yang biasa kita hadapi. Aku bisa mencoba mengacaknya, tapi itu akan memakan waktu."
Andi menggelengkan kepala, meski tahu Bimo tidak bisa melihatnya.
"Kita tidak punya waktu untuk itu. Kita lakukan ini dengan cara lama."
"Hati-hati, Andi,"
suara Bimo terdengar khawatir. "Jika kau memaksa masuk, seluruh gedung akan tahu dalam hitungan detik.""Itulah sebabnya kita harus bergerak cepat,"
Andi menjawab sambil mengeluarkan alat pemotong logam portabel dari tasnya.Sementara Andi bekerja pada kunci elektronik, Satrio dan anggota tim lainnya berjaga, mata mereka bergerak waspada menyapu koridor.
"Berapa lama?"
tanya Satrio, suaranya tegang."Sebentar lagi,"
gumam Andi, tangannya bergerak cepat dan presisi.
"Hanya perlu... Ah, dapat!"Pintu terbuka dengan suara desisan pelan. Andi dan timnya bergerak masuk dengan cepat, senjata terangkat dan siap. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat mereka terhenti sejenak.
Ruangan itu besar dan mewah, furnitur mahal dan dekorasi elegan memenuhi setiap sudut. Namun, bukan kemewahan itu yang menarik perhatian mereka.
Di tengah ruangan, berdiri dengan tenang seolah telah menunggu kedatangan mereka, adalah sosok yang mereka kejar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
ActionSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...