Setelah mereka selesai merencanakan, Andi mengambil kesempatan untuk berbicara secara pribadi dengan setiap anggota tim.
Matanya menyapu ruangan, memperhatikan wajah-wajah yang telah menjadi keluarganya selama bertahun-tahun.
Dia tahu betapa berbahayanya misi ini, dan dia ingin memastikan bahwa semua orang siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Saat Andi mendekati Satrio, mereka saling bertukar pandang penuh pengertian. Satrio, dengan bekas luka tipis di alis kirinya, menatap Andi dengan keyakinan yang terpancar dari matanya.
"Kita sudah lama bekerja bersama, Satrio,"
kata Andi dengan nada rendah namun penuh makna.Ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan,
"Berapa tahun sudah? Sepuluh? Lima belas?"Satrio tersenyum tipis,
"Tujuh belas tahun, Andi. Tujuh belas tahun penuh dengan petualangan yang tak terlupakan."Andi mengangguk, matanya menerawang sejenak sebelum kembali fokus.
"Dan aku tahu, dengan tim ini, kita bisa melakukan apa saja. Aku menghargai semua yang kalian lakukan untukku."
Satrio menepuk bahu Andi, senyum tipis muncul di wajahnya yang keras.
"Kita ini keluarga, Andi. Dan dalam keluarga, kita melindungi satu sama lain. Aku senang bisa melakukan ini bersamamu."
"Tapi kau tahu risikonya kan, Satrio?"
Andi bertanya, suaranya sedikit bergetar."Ini bukan misi biasa. Kita berhadapan dengan Tanaka, bukan orang sembarangan."
Satrio mengeratkan genggamannya pada bahu Andi,
"Aku tahu, sobat. Tapi bukankah itu yang membuat hidup kita menarik? Lagipula, kita punya tim terbaik di sini. Aku percaya pada kita."
Setelah memastikan Satrio siap, Andi mengalihkan perhatiannya pada Bimo, yang sedang sibuk di depan layar komputer. Jari-jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa, matanya tak lepas dari deretan kode yang memenuhi layar.
"Bimo,"
panggil Andi pelan, tidak ingin mengagetkan rekannya itu.
"Kau adalah otak dari operasi ini. Aku tahu kita bisa mempercayaimu untuk memastikan semuanya berjalan lancar."Bimo menoleh sejenak, kacamatanya sedikit melorot di batang hidungnya.
"Kau bisa mengandalkanku, Andi,"
ujarnya dengan nada yakin.
"Aku sudah mempelajari sistem keamanan Tanaka selama berbulan-bulan. Percayalah, semua sistem mereka akan menjadi mainan di tangan kita.""Bagaimana dengan firewall mereka?"
tanya Andi, sedikit khawatir.
"Kudengar itu salah satu yang terbaik di Asia."Bimo terkekeh pelan,
"Firewall terbaik pun punya celah, Andi. Dan aku sudah menemukan celah itu. Mereka tidak akan tahu apa yang menghantam mereka."Andi mengangguk puas,
"Bagus. Tapi tetap waspada, oke? Jangan sampai ada jejak yang tertinggal.""Kau meremehkanku, bos,"
Bimo menyeringai, kembali fokus pada layarnya.
"Aku akan menghapus jejak kita bahkan sebelum mereka sadar kita ada di sana."Joko, yang sedari tadi menunggu giliran untuk berbicara dengan Andi, akhirnya menghampiri. Tubuhnya yang kekar dan berotot menegaskan perannya sebagai kekuatan fisik dalam tim.
"Aku tahu ini berbahaya,"
kata Joko, suaranya dalam dan serak.
"Tapi aku siap, Andi. Kita harus menghancurkan mereka, tidak peduli apa pun yang terjadi."Andi menatap Joko lekat-lekat,
"Kau yakin, Joko? Ini bukan pertarungan biasa. Tanaka punya pasukan yang tidak segan-segan."Joko mengepalkan tangannya,
"Justru itu yang membuatku bersemangat, Andi. Sudah lama aku tidak merasakan adrenalin seperti ini. Lagipula,"
ia tersenyum sinis,
"aku punya beberapa perhitungan pribadi dengan beberapa anak buah Tanaka."

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
AksiyonSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...