Setelah beberapa saat, Andi tiba di bar yang dimaksud. Tempat itu tersembunyi di antara deretan bangunan tua, nyaris tak terlihat kecuali bagi mereka yang tahu di mana harus mencarinya.
Sebuah papan kayu dengan tulisan usang tergantung di atas pintu masuk yang sempit. Cahaya kuning yang remang-remang mengintip dari balik jendela kecil yang tertutup tirai berat.
Andi memarkir mobilnya di seberang jalan, lalu keluar dan berjalan perlahan menuju pintu masuk bar. Tangannya yang kasar menggenggam gagang pintu besi itu dengan kuat, mengingat saat-saat ketika ia sering membuka pintu yang sama, bertemu dengan orang-orang yang tak mengenal kata "ampun" dalam kamus mereka.
"Sudah lama sekali,"
gumam Andi pada dirinya sendiri, matanya menerawang jauh. "Aku berharap tak pernah kembali ke sini."Ia mendorong pintu itu, membiarkan suara deritannya yang keras menggema di lorong sempit.
Di dalam, suasana bar terasa akrab namun juga menekan. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu kuning yang redup, memancarkan cahaya yang cukup untuk melihat namun tidak cukup untuk membuat suasana terasa nyaman.
Asap rokok melayang-layang di udara, bercampur dengan aroma alkohol murah dan keringat.
Seorang pria di sudut bar berteriak,
"Hei, lihat siapa yang datang!"
Beberapa orang duduk di meja-meja yang tersebar di seluruh ruangan, wajah mereka tersembunyi di balik bayangan, namun mata mereka sesekali menatap Andi dengan pandangan curiga.
Andi melangkah masuk dengan tenang, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan. Meski sudah lama meninggalkan tempat ini, dia masih diingat dengan baik oleh beberapa orang yang duduk di sana.
Tatapan mereka yang curiga berubah menjadi tatapan hormat, seolah mereka tahu bahwa Andi bukan orang sembarangan.
"Andi Wijaya,"
sapa seorang pria berjanggut lebat.
"Kukira kau sudah pensiun."Andi mengangguk singkat.
"Aku memang sudah pensiun. Tapi ada urusan yang memaksaku kembali."Ia bukan lagi Andi yang sederhana, petani di desa yang sepi. Di tempat ini, ia adalah Andi Wijaya — seorang mantan algojo yang kehadirannya selalu membuat orang waspada.
Ia berjalan menuju meja di sudut ruangan, tempat seorang pria duduk dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Pria itu, yang tampak berusia lima puluh tahunan dengan rambut beruban dan wajah yang penuh keriput, menatap Andi dengan tatapan yang tajam.
Dia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah kusam, dengan sebatang rokok yang menyala di antara jarinya. Di hadapannya, segelas minuman keras setengah penuh berdiri di atas meja, menandakan bahwa pria itu telah menunggu cukup lama.
"Andi,"
sapa pria itu dengan suara serak, suaranya hampir tenggelam di tengah suara gemuruh bar yang ramai."Sudah lama tidak melihatmu di sini."
Andi mengangguk kecil, menarik kursi dan duduk di depan pria itu.
"Sudah lama,"
jawabnya pendek, tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi.Pria itu tersenyum tipis, menyeringai sambil memadamkan rokoknya di asbak yang penuh dengan puntung-puntung lainnya.
"Aku dengar kau sedang mencari seseorang."
Andi tidak menjawab langsung. Matanya menatap tajam ke arah pria itu, mencoba membaca niat di balik senyum yang samar.
"Aku ingin tahu di mana putriku berada,"
kata Andi akhirnya, suaranya datar namun sarat dengan maksud."Dan aku tahu kau punya informasi yang kubutuhkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
AksiyonSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...