Pria itu menahan tangan Andi sejenak, tatapannya lebih serius dari sebelumnya. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
"Andi, dengar,"
ujarnya dengan suara rendah dan tegas."Orang-orang Tanaka tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Mereka akan mengawasimu, dan mereka tidak akan segan-segan menghabisimu jika merasa terancam. Pastikan kau siap menghadapi apa pun."
Andi mengangguk, mengerti sepenuhnya risiko yang sedang ia hadapi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab,
"Aku sudah terlalu lama hidup dalam ketenangan,"
jawabnya dengan nada yang tegas. Matanya memancarkan tekad yang kuat."Sudah waktunya aku kembali ke medan perang."
"Kau yakin tentang ini, Andi?"
tanya pria itu lagi, mencoba memastikan."Kau tahu, sekali kau masuk ke dunia itu lagi, sulit untuk keluar."
Andi menatap lurus ke mata lawan bicaranya.
"Aku tidak punya pilihan lain. Reyna adalah segalanya bagiku. Aku akan melakukan apa pun untuk menyelamatkannya."
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Andi berbalik dan berjalan keluar dari bar, meninggalkan pria itu yang hanya bisa menghela napas panjang. Suara langkah kakinya bergema di lantai kayu yang usang.
Dunia di luar bar terasa dingin dan gelap, kontras dengan suasana remang dan penuh asap di dalam. Angin malam berhembus kencang, membawa serta aroma hujan yang mungkin segera turun. Andi mengangkat kerah jaketnya, berusaha melindungi diri dari dinginnya udara malam.
Langkah Andi cepat dan mantap saat ia menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Setiap langkah membawa beban yang semakin berat, bukan hanya karena ancaman yang baru saja diungkapkan, tetapi juga oleh kesadaran bahwa perjalanan ini mungkin akan memaksanya untuk kembali menjadi orang yang pernah ia benci — seorang pembunuh bayaran.
Setelah masuk ke dalam mobil, Andi menyalakan mesin dan duduk sejenak, memejamkan mata. Ia berbisik pelan,
"Reyna, bertahanlah sayang. Ayah akan datang menyelamatkanmu."
Pikiran tentang Reyna yang berada di tangan sindikat perdagangan manusia membuat darahnya mendidih. Ia tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi pada putrinya saat ini, dan itu semakin memperkuat tekadnya untuk segera berangkat ke Jakarta.
Dia memandang sekeliling sekali lagi, memastikan tidak ada yang mengawasinya. Meski semuanya tampak tenang, Andi tahu lebih baik daripada menganggap remeh situasi ini.
"Orang-orang seperti Tanaka tidak hanya mengandalkan kekerasan,"
gumamnya pada diri sendiri.
"Mereka juga menguasai seni pengawasan dan manipulasi. Jika aku ingin menyelamatkan Reyna, setiap langkahku harus diperhitungkan dengan cermat."
Setelah memastikan semuanya aman, Andi menginjak pedal gas dan melaju meninggalkan area bar. Jalanan kota yang sepi memberinya waktu untuk merenungkan langkah-langkah berikutnya.
Jakarta adalah kota besar dengan segala kekacauan dan kejahatannya. Mencari seseorang di sana, apalagi di lingkungan yang penuh dengan penjahat, akan seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, Andi tidak punya pilihan lain.
Selama perjalanan, Andi berbicara pada dirinya sendiri, menyusun rencana dan mempersiapkan mentalnya.
"Jakarta... Kota itu pasti sudah banyak berubah sejak terakhir kali aku di sana,"
gumamnya.
"Tapi kejahatan... kejahatan tidak pernah berubah. Hanya wajah-wajah baru dengan permainan lama."

KAMU SEDANG MEMBACA
Peneror
ActionSenja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi...