Bab 11

1 1 0
                                    

Mereka berdua terdiam sejenak, memikirkan beban yang ada di hadapan mereka. Udara di ruangan itu terasa berat, seolah-olah kekhawatiran mereka telah mengambil bentuk fisik.

Andi menatap keluar jendela, memandangi kerlip lampu kota Jakarta yang tak pernah tidur, sementara Satrio duduk dengan tangan terkepal di atas meja.

Akhirnya,Andi memecah keheningan, suaranya pelan namun tegas.

"Aku harus kembali ke Reyna,"
katanya.
"Dia butuh aku sekarang."

Satrio mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Andi.
"Baik,"
jawabnya, suaranya sarat dengan pengertian.

"Kami akan terus memberimu informasi terbaru. Jika ada perkembangan penting, aku akan segera menghubungimu."

"Terima kasih, Satrio,"
ucap Andi, menepuk bahu sahabatnya itu.
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."

Satrio tersenyum tipis.
"Kita sudah melewati banyak hal bersama, Andi. Kali ini pun, kita akan menghadapinya bersama-sama."

Andi mengangguk, lalu berbalik menuju pintu. Sebelum ia meraih gagang pintu, Satrio memanggilnya.

"Andi,"
ujarnya,
"hati-hati. Tanaka bukan orang sembarangan."

Andi menoleh, senyum getir terukir di wajahnya.
"Aku tahu. Tapi kali ini, dia sudah melangkah terlalu jauh."

Dengan itu, Andi melangkah keluar, meninggalkan Satrio yang segera bergegas untuk bergabung dengan Bimo dan Joko.

Saat Andi memasuki kamar tempat Reyna beristirahat, ia mendapati putrinya sudah terjaga, duduk bersandar pada kepala ranjang dengan selimut yang masih membalut tubuhnya.

Mata Reyna, yang biasanya berbinar penuh semangat, kini tampak redup, namun ada secercah kekuatan yang mulai tumbuh di baliknya.

"Ayah,"
panggil Reyna, suaranya lirih namun penuh kekhawatiran,
"kau baik-baik saja?"

Andi berusaha tersenyum, meski hatinya masih terasa berat. Ia melangkah mendekati ranjang dan duduk di tepinya, meraih tangan Reyna yang terasa dingin.

"Aku baik-baik saja, sayang,"
jawabnya lembut. "
Bagaimana denganmu?
Sudah merasa lebih baik?"

Reyna mengangguk pelan.
"Ya, sedikit lebih baik. Tapi..."
ia terdiam sejenak, matanya menerawang,
"aku masih merasa takut, Ayah. Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mungkin terjadi kalau kau tidak datang tepat waktu."

Andi meremas tangan putrinya dengan lembut, berusaha menyalurkan kekuatan dan ketenangan.

"Dengar, Reyna,"
ujarnya, menatap dalam-dalam mata putrinya,
"Ayah akan selalu datang untukmu. Itu janji Ayah. Tapi sekarang, kita harus fokus pada apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan."

Reyna balas menatap ayahnya, merasakan kekuatan yang terpancar dari sorot mata Andi.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ayah?"
tanyanya.
"Apa kau akan pergi lagi?"

Andi menghela napas panjang, berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati.

"Aku harus pergi untuk menyelesaikan ini, Reyna,"
jawabnya akhirnya.
"Tapi aku tidak akan pergi sampai aku yakin kau benar-benar aman. Aku akan menemukan tempat yang aman untukmu sementara aku dan teman-temanku menyelesaikan urusan ini."

Kecemasan langsung tergambar jelas di wajah Reyna. "Ayah," ujarnya, suaranya bergetar, "aku tidak ingin kau pergi sendirian. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Andi merangkul putrinya, membiarkan Reyna menyandarkan kepalanya di bahunya.

"Kau tidak akan kehilangan Ayah, Reyna,"
bisiknya lembut.
"Aku berjanji padamu, aku akan memastikan semuanya selesai dengan cepat dan kita bisa kembali hidup normal. Tapi untuk itu, aku perlu kau tetap aman. Bisakah kau melakukan itu untukku?"

Reyna terdiam sejenak, napasnya terasa berat. Akhirnya, ia mengangguk pelan.

"Baik, Ayah,"
ucapnya.
"Aku percaya padamu."

Andi merasakan kelegaan menyelimuti hatinya mendengar kata-kata itu.

"Terima kasih, Reyna,"
ujarnya, mengecup lembut kening putrinya.
"Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita akan melewatinya bersama. Kita selalu berhasil melewati segalanya bersama, bukan?"

Reyna tersenyum lemah.
"Ya, Ayah. Kita pasti bisa."

Beberapa jam kemudian, setelah memastikan Reyna aman di lokasi rahasia, Andi bergabung kembali dengan timnya. Mereka berkumpul di sebuah gudang tua di pinggiran kota, jauh dari jangkauan Tanaka dan anak buahnya.

Bimo, Satrio, dan Joko sudah menunggu, wajah mereka tegang namun penuh tekad.Bimo berdiri di depan sebuah layar besar, tangannya dengan cekatan mengendalikan tampilan peta digital Jakarta.

"Ini adalah titik-titik utama yang kita identifikasi sebagai bagian dari jaringan Tanaka,"
jelasnya, suaranya tegas dan fokus.

"Ada beberapa gudang di pelabuhan, sebuah kompleks apartemen mewah di pusat kota yang digunakan sebagai markas mereka, dan beberapa lokasi lain yang tersebar di sekitar Jakarta."

Satrio, yang berdiri di samping Bimo, menambahkan,

"Kita perlu menyerang dengan strategi yang matang. Tanaka punya banyak orang, dan mereka tidak akan segan-segan untuk menggunakan kekerasan jika terpojok. Kita harus memastikan setiap langkah kita terkoordinasi dengan baik."

Andi mengangguk, matanya menyapu seluruh ruangan, menatap satu per satu rekan-rekannya.

"Kita perlu membagi tugas,"
ujarnya tegas.

"Satu tim fokus pada pengumpulan bukti kejahatan mereka, sementara tim lain fokus pada menyerang titik-titik kelemahan mereka. Kita harus memotong kepala ular ini sekaligus."

Joko, yang biasanya tenang, kini tampak lebih tegas dari biasanya. Ia melangkah maju, matanya berkilat penuh tekad.

"Aku akan memimpin tim untuk menyerang gudang di pelabuhan," katanya mantap.
"Itu adalah titik distribusi utama mereka. Jika kita bisa menghancurkannya, kita akan memotong salah satu sumber daya terbesar mereka."

"Bagus,"
sahut Andi.
"Sementara itu, aku akan memimpin serangan ke markas pusat mereka di apartemen mewah. Di sanalah Tanaka kemungkinan besar bersembunyi. Kita harus membuatnya keluar dari persembunyiannya."

Bimo, yang masih berdiri di depan layar, angkat bicara.

"Aku akan tetap di markas untuk mengoordinasikan serangan dan memberikan dukungan teknis,"
ujarnya.

"Aku juga akan mencoba mematikan sistem keamanan mereka untuk memberi kita keuntungan. Dengan akses yang kumiliki, aku yakin bisa membuat mereka kebingungan setidaknya selama beberapa menit krusial."

Satrio, yang sejak tadi diam mendengarkan, akhirnya membuka suara.

"Dan aku akan mengurus pengalihan perhatian,"
katanya, seringai tipis muncul di wajahnya.

"Kita butuh sesuatu yang besar untuk memastikan mereka tidak fokus pada serangan utama kita. Aku akan mengatur ledakan yang terkendali di beberapa lokasi strategis untuk mengalihkan perhatian mereka. Mereka tidak akan tahu apa yang menghantam mereka."

Andi menatap satu per satu anggota timnya, merasakan tekad yang sama terpancar dari mata mereka. Ini bukan lagi tentang misi biasa.

Ini adalah pertarungan untuk mengakhiri sebuah era kejahatan yang telah terlalu lama mencengkeram kota mereka.

"Baiklah,"
ujar Andi, suaranya penuh keyakinan.
"Mari kita mulai. Untuk Reyna, untuk semua korban Tanaka, dan untuk masa depan yang lebih baik."

Dengan anggukan mantap dari semua anggota tim, mereka pun bergerak. Malam itu, di bawah langit Jakarta yang kelam, sebuah pertempuran besar akan dimulai. Pertempuran yang akan menentukan nasib bukan hanya mereka, tapi juga seluruh kota.

PenerorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang