Bab 14

1 1 0
                                    

Andi menarik napas dalam-dalam, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Dia menoleh ke arah Satrio, tatapannya tajam dan penuh tekad.

"Bawa dia,"
perintah Andi dengan nada tegas yang tak terbantahkan.
"Kita akan membuatnya berbicara di tempat yang lebih... pribadi."

Satrio mengangguk, seringai tipis muncul di wajahnya.
"Dengan senang hati, bos,"
jawabnya, lalu berpaling ke Tanaka yang masih tergeletak di lantai.

Dengan kasar, dia mencengkeram kerah Tanaka dan menariknya berdiri.

"Ayo, tuan besar,"
kata Satrio, suaranya penuh ejekan.
"Kita punya suite mewah yang sudah menunggumu."

Tanaka, masih terengah-engah dan meringis kesakitan, mencoba memberontak.
"Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"
serunya, suaranya serak dan penuh amarah.
"Aku punya koneksi! Kalian akan menyesal—"

"Oh, diamlah,"
potong Andi, matanya berkilat berbahaya.
"Simpan saja omong kosongmu itu untuk nanti. Kau akan butuh banyak energi."

Dengan Tanaka yang kini berada di bawah kendali mereka, Andi, Satrio, dan tim lainnya bergerak cepat keluar dari ruangan. Mereka menyusuri koridor dengan waspada, adrenalin mengalir deras di pembuluh darah mereka.

"Bimo,"
bisik Andi melalui earpiece-nya.
"Bagaimana situasinya?"

Suara Bimo terdengar tegang melalui komunikator.
"Sejauh ini bersih, bos. Tapi aku melihat beberapa penjaga mulai bergerak ke arah kalian. Kalian punya waktu sekitar tiga menit sebelum mereka sampai di lantai kalian."

"Dimengerti,"
balas Andi. Dia menoleh ke timnya.
"Dengar, kita punya tiga menit. Bergerak cepat, tapi tetap waspada."

Mereka mempercepat langkah, dengan Tanaka yang terus meronta di cengkeraman Satrio. Saat mereka tiba di lift, suara derap langkah terdengar dari kejauhan.

"Sial,"
desis Satrio.
"Mereka datang lebih cepat dari yang kita kira."

Andi menekan tombol lift dengan tidak sabar.
"Bimo, kau bisa mempercepat liftnya?"

"Sedang kukerjakan, bos,"
jawab Bimo. "Tapi ini akan menarik perhatian.
Bersiaplah."

Pintu lift terbuka dengan suara 'ding' yang terdengar terlalu keras di tengah ketegangan. Mereka bergegas masuk, dan tepat saat pintu tertutup, sekelompok penjaga muncul di ujung koridor.

"Tembak!"
teriak salah satu penjaga.

Suara tembakan memenuhi udara, peluru-peluru menghantam pintu lift yang sudah tertutup. Di dalam lift, Andi dan timnya menunduk, sementara Tanaka meringkuk ketakutan di sudut.

"Wow, sepertinya kau memang populer, Tanaka,"
ejek Satrio, napasnya terengah.
"Sayang sekali, kami tidak berniat untuk berbagi."

Lift bergerak turun dengan kecepatan yang tidak normal, membuat perut mereka seolah melayang. Saat tiba di lobi, Bimo kembali memberikan kabar terbaru.

"Aku sudah mematikan sistem cadangan di pintu keluar utama. Kalian bisa keluar tanpa ada alarm yang berbunyi, tapi cepatlah. Aku hanya bisa menahan mereka selama beberapa detik lagi."

"Kerja bagus, Bimo,"
puji Andi. Dia menoleh ke timnya.
"Ini dia. Begitu pintu terbuka, kita lari. Jangan berhenti, jangan menoleh. Mengerti?"

Semua mengangguk, wajah mereka tegang namun penuh tekad.
Pintu lift terbuka, dan mereka bergegas keluar. Lobi hotel yang mewah kini terasa seperti zona perang. Mereka berlari melintasi karpet merah, melewati meja resepsionis yang kosong, menuju pintu utama.

"Mereka lolos!"
teriak seseorang dari belakang mereka.

Suara tembakan kembali terdengar, peluru-peluru menghantam pilar dan dinding di sekitar mereka.

PenerorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang