6. Ilusi

126 9 9
                                    

"Mungkin, sesuatu yang sama namun berbeda."
.
.
.
.
⚔️⚔️

Sejati nya, manusia hidup bersama sesuatu yang terus melangkah tanpa lelah mengikutinya.

Deru mobil berwarna hitam dan merah itu perlahan mengecil. Memasuki gerbang yang terbuka lebar di rumah dua lantai yang sederhana. Sang pengemudi melirik sesaat kebelakang, tempat dua penumpang yang asik berbincang entah apa. Dia lalu melirik sosok pemuda disebelahnya. Namun hanya di balas gelengan.

Mobil pun berhenti di garasi rumah. Terparkir langsung dengan sempurna. Setelah mesin mati segera satu persatu keluar.

"Ahh.. pengen langsung turu aja. Mana besok sekolah." Pemuda dengan manik biru itu nampak menguap lebar. Dia mengacak surai pirangnya semakin acak. Namun pandangannya lalu jatuh pada sosok yang duduk dengan tenang di teras samping.

Maniknya memicing, melihat sosok dibawah lampu teras yang redup tersebut.

"Tadi katanya lapar? Ali sudah beli makan loh." Kiki yang berdiri disebelahnya bersuara. Dia baru saja melihat pesan dari Ali yang katanya tengah perjalan pulang.

Namun Leo tidak membalas. Dia memeluk pundak pemuda berdarah campuran Arab itu dengan brutal.

"Kenapa Leo?" Kiki tidak menepis walau risih. Dia hanya menatap kalem walau heran.

Leo menunjuk apa yang dia lihat, membuat pemuda itu langsung melihatnya. Detik itu juga bibirnya terkatup rapat. Tidak bicara apapun dengan wajah masam.

"Mas, sudah lama nunggu?" Axel berjalan mendekat sosok tersebut. Diikuti Darka yang langsung bersalaman.

Lelaki itu tersenyum tipis, "tidak, gimana? Menang?" Sosoknya beralih menatap Darka.

Dengan wajah datar andalannya pemuda itu menggeleng. Membuat bahunya ditepuk pelan. "Belum rejeki."

"Ayo Mas, masuk. Pasti dingin diluar." Axel membuka pintu samping. Memperlihatkan lelaki tersebut masuk. Diikuti Darka.

Meninggalkan Leo dan Kiki di luar. Pemuda bermata biru itu menipiskan bibir menahan tawa. "Hayolo.. Masnya datang. Marah tuh, hayo.." dia terkikik geli melihat manik coklat pemuda itu menatap sinis. Tidak seperti Kiki yang kalem. Nyatanya dia tengah di uji.

Kiki menghembuskan nafasnya panjang. Menyiapkan mentalnya, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Leo menahan senyumnya karena membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Dia sangat tidak sabar.

Ruang keluarga kini hening dan kaku. Para pemuda itu tidak bersuara. Menatap lelaki dan satu pemuda yang sejak tadi diam menunduk bergantian.

"Kenapa tidak pernah menjawab telepon? Abi dan Umi khawatir sama kamu." Suaranya terdengar tenang, tapi penuh akan tekanan. Marah dan khawatir.

"Maaf, besok Minggu Kiki niat pulang ke pondok." Balasan sosok yang sejak tadi diam tersebut.

"Mas tunggu."

Lelaki berusia 22 tahun itu tidak lain Kakak Kiki. Bernama Muhammad Alif Al-isyad, kerap di panggil Mas Alif atau Gus Alif. Sekarang dia tengah mengabdi pada pesantren milik orang tuanya. Mulai belajar untuk mengambil alih.

Eléftheros || On goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang