TLS [19] : White Rabbit

1.3K 92 39
                                    

Hallo, Jusmine kembali dgn Ran Dan Vior!

Test, test, test, satu, dua tiga? mana suara?!💬

Huhu, Ran dan Vior akhirnya kembali lagi. Setelah 1 minggu lebih gak update tentang mereka, akhirnya kembali lagi.

Semoga kalian tetap mengawal cerita ini sampai selesai yaa. Nikmatin alurnya, okay!

200 komen? Bisa gak ya, untuk next?

Happy Reading, Reds!💖

[Bagian Sembilan Belas]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Bagian Sembilan Belas]

"Semakin dekat seseorang, semakin dalam luka yang bisa mereka torehkan."

****

Vior duduk bersandar di ranjang, tubuhnya yang lemah ditopang oleh tumpukan bantal. Wajahnya masih pucat, dengan jejak air mata yang belum sepenuhnya mengering di pipinya. Matanya yang biasanya berbinar penuh percaya diri kini redup, menyiratkan kelelahan fisik dan mental yang mendalam.

Ran duduk di kursi di samping ranjang, punggungnya tegak dan tegang. Matanya yang tajam tak lepas dari sosok Vior, seolah takut gadis itu akan menghilang jika ia berkedip. Di tangannya ada sebungkus makanan yang ia bawa dari kafetaria rumah sakit.

"Lo harus makan," ujar Ran, suaranya dalam dan berat.

Vior hanya melirik sekilas, lalu memalingkan wajahnya. "Gue gak laper," jawabnya dingin.

Ran menghela napas panjang. "Vior, please. Lo butuh nutrisi. Demi..." Ia terdiam sejenak, ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Demi bayi kita."

Mendengar kata 'bayi', tubuh Vior menegang. Ia menoleh cepat ke arah Ran, matanya berkilat penuh amarah. "Jangan pernah sebut itu lagi," desisnya.

"Tapi itu kenyataan," Ran berusaha membujuk, meski nada suaranya mulai terdengar frustrasi. "Lo gak bisa menghindar terus. Kita harus hadapin ini."

"Kita?" Vior tertawa getir. "There's no 'kita', Ran."

Ran mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan emosi yang bergejolak. Ia tak pernah merasa sefrustasi ini sebelumnya. Biasanya, ia selalu bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah. Tapi Vior... gadis ini benar-benar menguji kesabarannya.

"Gue gak suka dibantah, Vior," ujar Ran akhirnya, suaranya rendah dan mengancam. "Lo harus makan. Sekarang."

Vior menatap Ran tanpa gentar. "Dan gue gak suka dipaksa," balasnya tajam.

Di sudut ruangan, Naya dan Garis duduk tegang di sofa. Mereka saling bertukar pandang cemas, tak tahu harus berbuat apa. Atmosfer di ruangan itu terasa begitu berat, seolah ada badai yang siap meledak kapan saja.

The Love SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang