BAB 1

41 19 13
                                    

"Kalung misterius bersama dengan pergelutan ingatan yang samar"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kalung misterius bersama dengan pergelutan ingatan yang samar"

***

Sejak kecil, mimpi-mimpi aneh terus menghantui tidurku. Bukan sekadar mimpi, melainkan potongan-potongan ingatan yang terasa begitu nyata. Aku seperti sedang menonton film tentang kehidupan orang lain. Bahkan saat sedang sarapan sederhana dengan nasi dan telur ceplok, bayangan sebuah pesta mewah tiba-tiba muncul di benakku.

Meja makan yang penuh hidangan lezat, tawa riang, dan wajah-wajah asing yang seolah sangat aku kenal. Kejadian itu terasa begitu nyata, padahal logikaku mengatakan itu tidak mungkin.

Ayahku, seorang pekerja keras yang tenggelam dalam dunianya sendiri, tak pernah benar-benar mengerti kegelisahan yang menggerogoti hatiku. Kepergian Ibu sejak kelahiranku telah meninggalkan bekas luka yang mendalam. Keheningan di rumah kami bagai dinding tebal yang memisahkan.

"Ayah berangkat," ucapnya singkat, suara itu membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk lesu, terlalu malas untuk memulai percakapan. Menghela napas panjang, aku merasa lelah dengan hidup yang terasa begitu monoton.

Setelah menghabiskan sarapan, aku mencuci piring dan kembali ke ruang tamu, duduk di sofa lalu menyalakan televisi. Jarum jam menunjukkan pukul 6:40 pagi.

Sebagai lulusan SMA yang baru saja menyelesaikan ujian, aku tak memiliki kegiatan yang berarti. Rencana masa depan terasa kabur, dan aku terlalu malas untuk memikirkannya.

Ayahku tidak pernah memaksaku untuk melakukan apapun. Kebebasan yang ia berikan justru membuatku merasa hampa. Aku mengerti alasan di balik sikapnya yang dingin. Ibuku, cinta pertama dan terakhirnya, meninggal saat melahirkan aku.

Rasa kehilangan yang mendalam pasti masih menghantui hati Ayah. Aku sering membayangkan bagaimana jadinya jika Ibu masih ada. Apakah rumah ini akan terasa sesunyi ini? Apakah aku akan memiliki semangat untuk meraih cita-cita?

Guru BK di sekolah terus menanyakan masa depanku, tapi aku selalu menjawab dengan, “Tidak tahu.” Seolah hidupku bagai kapal tanpa kompas, tanpa tujuan yang jelas.

Mimpi-mimpi aneh yang terus menghantuiku membuatku semakin terisolasi. Saat mencoba menceritakannya pada teman, mereka malah menganggap ku aneh dan mulai menjauhiku.

Mereka berpikir aku berpura-pura menjadi seorang putri atau sesuatu yang berlebihan. Padahal, aku hanya ingin berbagi dan mencari seseorang yang bisa memahami ku.

Bosan dengan pikiran yang kacau, aku mematikan televisi. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Aku mengernyit heran, siapa yang datang jam segini? Dengan malas, aku berjalan menuju pintu dan membukanya.

Seorang cowok agak kurusan, mungkin seumuran aku, berdiri di depan pintu sambil membawa dus. "Paket," ujarnya.

"Hah? Paket? Tapi aku nggak pesen apa-apa," kataku bingung. Aku hendak menutup pintu, tapi dia menahannya. "Aku gak pesen. Mungkin mas nya salah alamat," kataku lagi.

"Mungkin keluarganya yang pesen? Adik, kakak, atau orang tua?" tanyanya sambil menyodorkan dus itu.

"Nggak." jawabku tegas.

Aku yakin Ayah tidak akan memesan sesuatu secara online. Lagipula, siapa yang mau mengirim paket ke rumah sepi begini? Aku hendak kembali ke sofa, tapi cowok itu terus menggedor-gedor pintu. "Mbak, ini harus diambil. Udah sesuai alamat kok," pintanya lagi.

Kesal, aku kembali membuka pintu. "Ya udah, sini aja dusnya," kataku kesal. Cowok itu menghela napas. "Ya udah, tapi harus tanda tangan dulu," katanya sambil mengeluarkan kertas dan pulpen.

Aku buru-buru tanda tangan, lalu mengambil dus itu dan membanting pintu dengan keras. Suara protes dari kurir terdengar samar dari balik pintu, "Serem amat," ujarnya. Aku mengabaikannya dan membanting kardus itu ke lantai.

Dengan wajah datar, aku membuka lakban yang merekatkan kardus. Di dalamnya, tergeletak sebuah kotak kecil berwarna hitam. Penasaran, aku membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah kalung perak yang cukup menarik. Bandul kalung itu berbentuk bulan sabit, dengan batu berwarna biru tua di tengahnya.

Aku memutar-mutar kalung itu di jari. "Kalung, dari siapa?" gumamku acuh tak acuh. Tapi, ada sesuatu yang aneh dengan batu birunya. Cahayanya berkilau misterius saat terkena sorot matahari.

Tiba-tiba, sebuah ingatan samar muncul di benakku. Seorang pria bermata biru, dengan lembut, berkata, "Karya seni ini kupersembahkan khusus untukmu. Perhatikanlah batu permata yang berkilau ini, warnanya bagai cerminan mata yang selalu menatapmu. Semoga perhiasan ini menjadi pengingat abadi akan kehadiranku." Aku seolah merasakan sentuhan lembutnya saat ia memakaikan kalung ini.

Pusing seketika menyeruak. Aku menggosok pelipisku. "Aneh, apa lagi sih ini?" gumamku. Aku mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan beranjak ke kamarku.

Aku meletakkan kalung itu di sudut laci paling dalam, seolah ingin melupakannya sejenak. Namun, rasa penasaran terus membayangi pikiran. Aku perlu waktu untuk mencerna semuanya.

Dengan tubuh lelah, aku membanting diri ke kasur. Cahaya matahari pagi menyinari kamar, menciptakan pola-pola menarik di dinding. Aku memejamkan mata, membayangkan diriku berada di pantai, merasakan pasir lembut di bawah kaki dan suara ombak yang menenangkan. Namun, bayangan kalung itu terus muncul, mengganggu ketenanganku.

Aku menghela napas panjang. Rutinitas yang monoton membuatku bosan. Hari-hariku terasa seperti lingkaran tak berujung. Bangun tidur, membersihkan rumah, makan, tidur. Dan begitu seterusnya. Aku butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membangkitkan semangatku.

Dengan berat hati, aku bangkit dari kasur. Mungkin berjalan-jalan sebentar bisa membuatku merasa lebih baik.

Bersambung..

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
UDUMBARA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang