"Pembagian raport kelulusan yang mendebarkan"
***
Cahaya panggung yang meredup menciptakan suasana syahdu di aula sekolah yang penuh sesak. Dekorasi bernuansa biru muda dan putih, warna khas sekolah, menghiasi panggung megah.
Balon-balon menggantung membentuk angka "XII" sebagai simbol kelulusan. Setiap sudut aula terasa hangat, dipenuhi aroma bunga melati yang harum semerbak.
Aku mengamati wajah-wajah siswa yang duduk berbaris rapi di kursi penonton. Ada yang terlihat gugup, ada yang sumringah, dan ada pula yang sibuk bermain ponsel.
Sorot mata mereka berkilau saat lampu sorot menyinari panggung. Ekspresi wajah para orang tua tak kalah menarik, penuh rasa bangga dan haru. Beberapa di antara mereka bahkan tak kuasa menahan air mata.
Suara MC yang merdu membuai pendengaran, membawaku pada kilas balik masa-masa sekolah. Ingatan tentang perlombaan sains kembali menghantui pikiranku. Dulu, aku dipaksa mengikuti berbagai olimpiade oleh wali kelas.
Jam demi jam kuhabiskan untuk belajar, menghafal rumus-rumus kimia yang rumit, dan mengerjakan soal-soal olimpiade yang menantang. Namun, di balik semua itu, ada rasa bosan yang mendalam. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca novel, mendengarkan musik, atau sekadar melamun di bawah pohon rindang sekolah.
Saat namaku dipanggil, "Celine Dumara", jantungku berdebar kencang. Aku merasa seperti sedang dalam mimpi. Ayahku yang duduk di sebelahku terlihat terkejut.
Tentu saja, karena Ayah memang lebih fokus pada pekerjaannya. Ia jarang sekali menanyakan tentang kegiatan sekolahku. Sehingga dia tidak pernah tau aku sempat ikut olimpiade, dan memang aku juga tidak pernah bercerita apapun tentang kegiatan di sekolah kepadanya
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju panggung. Semua mata tertuju padaku. Aku merasa sangat kecil dan tak berarti di tengah sorotan lampu yang menyilaukan. Saat menerima penghargaan, tangan ku gemetar hebat. Aku berusaha tersenyum, namun yang keluar hanyalah ekspresi kaku.
Di balik senyuman dan tepuk tangan meriah, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Aku meraih sebuah pencapaian, namun rasanya hampa.
Aku menelusuri kerumunan siswa yang riuh, mataku tak sengaja menangkap sosok yang familiar. Degup jantungku melonjak saat menyadari siapa itu.
Tukang paket itu! Orang yang mengantarkan kalung misterius beberapa minggu lalu. Apa yang dia lakukan di sini? Di acara pembagian rapor sekolahku? Dunia ini terasa semakin kecil dan aneh.
Tatapannya langsung bertemu dengan tatapanku. Matanya yang gelap itu seolah menembusku, mencari tahu apa yang sedang kupikirkan.
Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Ingatan tentang pertemuan pertama kami kembali menyeruak. Saat itu, aku begitu ketus dan kasar padanya. Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih atas paketnya.
Semakin lama kuamati wajahnya, semakin kuat perasaan aneh ini. Dejavu yang kurasakan semakin jelas. Rasanya aku pernah melihat wajah ini sebelumnya, di tempat yang berbeda, dan waktu yang berbeda. Apakah ini hanya imajinasi belaka, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan?
Kalung misterius itu kembali teringat di benakku. Kalung perak dengan liontin berbentuk bulan sabit yang bersinar aneh di bawah cahaya lampu. Aku masih ingat bagaimana perasaan penasaran dan sedikit takut saat pertama kali melihatnya. Ada sesuatu yang istimewa tentang kalung itu, sesuatu yang membuatku merasa terhubung dengannya.
Aku ingin sekali menghampirinya dan bertanya tentang semua ini. Mungkin dia bisa menjelaskan kenapa dia ada di sini dan apa hubungannya dengan kalung itu. Tapi aku ragu. Bagaimana jika dia tidak percaya denganku? Bagaimana jika dia menganggapku gila?
Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalaku, membuatku merasa pusing dan bingung. Aku ingin mencari jawaban, tapi takut akan konsekuensinya. Aku merasa terjebak dalam sebuah misteri yang semakin dalam.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut hebat, ingatan asing itu kembali muncul di saat ini. Aula yang sama ramai, terlihat samar tapi lebih megah dan meriah dari aula sekolah ini. Aku memegang kepalaku, tidak! Ini rasanya sangat berdenyut dan sakit sekali dari biasanya, aku meremas rambutku.
Orang-orang jadi terlihat samar, digantikan ingatan misterius yang melintas di hadapanku. Dalam ingatan itu aku mengenakan dress putih yang sangat mewah, yang terasa begitu berat, apa? Apa ini pernikahan? Apa ini?
"Colette Charleston, apakah Anda bersedia menikah dengan ..." Suara itu nampak samar sehingga aku tidak jelas mendengar apa.
Aku merasakan sebuah cincin dingin melingkar di jari manisku. Sebuah tangan hangat menggenggam tanganku, dan bibir lembut mencium punggung tanganku. Bibir lembut itu menyentuh kulitku, meninggalkan bekas hangat. Hatiku berdebar kencang, dipenuhi euforia yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Namun, kebahagiaan itu bagai fatamorgana. Sebuah nyeri menusuk dadaku, terasa seperti ribuan jarum menusukku sekaligus. Aku meringis kesakitan, tangan kiriku refleks memegangi dada kiriku. Saat kulihat ke bawah, aku melihat noda merah darah yang semakin melebar membasahi gaun putihku.
Napasku tersenggal-senggal, pandangan mulai kabur. Ingatan itu perlahan memudar, digantikan oleh suara-suara samar dan wajah-wajah yang terlihat khawatir. Aku berusaha berpegangan pada kenyataan, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar, tapi kegelapan menelan seluruh indera. Dan dalam kegelapan itu, aku tenggelam hingga akhirnya gelap benar-benar menyelimutiku.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
UDUMBARA [Hiatus]
Kort verhaalCeline Dumara, sejak kecil dihantui oleh bayang-bayang ingatan yang terasa begitu nyata. Seakan-akan ia pernah hidup di masa lampau. Setiap kali mencoba berbagi, ceritanya selalu dianggap khayalan belaka. Dijauhi dan diisolasi, Celine merasa kesepia...