BAB 4

32 17 9
                                    

"Perasaan rindu"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Perasaan rindu"

***

Celine mengerjap pelan, berusaha mengusir kantuk yang masih menyelimuti. Tubuhnya terasa kaku karena tidur di sofa. Saat membuka mata, ia menyadari bahwa hari sudah semakin larut. Kegelapan menyelimuti seluruh ruangan itu.

Dengan langkah gontai, Celine menuju sakelar lampu. "Ayah ke mana, ya?" gumamnya dalam hati. Belum sempat ia menyalakan lampu, perutnya sudah bersuara nyaring, menuntut untuk segera diisi.

Celine berjalan ke arah dapur. Dengan perasaan kecewa, Celine membuka kulkas. Isinya? Hanya beberapa butir telur dan air putih dingin. "Ah, telur lagi, telur lagi." keluhnya pelan.

Menutup pintu kulkas dengan kuat, Celine duduk di meja makan. Pandangannya kosong, tertuju pada meja yang kosong. Tiba-tiba, suara pintu depan membuyarkan lamunannya. "Ayah?" gumamnya, berharap itu benar-benar ayahnya.

Dugaannya benar. Ayahnya baru saja masuk. "Ayah dari mana?" tanya Celine, suaranya sedikit bergetar. Ayahnya menatapnya sejenak, lalu menjawab, "Dari sana." Celine mengerti. Ayahnya baru saja mengunjungi makam Ibu.

"Sudah makan?" tanya ayahnya lembut. Celine menggeleng. "Ayah bawa burger. Teman ayah kasih," ujarnya sambil menyerahkan kantong kertas itu. Celine tersenyum tipis, menerima uluran ayahnya.

Celine kembali ke dapur dan duduk di kursi meja makan, melahap burger pemberian ayahnya. Air mata menetes tanpa sadar, membasahi ingatan manis tentang masa lalunya.

Ini adalah kenangan murni, jauh dari bayang-bayang samar yang sering menghantuinya.

Flashback

Selama enam tahun pertama hidupnya, Celine dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh sang nenek.

Kata pertama yang diucapkan Celine saat berusia 18 bulan adalah "nenek". Senyum lebar merekah di wajah neneknya, satu-satunya pendengar setia cerita-cerita Celine.

Namun, seiring bertambahnya usia, perilaku Celine mulai menyimpang dari anak-anak seusianya. Ia sering bercerita tentang hal-hal aneh, seperti memiliki anjing peliharaan bernama Soza yang tewas mengenaskan tertusuk anak panah, atau mengklaim dirinya sebagai seorang putri dengan pengasuh bernama Anna.

Perilaku Celine yang berbeda membuat anak-anak lain menjauhinya. Bahkan orang tua mereka pun enggan membiarkan anak-anak mereka berteman dengan Celine.

Ditolak dan dijauhi membuat Celine menjadi pendiam dan menarik diri. Ia bahkan sempat menolak makan berhari-hari. Hingga pada suatu hari, ayahnya datang menjenguk membawa burger daging sapi.

Awalnya Celine ragu, tapi godaan sang ayah yang pura-pura memakan burger itu membuatnya penasaran untuk mencoba. Gigitan pertama pada burger itu membuatnya ketagihan, selain itu perasaan hangat menyelimuti tubuhnya setiap ia menggigit burger. Itu adalah pertama kalinya Celine mencicipi burger. Sejak saat itu, burger menjadi makanan favoritnya.

Flashback end.

***

Celine menghela napas panjang, perutnya kenyang. Keheningan malam menyelimuti rumah tua itu. Jam dinding antik di ruang tengah berdetak pelan, menandai pukul tujuh malam. Ia membereskan dapur lalu menuju kamarnya.

Perasaan aneh menyeruak. Sejak sore tadi ia tidur pulas, membuat waktu terasa berputar begitu cepat. Di depan cermin kamarnya itu, Celine menatap refleksi dirinya. Mata hazel nya itu berkilau dalam cahaya lampu kamar. "Aku cantik," gumamnya, tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pipinya yang lembut.

Pandangannya tertuju pada rambut panjang berwarna cokelat umber itu. "Apa aku potong rambut aja ya?" gumamnya lagi, jari-jarinya bermain-main dengan ujung rambut yang panjangnya sebahu.

Namun, niatnya urung. setelah melihat foto sang ibu di meja, yang memiliki rambut panjang berkilau yang cantik terurai. Celine lebih memilih untuk merawat rambut panjangnya itu.

Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Sejurus kemudian, ia kembali ke kamar dan mulai merapikan diri. Sambil mengoleskan pelembab ke wajahnya, ia mencari sisir di laci nakas. "Mana ya?" gumamnya kesal.

Alih-alih menemukan sisir yang dicari, jemarinya bersentuhan dengan sebuah kalung perak yang tersembunyi di sudut laci paling dalam. Celine mengamati kalung itu dengan seksama, cahaya rembulan yang menembus jendela kamarnya memantulkan kilauan indah pada perhiasan tersebut.

Dengan hati-hati, ia membawa kalung itu dan mengetuk pintu kamar tengah. Ayahnya membukakan pintu. "Ada apa?" tanyanya.

"Ayah, tadi pagi ada paket isinya kalung ini. Aku pikir ada orang yang cuma iseng, tapi kalung ini tampak terlalu berharga. Apa ini punya Ayah?" tanya Celine sambil menyerahkan kalung perak dengan bandul berbentuk bulan sabit yang dihiasi batu berwarna biru tua yang bercahaya di tengahnya.

Sang ayah menerima kalung itu dan memeriksanya dengan teliti. "Bukan, ini bukan punya ayah," jawabnya. "Coba lihat kardus paketnya, mungkin ada alamat pengirim."

Celine menggelengkan kepala. "Gak ada, Ayah. Cuma ada alamat rumah kita. Aku juga udah tanya ke kurir paketnya tadi, tapi dia juga ngga tau identitas pengirimnya."

"Yaudah, simpan aja dulu," ujar sang ayah. Celine mengangguk dan kembali ke kamarnya.

Dalam benaknya, Celine merenungkan, 'Mungkinkah kalung ini memiliki kaitan dengan ingatan samar yang sering menghantuinya?'

Bersambung..

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
UDUMBARA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang