"Teman pertamaku?"***
Dingin malam semakin menusuk, namun Celine masih setia menunggu di bangku taman. Faja telah memintanya menunggu, tapi entah ke mana pemuda itu pergi.
Sebelumnya, mereka larut dalam obrolan yang hangat. Faja mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa mereka ternyata satu sekolah selama tiga tahun! Celine sangat terkejut karena sama sekali tidak menyadari keberadaan Faja.
Ternyata, Faja sibuk bekerja setelah pulang sekolah, sehingga jarang terlihat di lingkungan sekolah. Sementara itu, Celine lebih suka menyendiri dan tidak memiliki banyak teman.
Karena kesibukan dan sifat mereka yang berbeda, keduanya seperti dua garis sejajar yang tak pernah bersinggungan.
Waktu terasa berjalan begitu lambat saat Celine menunggu Faja. Malam semakin larut, dan rasa bosan mulai menyergapnya. Ia hampir saja memutuskan untuk pulang ketika Faja akhirnya muncul.
"Maaf bikin kamu lama nunggunya," ujar Faja sambil membawa kantong keresek dari minimarket. "Kamu dari mana sih? Ini udah malam banget tau. Nanti Ayah aku bisa khawatir kalau tau aku keluar malam.. mungkin.."
"Mungkin?" sahut Faja, lalu mengajak Celine duduk kembali di bangku taman. "Sini bentar, nanti aku antar pulang. Tenang aja, aman kok!"
Celine menghela napas dan menurut. Saat Faja mengeluarkan air mineral, tisu basah, dan sepasang sandal berbentuk kodok dari kantung kresek itu, alis Celine bertaut heran.
"Mau ngapain?" tanya Celine. Sebelum sempat menjawab, Faja sudah berjongkok di hadapan Celine dan mengangkat kaki kanannya. "Eh, ngapain sih?" protes Celine.
Tanpa menghiraukan protes Celine, Faja mulai membersihkan kaki Celine yang kotor dengan tisu basah. "Ih gausah deh! Biarin aja," kata Celine, namun Faja terus melanjutkan pekerjaannya.
Setelah selesai dengan kaki kanan, Faja beralih ke kaki kiri. Namun, kali ini Celine menarik kakinya. "Stop! Udah, biar aku aja," kata Celine sambil merebut tisu basah dari tangan Faja. Setelah selesai, ia mengucapkan terima kasih pada Faja.
Faja kemudian menyerahkan sepasang sandal kodok berwarna hijau pada Celine. Celine mencoba memakainya, "Nyaman, kan?" tanya Faja sambil tersenyum. Celine mengangguk. "Yuk, aku antar pulang," ajak Faja.
Mereka berjalan beriringan di bawah langit malam yang dingin dan sunyi. "Oh ya, aku baru ingat, kamu dari mana sih malam-malam begini keluyuran di taman, gak pake alas kaki lagi?" tanya Faja penasaran.
Celine terkekeh geli. "Baru sekarang nanya?" ledeknya. "Iya, tadi kan aku langsung curhat. Jadinya kita malah asyik ngobrolin masa sekolah," balas Faja.
"Jadi, kamu dari mana?" tanya Faja lagi, sedikit mendesak Celine.
"Kepo banget sih," jawab Celine sambil menahan tawa.Mereka terus bercanda gurau sambil berjalan di jalanan yang masih basah. Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Celine. Dari kejauhan, Celine melihat sosok familiar berdiri di depan pagar.
"Ayah?" gumam Celine. Hatinya berdebar kencang. Semakin dekat, ia semakin yakin bahwa itu benar-benar ayahnya. Wajah ayahnya terlihat khawatir.
"Celine, kamu dari mana aja?" tanya ayahnya, lalu menoleh ke arah Faja. "Kamu siapa?" tanyanya lagi, nada suaranya sedikit dingin.
Faja hendak menjawab, "Umm... saya—"
"Pacar aku," potong Celine cepat."HAH?!" Faja menatapnya dengan sangat terkejut, begitu pula ayah Celine yang tak kalah terkejut dari Faja.
"Pacar? Kamu punya pacar, Celine?" tanya ayahnya tak percaya. "Sejak kapan? Kamu gak pernah cerita ke ayah."
"Udah lama kok, iya kan, Faja?" Celine menatap manik mata Faja penuh harap, berharap Faja membenarkan ucapannya.
Faja hanya bisa mengangguk kaku, masih syok dengan kebohongan Celine. "Yaudah, kamu pulang gih. Ini udah malam banget," ucap Celine sambil mendorong paksa Faja. "Makasih ya, buat hari ini. Bye!"
Faja pergi dengan langkah gontai, sesekali menoleh ke belakang. Celine masuk ke rumah, meninggalkan Ayah yang masih berdiri di depan pagar. "Aku masuk ya," ucap Celine pada ayahnya.
Ketika keduanya sudah berada di dalam rumah, "Celine," panggil ayahnya, suaranya serius. "Ayah enggak lihat kamu keluar rumah. Kamu pergi lewat mana? Kamu tiba-tiba hilang dari kamar."
Celine terdiam. "Aku lewat pintu kok, Yah. Ayah aja yang enggak lihat," bohongnya lagi.
"Dari terakhir kita ngobrol di ruang tamu, kamu minta kasih waktu buat berpikir, terus kamu masuk kamar. Ayah enggak beranjak ke mana-mana dari saat itu. Ayah di ruang tamu sampe ayah panggil-panggil kamu dan kamu enggak ada," jelas ayahnya.
Celine tertegun, bingung harus menjawab apa. Bagaimana mungkin ayahnya akan percaya dengan cerita tentang teleportasi ke rumah mewah milik seorang pria aneh bernama Gerland? Itu terdengar seperti dongeng.
Bahkan Celine sendiri masih merasa kejadian itu seperti mimpi. Namun, ia berusaha jujur. "Yah, Ayah percaya sihir enggak?" tanyanya, mencoba memulai penjelasan.
Ayahnya menghela napas berat. "Celine, jangan mengalihkan pembicaraan. Ayah lagi serius ini."
"Aku juga serius, Yah," tegas Celine. "Kalau Ayah enggak percaya sama sekali, buat apa aku lanjut jelasin?"
"Sudahlah, sana mandi dan istirahat. Ini sudah malam," ucap ayahnya, mengakhiri percakapan. Celine menatap ayahnya kecewa, matanya berkaca-kaca.
"Kapan Ayah bisa percaya sama aku?" lirihnya, lalu berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu dengan pelan, berusaha tidak menampilkan emosinya.
Bersambung ..
KAMU SEDANG MEMBACA
UDUMBARA [Hiatus]
Kısa HikayeCeline Dumara, sejak kecil dihantui oleh bayang-bayang ingatan yang terasa begitu nyata. Seakan-akan ia pernah hidup di masa lampau. Setiap kali mencoba berbagi, ceritanya selalu dianggap khayalan belaka. Dijauhi dan diisolasi, Celine merasa kesepia...