6 : Papa

21 2 0
                                    

"Ketika semua orang mendapatkan banyak perlindungan dan cinta dari keluarganya... mengapa aku tidak?"
~ Shakira Carletta Anjani

****

Langit biru yang masih muda tampak bersih, tanpa cela, membentang luas seperti kanvas yang siap diwarnai oleh kebahagiaan. Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar, disertai canda tawa ringan yang mengiringi aktivitas pagi. Semua terasa seimbang, tenang, dan damai.

Alam seakan-akan tersenyum, memeluk setiap makhluk dengan kasih sayang. Tak ada tempat untuk kesedihan di pagi seperti ini, hanya ada kebahagiaan yang menyebar, merasuk hingga ke relung hati yang paling dalam. Ini adalah awal yang sempurna, sebuah pagi yang mengingatkan bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk bahagia.

Namun kebahagiaan itu nampaknya tak tersampaikan pada seorang gadis dengan bandana merah. Gadis itu berdiri di depan sebuah rumah besar, tangannya gemetar, dan matanya dipenuhi ketakutan yang tak terkatakan.

Rumah itu, yang tampak megah di mata orang lain, namun menyimpan cerita kelam yang hanya diketahui oleh hatinya. Di balik pintu-pintu tebal dan jendela-jendela besar, tersembunyi luka-luka yang tak pernah sembuh.

Setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada rasa sakit, pada kenangan yang seharusnya dilupakan. Di sana, tawa palsu dan senyum dipaksakan menjadi penghias hari-hari.

Rumah itu... lebih seperti penjara yang tak terlihat, di mana kebahagiaan adalah sesuatu yang mustahil diraih.

Bagi banyak orang, rumah adalah tempat untuk pulang, tempat di mana kehangatan dan cinta menunggu. Tapi bagi gadis ini, rumah itu adalah tempat dari mana dia selalu ingin lari, tempat yang tak pernah benar-benar bisa dia sebut "rumah."

Rumah itu... rumah keluarganya
Rumah itu... bukan rumah untuk pulang sejatinya

Shakira menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian sebelum melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang terasa begitu asing meski sudah puluhan kali ia masuki. Setiap langkah yang diambilnya di lantai dingin itu terasa seperti meniti di atas pecahan kaca, perlahan tapi pasti merobek ketenangannya.

Dalam hatinya, rasa was-was terus bergelut dengan harapan. Apakah papanya ada di rumah? Pikiran itu menghantamnya berulang kali. Jika papanya ada, apa yang akan terjadi? Apakah dia akan mendapat siksaan lagi?

Setiap sudut rumah ini menyimpan kenangan akan perlakuan kasar yang diterimanya, seakan dinding-dindingnya bisa berbicara dan mengisahkan semua luka yang pernah dialaminya.

"Baru pulang kamu?"

DEG!

Shakira menoleh ke belakang mendapati pria paruh baya yang berdiri tegap di depannya saat ini. Ayahnya, Jorgi Immanuel. Tatapan pria itu begitu nyalang, penuh amarah yang membara.

Jantung Shakira berdegup kencang. Napasnya tertahan di tenggorokan.

"KEMANA SAJA KAMU, HAH?!" Teriak Jorgi. Suaranya menggema di seluruh ruangan.

Shakira tidak mampu menjawab, tubuhnya gemetar ketakutan.

"MAU JADI APA KAMU? SEMALAM NGGAK PULANG?!" Pria itu melangkah maju dengan penuh kemarahan.

PLAKK!

Tanpa memberi kesempatan pada Shakira untuk menjelaskan, pria itu melayangkan tamparan keras ke pipinya. Tamparan yang tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga menghancurkan perasaan dan harga dirinya.

Setiap kata hinaan yang keluar dari mulut ayahnya seperti belati yang menusuk hatinya berulang kali. Tamparan demi tamparan mendarat di wajahnya tanpa henti. Air mata mulai mengalir di pipinya, tapi Shakira hanya bisa diam, menahan rasa sakit baik di tubuh maupun hatinya.

 Shakira: Mengetuk Pintu yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang