12 : Gelap

20 3 0
                                    


Gelap telah menyelimuti kampus sepenuhnya. Bayangan-bayangan panjang dari pepohonan dan bangunan kampus membuat suasana semakin mencekam.

Suara angin malam yang berdesir di antara daun-daun kering menambah kesan sepi dan menyeramkan. Lampu-lampu di sepanjang lorong kampus berkerlip samar, seolah tak cukup untuk menerangi jalanan yang kini dipenuhi dengan kegelapan.

Rayen melangkah pelan-pelan di tengah kampus yang semakin sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya masih dipenuhi dengan keresahan yang tak kunjung reda.

Meskipun durinya baru saja menunaikan shalat di masjid kampus, memohon petunjuk dari Tuhan atas perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

Dengan langkah yang sedikit berat, Rayen berjalan menuju kantin. Niatnya sederhana, hanya ingin membeli secangkir kopi untuk menenangkan diri sebelum pulang.

Kopi hitam hangat biasanya menjadi teman setianya dalam menghadapi malam-malam panjang yang penuh pikiran dan kebimbangan.

Namun, entah kenapa, ada perasaan tak enak yang mulai menggelayuti benaknya. Seperti ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat langkahnya terasa semakin berat.

Saat dirinya melewati lorong-lorong kampus yang gelap, tiba-tiba saja langkahnya terhenti.

Perasaan tidak enak itu semakin kuat, membuat dadanya berdegup kencang tanpa alasan yang jelas. Seolah ada sesuatu yang memanggilnya, memintanya untuk memperhatikan lebih dalam, mendengarkan lebih jauh di balik kesunyian malam yang semakin pekat.

Rayen menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan tak nyaman yang entah kenapa terus menghantui pikirannya.

"Mungkin hanya perasaanku saja," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri.

Dengan cepat, Rayen mempercepat langkah menuju kantin. Dia benar-benar butuh secangkir kopi sekarang, sesuatu yang bisa memberinya ketenangan meski hanya sementara.

Lorong-lorong kampus yang sepi dan gelap tak lagi ia pedulikan. Yang ada di pikirannya hanyalah mencapai kantin secepat mungkin, mendapatkan kopi yang bisa sedikit menenangkan kegelisahan yang tak jelas asalnya.

Namun, semakin Rayen melangkah cepat, semakin perasaan itu menguat, seolah-olah ada sesuatu yang mendesak untuk diperhatikan.

Namun, Rayen mengabaikan semuanya.

"Aku butuh kopi," pikirnya keras-keras, berharap secangkir minuman itu bisa menghalau semua keresahan yang menggulung dalam dirinya sejak sore tadi.

Setibanya di kantin yang terang benderang, Rayen langsung menangkap kehadiran dua orang yang dikenalnya baik. Di salah satu sudut kantin, Hanzel dan Dewani duduk dengan berbagai buku, kertas, dan dua laptop terbuka di depan mereka.

Keduanya tampak sibuk, mungkin sedang mengerjakan tugas atau proyek bersama.

Tanpa ragu, Rayen melangkah mendekati mereka. Hanzel yang pertama kali menyadari kehadiran Rayen, mengangkat kepalanya dan menyapa dengan senyum lebar.

"Hey, Ray! Tumben malem-malem ke sini," katanya, sedikit terkejut melihat Rayen di kantin pada jam seperti ini.

Dewani menoleh, dan begitu melihat Rayen, wajahnya berubah serius.

"Kakak baru keluar dari masjid, ya? Kayaknya ada sesuatu yang berat di pikiran," tebak Dewani, menyadari aura yang sedikit berbeda dari biasanya pada Rayen.

Rayen mengangguk ringan, berusaha menutupi kegelisahannya.

"Hm, tadi shalat maghrib di sana. Sekarang butuh kopi. Lagi ngerjain apa kalian?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dari dirinya.

 Shakira: Mengetuk Pintu yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang