13 : Pameran Seni

13 2 0
                                    

Rayen duduk di meja makan rumahnya, matanya kosong menatap secangkir kopi yang mulai dingin di depannya. Perasaan marah, sedih, dan frustrasi bercampur aduk di dalam dadanya, seolah-olah ada beban berat yang menekan jiwanya.

Pikirannya kembali ke kejadian beberapa jam yang lalu, saat dia harus menyaksikan Shakira, gadis yang sangat dia cintai, mengalami hal yang begitu mengerikan.

Tangannya mengepal di atas meja, berusaha menahan amarah yang kembali membara di dalam dirinya.

Bayangan wajah Shakira yang ketakutan dan tubuhnya yang lemah setelah kejadian itu terus menghantui pikirannya.

"Kenapa aku tidak bisa melindunginya?" gumamnya lirih, penuh penyesalan.

Suaranya tertahan, serasa ada yang menyumpal tenggorokannya. Rayen merasa gagal sebagai pelindung Shakira.

Rayen teringat bagaimana dia mencoba menyelamatkan gadis itu, tapi pada akhirnya Shakira masih harus menghadapi kekejaman Jorgi, ayahnya sendiri. Tangannya bergetar, mencengkeram kuat cangkir kopi yang dingin.

Rayen memejamkan matanya, berusaha mengendalikan emosinya. Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa melupakan kejadian ini bukanlah hal yang mudah.

Cowok itu merasa tidak akan bisa tenang sampai dia yakin Shakira benar-benar aman, jauh dari ancaman siapa pun, termasuk ayahnya sendiri.

"Aku nggak akan biarkan ini terjadi lagi," batinnya tegas, seolah bersumpah pada dirinya sendiri.

Razan menatap putranya dengan mata penuh perhatian. Dia bisa melihat jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rayen. Zayyan, kakaknya, juga ikut mengamati dengan ekspresi serius.

Mereka berdua bisa merasakan bahwa Rayen sedang berada dalam tekanan yang berat, meskipun Rayen berusaha untuk tetap tenang di hadapan keluarganya.

Kedua adik kembar Rayen, Athaya dan Anaya, sama sekali tidak menyadari suasana tegang di meja makan. Mereka masih terkikik geli sambil memperhatikan bekal yang disiapkan oleh Umma mereka, Hanna.

Keceriaan anak-anak itu seakan menjadi kontras dengan suasana hati yang tengah dipenuhi kekhawatiran.

Hanna, yang baru saja selesai menyiapkan makanan di piring putranya, menyadari ada yang berbeda dari sikap Rayen pagi ini.

Biasanya, Rayen akan memulai percakapan atau setidaknya tersenyum ketika menerima makanan, tapi kali ini, wajahnya tetap murung dan fokusnya entah ke mana.

Perasaan cemas menyusup ke hati Hanna, membuatnya semakin waspada.

“Rayen, sayang, ada apa? Kamu terlihat tidak seperti biasanya,” tanya Hanna lembut, mencoba menarik perhatian putranya.

Rayen mendongak, tersadar dari lamunannya, dan mencoba memasang senyum tipis.

“Nggak apa-apa, Umma,” jawabnya singkat, tapi tatapan Hanna tahu bahwa itu bukanlah jawaban yang jujur.

“Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita  Ray,” tambah Razan, suaranya penuh kehangatan, mencoba membuka ruang bagi putranya untuk berbicara.

Rayen terdiam sejenak, merasa ragu apakah dia harus berbagi masalahnya atau tidak. Namun, tatapan penuh kasih dari ayah dan ibunya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. 

Tapi, sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, Zayyan memotong dengan suara rendah, “Kita tahu ada sesuatu yang terjadi, Ray. Kalau kamu butuh bantuan, bicaralah.”

Rayen menatap Zayyan, dan untuk pertama kalinya sejak tadi malam, dia merasa ada secercah harapan. Di saat seperti ini, dia membutuhkan keluarganya lebih dari apa pun.

 Shakira: Mengetuk Pintu yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang