Bab 19. Ngambek

825 130 2
                                    

Aku yakin Christy sekarang sedang merasa kesal karena permintaannya tak dituruti. lagipula kenapa ia harus berkata ingin yang pedas sekali? Toh sambal atau saus atau apalah itu akan dipisah tidak dicampur dalam adonan martabak. Gadis itu memang aneh.

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala ketika membaca ulang pesan barusan. Rasanya baru sebentar berpisah
sudah rindu. Jika saja ia masih bersekolah, mungkin aku bisa menghampirinya di kelas. Tapi, sayangnya sekarang sudah tak bisa.
Ini semua karena kebodohanku yang tak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu.

"Ngapain lo senyum terus sedih gitu?" tanya Ollan yang sedari tadi duduk di sampingku.

"Ibu negara?" sahut Zean yang memainkan ponselnya.

"Kangen kan lo? g****k, sih!" Kini giliran Aldo yang mengataiku.

"Gue nyesel," jawabku pasrah.

"Makanya punya otak di pakai, jangan cuma dicantelin gitu."

"Gue emosi."

"Bos kita emang goblok."

Tepuk tangan dari tiga sahabatku itu
membuatku sebal. Bagaimana bisa mereka mengataiku bodoh lalu bertepuk tangan? Mereka memang gila.

Aku diam menatap lembaran kertas kosong di hadapanku. Tak ada satupun coretan di sana, padahal di papan tulis penuh dengan
rumus-rumus yang tak aku ketahui.

"Christy gimana?" Aku menoleh ketika Ollan menanyakan tentang Christy. Aku baru ingat, apakah gadisku mengalami teror lagi?

Gadis? Meski sedang mengandung, tapi bagiku Christy tetap seorang gadis. Tanpa pikir panjang aku segera
mengetikkan sesuatu di sana. Sebuah pesan singkat untuk istriku.

Freyan
Gmn keadaannya? Ad teror lg?

Kitty Syg
Gak ada

Aku menghela napas lega ketika Christy berkata tak ada teror lagi. Namun, aku juga sebal ketika ia membalas pesanku dengan begitu singkat seperti itu. Aku merasa tak
dihargai.

"Gimana, Bro?"

"Baik, sehat," jawabku jujur.

"Bayinya?"

"Sehat juga."

"Syukur deh, jaga baik-baik ya ibu negara kita." Aku mengacungkan jempol mantap. Tanpa disuruh pasti akan menjaganya sebaik mungkin.

"Masih dapet jatah gak bos?" Aku
mengernyit ketika Ollan menanyakan hal itu Belum juga aku menjawab, ia sudah mendapat toyoran dari dua manusia sejenis lainnya.

Apa faedahnya jika ia bertanya seperti itu? Apa ia mau merekam adegan kami lalu menjualnya ke Jepang demi mendapat peruntungan?
Aku menatap ponsel yang menampilkan sebuah notifikasi dari nomor tak dikenal.

081235000000
Gedung tua. 3 sore

****

Aku melangkahkan kaki memasuki sebuah gedung yang sudah usang. Seketika ingatan tentang dulu hinggap di kepalaku. Sebuah masa indah tanpa penghianatan. Semuanya
berjalan normal dan baik-baik saja.
Dari jauh terlihat sebuah siluet cowok yang tengah berdiri. Aku tahu siapa ia.

"Hai Bro. Gimana kabar lo?" tanyanya
padaku.

"Gak usah basa-basi, apa mau lo?"

"Gue mau Christy. Jual dia ke gue kayak lo jual Dila ke gue."

"Gue gak pernah jual Dila. Lo sendiri yang rebut dia dari gue."

"Oh iya, gue lupa. Gue juga yang udah rebut mahkotanya." Aku diam mendengarkan perkataannya. Belum saatnya. "Dan gue mau Christy, buat jadi pengganti Dila yang udah
lebar itu."

"Anjing!"

Tak tahan lagi aku segera memukul
wajahnya beberapa kali. Ia pun tak tinggal diam, satu tinjuan mengenai rahang, Aku tak akan tinggal diam jika istriku direndahkan seperti ini.
Jika bisa aku ingin pria ini mati di tanganku. Sekarang juga.

*****

Aku kegirangan ketika Freyan telah sampai di rumah. Di tangannya tertenteng tiga buah plastik berisi martabak. Satu untuk kami berdua, sedangkan dua untuk para ART dan
pekerja lain.

Aku tertegun ketika melihat luka lebam di wajahnya. Darah yang sudah mengering membuatku semakin khawatir. Aku meletakkan kembali plastik berisi martabak itu lalu mengajak Freyan untuk duduk.

"Ini kenapa, Kak?"

"Luka."

"Iya tau luka, tapi luka kenapa?"

"Dipukul."

"Berantem?"

"Iya."

"Ngapain sih berantem segala? Kitty kan gak mau Kakak kenapa-kenapa. Kalau Kakak sampai meninggal gimana? Nanti Kitty jadi janda. Mana di perut Kitty ada anak-" Ucapanku terpotong ketika secara tiba-tiba
Freyan mencium bibirku. Aku memberontak karena sedang sebal. Tapi, usahaku gagal karena aku begitu mudah luluh dengan sedikit sentuhannya.

"Gue gak kenapa-kenapa," ucapnya dengan lembut. "Makan martabaknya, abisin."

"Kak," panggilku lembut. "Gendong."
Tak menolak, Freyan mengangkat tubuhku dalam pelukannya. Mengalungkan kedua tangan pada lehernya.

Sesampainya di kamar, Freyan mengunci pintu dan membaringkanku di atas kasur. Ia
mengambil alih martabak yang ada di
tanganku dan meletakkannya di atas meja.

la mencium bibirku dengan sedikit lumatan yang memabukkan bagiku. Tangannya pun ikut andil dalam aksinya. Sebelah tangannya menelusup dalam baju, sementara yang satu mencoba masuk ke dalam celana yg aku pakai.

"Yang, main ya?" tanyanya padaku, entah sejak kapan ia memanggilku seperti itu.

"Main apa Kak?"

"Kayak waktu itu, tapi gak kasar"

Aku memutar otak, memikirkan apa yang dimaksud oleh Freyan. Namun, yang namanya Christy pasti otaknya hanya satu sendok. Mau berpikir sekeras apapun jika tidak tahu
tetap saja tidak tahu.

"Yang mana? Kitty gak inget."

"Yang gini." Freyan memaju-mundurkan jarinya di dalam sana.

"Emm ..." desahku tertahan.

"Mau?" tanyanya lagi.

"Emang boleh? Kitty kan lagi hamil."

"Gak tau sih, besok ke dokter ya."

"Kakak kan sekolah."

"Bolos aja."

Freyan membaringkan tubuhnya di
sampingku. Tatapannya lurus ke depan seolah sedang menerawang sesuatu. Aku melirik lebam serta luka yang ada di wajahnya lalu tersadar akan sesuatu.

"OH IYA SEA KITTY BUAT OBATIN KAKAK!" teriakku spontan. Freyan menatapku dengan mata melotot, dan itu terlihat sangat lucu.

"Gak usah teriak, Kitty. Gue di sini."

"Hehe, maaf."

"Gak usah diobatin. Udah kering gini, nanti juga sembuh sendiri"

"Yaudah, Kitty mau peluk Kakak."

Seperti ini lah kami, kehidupan rumah tangga kami. Freyan yang dewasa, b******k, tegas, nakal, dan segala sifat serta polahnya itu. Dan aku yang kekanakan, manja, polos,
dan sifat lainnya. Kami perpaduan yang pas.

Ibaratnya Freyan itu kopi, dan aku itu gula Aku tak tahu apakah bisa menjadi seorang istri yang baik atau tidak. Aku juga tak tahu bisa mengurus anak dan suami atau tidak.
Pada intinya harus belajar. Tak ada yang tak mungkin jika berusaha.

"Lo bohongin gue kan?" Aku mendongak, menatap wajah tampan suamiku itu.

"Maaf. Kitty cuma gak mau Kakak khawatir"

"Gue gak suka dibohongi."

"Maaf.!"

"Jangan buat gue marah."

"Iya, Kitty juga sayang kakak."

Dah segini dulu

NIKAH SMA (FreChris) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang